Selasa, 01 Juli 2025
Menu

Yusril Jelaskan Perbedaan Wantimpres dan DPA di Masa Orba

Redaksi
Menteri Koordinator Bidang Hukum, HAM, Imigrasi dan Pemasyarakatan, Yusril Ihza Mahendra | Ist
Menteri Koordinator Bidang Hukum, HAM, Imigrasi dan Pemasyarakatan, Yusril Ihza Mahendra | Ist
Bagikan:

FORUM KEADILAN – Pakar hukum tata negara, Yusril Ihza Mahendra menjelaskan soal perbedaan antara Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) dan Dewan Pertimbangan Agung (DPA) sebagai lembaga negara yang pernah eksis di masa Orde Baru (Orba).

Respons ini diberikan oleh Yusril terkait rencana DPR untuk merevisi UU Nomor 19 Tahun 2006 tentang Dewan Pertimbangan Presiden. RUU Wantimpres kini sudah menjadi usul inisiatif DPR untuk kemudian selanjutnya akan dibahas bersama pemerintah.

“Saya mendapat banyak pertanyaan dari berbagai pihak sehubungan dengan RUU hasil inisiatif DPR ini,” ucap Yusril dalam keterangannya, Selasa, 16/7/2024.

Ia menilai bahwa RUU Wantimpres tidak substansial jika hanya dikaitkan dengan perubahan nomenklatur lembaga atau jumlah anggota. Menurut Yusril, hal ini penting dalam perubahan RUU tersebut adalah terkait dengan kedudukan lembaga tersebut dengan lembaga negara lainnya.

Menurutnya, dalam UUD 1945 sebelum amandemen, DPA memang disebutkan sebagai nomenklatur dan tertuang dalam Bab tersendiri, yaitu Bab IV dengan judul “Dewan Pertimbangan Agung” yang terdiri atas 2 ayat. Tugas DPA memberikan jawaban atas pertanyaan Presiden dan berhak mengajukan usul kepada pemerintah.

UUD 1945 pada saat itu menyebut DPA sebagai “Council of State” yang wajib untuk memberikan pertimbangan kepada pemerintah. Oleh maka itu, Yusril menyebut, dalam pelajaran hukum tatanegara sebelum amendemen UUD 1945, DPA digolongkan sebagai lembaga tinggi negara.

Di sisi lain, dalam UUD 1945 hasil amandemen, Bab IV dengan judul “Dewan Pertimbangan Agung” dihapus. Tetapi, Pasal 16 yang mengatur tentang DPA dan berada di bawah Bab tersebut tetap ada. Hanya saja, klausulnya diubah sehingga berbunyi, “Presiden membentuk suatu dewan pertimbangan yang bertugas memberikan nasihat dan pertimbangan kepada Presiden, yang selanjutnya diatur dengan undang-undang”.

Namun, Ia menambahkan, bahwa UUD hasil amandemen tidak mengatur nama lembaga pengganti DPA. Belakangan, dalam UU Nomor 19 Tahun 2006, menamakannya Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) dan menempatkan lembaga tersebut di bawah Presiden.

“Itulah tafsir yang berkembang saat itu. Pemikirannya adalah karena DPA sebagai lembaga negara dihapuskan oleh amendemen, maka kedudukan Wantimpres ditempatkan berada di bawah Presiden sebagai lembaga pemerintah,” lanjutnya.

Menurutnya, tidak ada persoalan mendasar dalam poin usul perubahan di RUU Wantimpres terutama mengenai status DPA ke depan akan sejajar dengan lembaga negara lain. Bahkan, usul perubahan itu menurutnya mendekati maksud UUD 1945 dibandingkan dengan penafsiran tahun 2006 ketika UU Wantimpres disahkan.

“Penafsiran sekarang ini lebih mendekati maksud UUD 45 dibandingkan dengan penafsiran tahun 2006 ketika UU Wantimpres dirumuskan oleh para pembentuknya, termasuk saya juga,” imbuhnya.

Di samping itu, Yusril mengatakan, terkait status DPA di masa Orba yang pernah menjadi lembaga tinggi negara, kini statusnya tidak lagi relevan. Dikarenakan, sejak kedudukan MPR diubah melalui amendemen, para akademisi mulai menganggap lembaga tinggi negara tidak lagi ada.

“Bahkan istilah lembaga tinggi negara pun dihindari penggunaannya, seiring dengan perubahan rumusan tentang pelaksana kedaulatan rakyat dalam UUD 45 hasil amendemen,” pungkasnya.*