Minggu, 13 Juli 2025
Menu

Novel Baswedan Cs Minta MK Tunda Proses Seleksi Capim KPK

Redaksi
Novel Baswedan dan beberapa eks pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menggugat syarat batas minimal usia pimpinan KPK ke Mahkamah Konstitusi (MK), Senin, 22/7/2024 | Syahrul Baihaqi/Forum Keadilan
Novel Baswedan dan beberapa eks pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menggugat syarat batas minimal usia pimpinan KPK ke Mahkamah Konstitusi (MK), Senin, 22/7/2024 | Syahrul Baihaqi/Forum Keadilan
Bagikan:

FORUM KEADILAN – Novel Baswedan dan beberapa eks pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menggugat syarat batas minimal usia pimpinan KPK ke Mahkamah Konstitusi (MK). Mereka meminta agar Mahkamah menjatuhkan putusan sela untuk menunda proses seleksi calon pimpinan KPK periode 2024-2029 yang telah ditutup pada Senin, 15/7/2024 lalu.

Sidang pemeriksaan pendahuluan perkara Nomor 68/PUU-XXII/202 dipimpin oleh Ketua MK Suhartoyo dengan didampingi oleh dua hakim konstitusi lain, yaitu Enny Nurbaningsih dan Arsul Sani. Sidang pendahuluan tersebut digelar di Gedung MK, Jakarta Pusat, Senin, 22/7.

Novel dan kawan-kawan mengajukan permohonan uji materiil Pasal 29 huruf e Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK) sebagaimana telah dimaknai MK dalam Putusan Nomor 112/PUU-XX/2022.

Pasal tersebut berbunyi “Untuk dapat diangkat sebagai Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi harus memenuhi persyaratan sebagai berikut: e. berusia paling rendah 50 (lima puluh) tahun atau berpengalaman sebagai Pimpinan KPK, dan paling tinggi 65 (enam puluh lima) tahun pada proses pemilihan.”

Dalam dalil permohonannya, Pemohon menilai bahwa ketentuan Pasal tersebut telah menimbulkan diskriminasi sekaligus merugikan hak konstitusional pada Pemohon untuk dapat mencalonkan diri sebagai Ketua KPK.

Mereka juga membandingkan dengan beberapa Komisi atau Lembaga Negara lain yang mengatur batasan usia untuk pimpinan, seperti Ombudsman RI, Komisi Pengawas Persaingan Usaha, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Komisi Yudisial, Komisi Informasi dan Badan Pemeriksa Keuangan yang mengatur batas usia minimal sebesar 40 tahun.

Oleh karena itu, Pemohon beralasan agar diperlukan syarat tambahan, yaitu dengan mengatur pengalaman pernah menduduki jabatan di KPK setidaknya selama satu periode. Apalagi, para Pemohon mengaku telah memiliki pengalaman lebih dari 10 tahun sebagai pegawai KPK dengan usia kurang dari 50 tahun, tetapi lebih dari 40 tahun, sesuai syarat minimum pendaftaran pimpinan KPK sebelum UU KPK hasil revisi tahun 2019 diberlakukan.

Dalam petitumnya, Pemohon meminta agar MK menyatakan Pasal 29 huruf e UU KPK tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai dengan “berusia paling rendah 50 (lima puluh) tahun atau berpengalaman sebagai pimpinan KPK atau paling rendah 40 (empat puluh) tahun dengan pengalaman sekurang-kurangnya selama 5 (lima) tahun sebagai pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi, dan paling tinggi 65 (enam puluh lima) tahun.”

Minta Putusan Sela

Kuasa hukum para Pemohon Lakso Anindito menyampaikan, permohonan pengujian ini telah disampaikan kepada Mahkamah pada Mei 2024 lalu tetapi MK masih fokus pada penyelesaian Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) Tahun 2024.

