FORUM KEADILAN – Angka putusan yang dikabulkan Mahkamah Konstitusi (MK) pada sengketa Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) Pileg 2024 meningkat sebanyak tiga kali lipat. Sejumlah pengamat pemilu menilai banyaknya putusan kabul mengindikasikan terdapat masalah dalam penyelenggaraan pemilu.
Dalam sidang pleno pengucapan putusan sengketa Pileg yang berlangsung dari tanggal 6, 7 dan 10 Juni 2024, Mahkamah mengabulkan sebanyak 44 perkara dari 297 perkara yang masuk ke MK.
Di sisi lain, Mahkamah menolak sebanyak 57 perkara dan menggugurkan sebanyak 20 perkara. Sementara itu, terdapat 15 perkara yang ditarik kembali, 13 perkara dinyatakan tidak berwenang dan 147 perkara tidak diterima
Hal ini berbanding terbalik pada PHPU Pileg 2019, dari 261 perkara yang teregister, MK hanya mengabulkan 13 perkara. Sedangkan perkara lainnya dinyatakan gugur, ditolak dan tidak diterima oleh Mahkamah.
Pengajar hukum pemilu Universitas Indonesia Titi Anggraini menilai, meningkatnya putusan yang dikabulkan oleh MK menandakan terdapat permasalahan serius dalam sistem penyelenggaraan pemilu.
Titi juga menyoroti perintah Mahkamah kepada Komisi Pemilihan Umum (KPU) untuk melakukan pemungutan suara ulang yang menurutnya berkaitan dengan persoalan kapasitas dan integritas penyelenggara pemilu, terutama dalam kepatuhan administrasi pemilu dan prinsip penyelenggara pemilu yang berintegritas.
Untuk diketahui, rincian dari 44 perkara kabul ialah 21 perkara diperintahkan untuk pemungutan suara ulang (PSU), sementara perkara lain diperintahkan untuk penghitungan suara ulang dan penyandingan data rekapitulasi hasil suara.
Titi menjelaskan bahwa permasalahan utama KPU terjadi pada ketidakpatuhan administrasi dan juga prinsip penyelenggara pemilu yang berintegritas. Hal ini, kata dia, terjadi mulai dari tingkat lapangan sampai level pimpinan KPU RI.
Titi mencontohkan putusan perkara Nomor 125/2024 yang diajukan oleh PKS terkait pengabaian kuota keterwakilan perempuan sebesar 30 persen.
“Banyaknya putusan MK mengonfirmasi bahwa ada masalah serius penyelenggara dan penyelenggaraan pemilu 2024. Indikasi banyaknya PSU selain gambaran penegasan bahwa MK bukan sekadar pengadilan angka-angka, hal itu juga mengonfirmasi menurunnya kualitas Pemilu dibanding sebelumnya,” ujar Titi saat dihubungi, Rabu, 12/6/2024.
Karut marut penyelenggaraan pemilu, kata Titi, terjadi sejak rekrutmen penyelenggara pemilu dilakukan. Menurutnya, pemilihan yang didasarkan pada preferensi kelompok dan golongan yang dominan malah mengorbankan kapasitas dan integritas pimpinan lembaga penyelenggara pemilu.
“Akibatnya, kerja penyelenggaraan menjadi kedodoran, sehingga terjadi lah ketidakprofesionalan dan pelanggaran di banyak hal. Termasuk kesengajaan melanggar Undang-Undang Pemilu oleh pucuk pimpinan penyelenggara pemilu,” kata Titi.
Pada kesempatan terpisah, Pakar hukum tata negara Universitas Gadjah Mada (UGM) Zainal Arifin Mochtar memiliki pandangan yang serupa dengan Titi. Menurutnya, terdapat beberapa faktor yang membuat Mahkamah mengabulkan lebih banyak perkara dibandingkan pada sengketa Pileg sebelumnya.
Pria yang biasa disapa Uceng tersebut mengatakan bahwa pemilu kemarin merupakan salah satu penyelenggaraan pemilu yang buruk. Ia mencontohkan pemungutan suara ulang untuk Dewan Perwakilan Daerah Sumatra Barat, yang diajukan oleh Irman Gusman, karena abainya KPU terhadap putusan pengadilan.
Selain pada sistem penyelenggaraan pemilu, Uceng juga menyoroti kinerja dari penyelenggara pemilu seperti KPU, Bawaslu dan DKPP yang ia anggap bermasalah. Ia mencontohkan Bawaslu yang tidak mampu menyelesaikan banyak problem yang akhirnya berujung ke MK.
