Suku Awyu dan Moi Serahkan 253.823 Petisi ke MA, Minta Selamatkan Hutan Papua

Masyarakat adat Papua dari suku Awyu dan Moi Sigin menyerahkan sebanyak 253.823 petisi dukungan publik ke Mahkamah Agung (MA), Senin, 22/7/2024 |  Syahrul Baihaqi/Forum Keadilan
Masyarakat adat Papua dari suku Awyu dan Moi Sigin menyerahkan sebanyak 253.823 petisi dukungan publik ke Mahkamah Agung (MA), Senin, 22/7/2024 |  Syahrul Baihaqi/Forum Keadilan

FORUM KEADILAN – Masyarakat adat Papua dari suku Awyu dan Moi Sigin menyerahkan sebanyak 253.823 petisi dukungan publik ke Mahkamah Agung (MA), Senin, 22/7/2024. Mereka meminta agar MA menyelamatkan hutan adat mereka yang terancam oleh sejumlah perusahaan sawit.

Berdasarkan pantauan Forum Keadilan di lapangan, Suku Awyu dan Moi, yang didampingi oleh beberapa tokoh masyarakat dan organisasi masyarakat tipil tiba sejak pukul 10.00 WIB dan berkumpul di depan gedung Kementerian Dalam Negeri. Setelah itu, mereka berjalan menuju MA.

Bacaan Lainnya

Koalisi Masyarakat ini berkunjung ke MA dengan dua agenda, yaitu menyerahkan petisi dukungan untuk perjuangan masyarakat adat suku Awyu dan Moi Sigin, juga mempertanyakan perkembangan perkara kasasi yang diajukan pada Maret dan awal Mei lalu

Mereka juga menggelar aksi dengan diisi oleh sejumlah orasi dari perwakilan masyarakat Papua dan beberapa tokoh masyarakat, lalu juga melakukan tarian-tarian sebelum akhirnya menyerahkan surat dukungan masyarakat kepada MA.

Tim kuasa hukum Suku Awyu dan Moi Sigin Sekar Banjaran Aji menyebut bahwa surat tersebut telah diterima oleh 4 orang perwakilan dari tim hubungan masyarakat MA yang juga merupakan hakim non aktif.

Juru Kampanye Hutan untuk Greenpeace Indonesia itu juga menyampaikan beberapa alasan penting bagi MA untuk berpihak pada keadilan masyarakat adat.

Sekar menilai bahwa keadilan untuk masyarakat adat tidak hanya bermakna untuk kepentingan masyarakat dan hutan adat, melainkan juga keadilan untuk masyarakat Papua. Apalagi, kata dia, hutan dan masyarakat adat Papua menjadi benteng terakhir dari masalah krisis iklim.

“Menyelamatkan hutan Papua bukan hanya bakal memperkuat benteng kita menghadapi krisis iklim dan kepunahan biodiversitas, tapi juga menjaga kekayaan alam, sosial, dan budaya yang kita miliki dalam peradaban ini,” ucap Sekar kepada wartawan di luar gedung MA, Senin, 22/7.

Untuk diketahui, Suku Awyu dan Moi Sigin mengajukan gugatan Kasasi ke MA pada bulan Maret dan juga awal Mei 2024. Gugatan pertama diajukan oleh Hendrikus Woro terkait izin kelayakan lingkungan hidup yang dikeluarkan Pemerintah Provinsi Papua untuk PT Indo Asiana Lestari (IAL). Perusahaan ini mengantisipasi izin lingkungan sebesar 36.094 hektare.

Selain kasasi perkara PT IAL ini, sejumlah masyarakat adat Awyu juga tengah mengajukan gugatan kasasi atas gugatan PT Kartika Cipta Pratama dan PT Megakarya Jaya Raya, dua perusahaan sawit yang juga sudah dan akan berekspansi di Boven Digoel, atas keputusan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Putusan MA akan menentukan nasib hutan hujan seluas 65.415 hektare di konsesi PT KCP dan PT MJR.

Adapun sub suku Moi Sigin melawan PT Sorong Agro Sawitindo (SAS) yang akan membabat 18.160 hektare hutan adat untuk perkebunan sawit. PT SAS menggugat pemerintah pusat karena mencabut izin pelepasan kawasan hutan dan izin usaha mereka. Masyarakat Moi Sigin melawan dengan menjadi tergugat intervensi dalam perkara tersebut.

Namun, Sekar menyayangkan bahwa dari beberapa perkara yang diajukan, baru 1 kasus yang diterima oleh Mahkamah. Sedangkan sisa perkara lainnya yang diajukan belum diketahui sudah sampai sejauh mana prosesnya.

Sekar membandingkan perkara yang mereka ajukan yang membutuhkan waktu beberapa bulan sebelum mendapatkan nomor perkara, dengan putusan MA Nomor 23P/HUM/2024 yang diputus secara kilat tidak lebih dari satu minggu.

“Teman-teman pasti tahu ada kasus yang barusan saja, MA misalnya memutus soal Kepala Daerah begitu cepat, bahkan enggak sampai satu minggu. Tapi giliran kasus masyarakat adat berbulan-bulan, hampir lebih dari 3 bulan baru kasusnya dapat nomor, bahkan belum menunggu putusan,” katanya.

Menurut Sekar, hal tersebut merupakan bentuk ketidakadilan di mana satu perkara bisa diputus secada kilat dan ada perkara lain yang sulit mendapatkan nomor perkara. Sekar menilai bahwa sistem peradilan di Indonesia tidak mengakomodasi keadilan untuk masyarakat adat.

“Dan dalam konteks ini ketika masyarakat adat tidak mendapatkan keadilan maupun pengakuan, kita sebenarnya sedang membuka pintu neraka buat kita sendiri. Karena ya hari ini, hutan masyarakat adat adalah benteng kita untuk menghadapi krisis iklim,” tegasnya.*

Laporan Syahrul Baihaqi

Pos terkait