Oleh sebab itu, pihaknya meminta putusan sela agar para Pemohon mendapat dispensasi atau penundaan proses seleksi pemilihan pimpinan KPK yang pendaftarannya telah ditutup pada, Senin, 15/7.

“Untuk itu, kami nantinya pada revisi ini juga kami ingin mengajukan terkait dengan putusan sela, Yang Mulia, apabila diperkenankan agar pemohon kami tidak semakin jauh kehilangan haknya dan tetap mendapatkan dispensasi atau bisa juga prosesnya ditunda pada proses seleksi yang sedang berlangsung. ,” tutur Lakso.

Ketua MK Suhartoyo menyebut, permohonan Pemohon berbarengan dengan sengketa PHPU Pilpres yang kemudian dilanjutkan dengan sengketa Pileg. Oleh karenanya, MK menghentikan sementara Pengujian Undang-Undang dan tidak menginput perkara-perkara yang masuk.

Suhartoyo juga mengatakan, sampai awal Juni kemarin setidaknya terdapat lebih dari 50 permohonan yang belum diregistrasi dan harus diatur jadwal sidang.

Menanggapi adanya permohonan Pemohon untuk menjatuhkan putusan sela, Suhartoyo menyatakan hal tersebut akan ditentukan dalam rapat permusyawaratan hakim (RPH) jikalau terdapat permohonan provisi dari Pemohon.

“Tapi memang MK pada titik untuk mengabulkan yang putusan sela, provisi itu, jarang sekali. Meskipun memang ada. Itu artinya memang sangat dikaitkan dengan case by case bagaimana relevansi dan bobot argumentasi yang disampaikan.” katanya.

Untuk diketahui, MK terakhir menjatuhkan putusan sela pada perkara Nomor 106/PUU-XXI/2023 pada Senin, 15/7. Mahkamah memerintahkan Gubernur Papua Barat Daya untuk memfasilitasi penyelesaian sengketa batas wilayah Kampung Botain.

Pertanyakan Kata Pegawai

Dalam petitum permohonan, Novel Cs menilai perlu ada penambahan frasa dalam Pasal 29 huruf e UU KPK dengan menambahkan pengalaman capim KPK sekurang-kurangnya selama 5 tahun sebagai pegawai KPK.

Suhartoyo mempertanyakan kata ‘pegawai’ dalam petitum para Pemohon. Menurutnya, pegawai yang dimaksud harus memiliki fungsi dan wilayah yang berdekatan dengan pimpinan KPK.

Suhartoyo menilai bahwa Pemohon perlu mengelaborasi lebih lanjut petitum yang dimohonkan ke MK

“Tapi pegawai yang lain gimana, apa apple to apple kalau disamakan dengan yang pernah betul-betul terlibat langsung di proses penegakan hukum, seperti penyidikan, penyelidikan, dan penuntutan,” katanya.

Hal senada juga dipertanyakan oleh Enny Nurbaningsih, ia menyebut bahwa frasa pegawai KPK memiliki ruang lingkup yang sangat luas, sehingga Pemohon perlu memperjelas kembali agar tidak menimbulkan multi tafsir.

“Luas sekali kan pegawai KPK itu, honorer mulai dari tukang sapu juga kan begitu terus yang lainnya mungkin Office Boy (OB) kemudian bisa katakan ini sebagai pegawai KPK,” katanya.

Enny juga meminta Pemohon untuk mengelaborasi kembali frasa tersebut agar bisa meyakinkan Mahkamah untuk mengabulkan permohonan Pemohon.

Ditemui usai persidangan, Novel sebagai salah satu pemohon menyebut bahwa pihaknya akan membuat penjelasan dan argumen yang lebih spesifik agar Pasal tersebut tidak terlalu umum.

“Tapi saya kira kami akan membuat kajian yang lebih jelas agar itu bisa dimaknai dengan lebih baik oleh Mahkamah,” ucap Novel.*

Laporan Syahrul Baihaqi