Masalah lain yang ia soroti ialah terkait dengan kualitas partai politik, seperti pada perkara 125/2024 tentang kuota 30 persen keterwakilan perempuan. Hal ini, kata dia, terjadi karena lemahnya sikap KPU dan partai politik yang tidak patuh terhadap perundang-undangan. Namun, Uceng menegaskan, ada banyak faktor yang membuat jumlah putusan kabul di MK meningkat.
“Kalau mau dipetakan banyak kemungkinannya, tapi sebenarnya merujuk ke satu hal yang sama bahwa pemilu kita ini kacau banget,” ucap Uceng saat dihubungi, Rabu, 12/6.
Evaluasi Penyelenggaraan Pemilu
Titi menegaskan, perlunya evaluasi menyeluruh oleh pemerintah dan DPR terhadap penyelenggaraan Pemilu 2024, salah satunya dari aspek penyelenggara. Hal ini bertujuan untuk melakukan pembenahan terhadap lembaga penyelenggara pemilu dan pengawas pemilu.
Selain itu, kata Titi, komisioner KPU harus menjadi teladan dan memiliki sikap profesional dan berintegritas, bukan dipenuhi dengan kontroversi dan permasalahan etik.
Untuk diketahui, Ketua Komisioner KPU Hasyim Asy’ari telah beberapa kali dijatuhi sanksi peringatan keras, terakhir oleh Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP). Hasyim pernah diberikan sanksi karena bertemu dengan peserta pemilu dan juga salah menghitung kuota keterwakilan perempuan dalam pemilu DPR dan DPRD sebesar 30 persen.
Selain itu, Hasyim pernah dijatuhi sanksi teguran keras terakhir karena menerima pencalonan Gibran Rakabuming Raka tanpa lebih dahulu mengubah Peraturan KPU. Ia juga dijatuhi sanksi peringatan atas rekrutmen anggota KPU Kabupaten Nias.
Saat ini, Hasyim juga tengah berperkara di DKPP dengan adanya dugaan tindak asusila kepada Petugas Pemilu Luar Negeri (PPLN).
Menurut Titi, apabila pimpinan penyelenggara pemilu tidak profesional dan sengaja melakukan pelanggaran, maka hal tersebut justru merusak kredibilitas pemilu dan berdampak pada kerugian keuangan negara.
“Kalau mereka bisa bekerja benar, tentu negara tidak akan mengeluarkan ongkos lebih akibat pemungutan dan penghitungan suara yang harus diulang. Audit kinerja perlu didorong untuk mengurai masalah ini,” kata dia.
Titi berharap, komposisi anggota KPU selanjutnya diisi oleh pakar hukum yang memiliki integritas tinggi dan memahami hukum pemilu untuk mencegah terjadinya kesalahan dalam mengoperasionalisasi aturan main kepemiluan.
Menurut Titi, ahli hukum yang kredibel akan bisa lebih kokoh dalam membuat aturan teknis kepemiluan sesuai dengan prinsip hukum yang berkepastian dan berkeadilan.
Respons MK dan KPU
Dihubungi terpisah, Juru Bicara Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih tidak membantah ataupun membenarkan meningkatnya jumlah putusan kabul karena penyelenggaraan pemilu yang bermasalah. Namun, kata dia, penyelenggara pemilu harus selalu ditingkatkan.
“Seperti pemilu-pemilu sebelumnya, kualitas penyelenggara memang harus ditingkatkan terus,” ucap Enny saat dihubungi, Rabu, 12/6.
Menurut Enny, kesalahan dalam pemilu serentak rentan terjadi karena petugas membutuhkan energi yang besar dari mulai pagi hari sampai tengah malam. Oleh karena itu, ia mengatakan bahwa semua pihak yang terlibat harus mengikuti rangkaian proses agar hasilnya konsisten sejak C.Hasil di TPS hingga D.Hasil di Kecamatan.
“Karena sudah lelah biasanya tidak terpantau semua, sehingga waktu di Kabupaten/Kota baru mempersoalkan,” lanjutnya.
Di sisi lain, Enny menilai, meningkatnya jumlah putusan kabul karena adanya bimbingan teknis (bimtek) yang dilakukan Mahkamah secara intensif dan meluas. Hal ini, kata dia, mengakibatkan jumlah permohonan yang masuk lebih baik daripada permohonan ada sengketa Pileg sebelumnya.
“(Bimtek) menjelaskan kelemahan permohonan 5 tahun yang lalu, sehingga pemohon bisa mengajukan bukti yang meyakinkan,” tuturnya.
Sementara itu, Komisioner KPU Idham Holik merespons atas peningkatan jumlah putusan yang dikabulkan oleh MK.
Menurut Idham, dinamika penyelenggaraan pemilu di setiap tahunnya berbeda-beda. Hal ini, kata dia, menjadi tantangan bagi KPU, terutama dalam penyelenggaraan Pilkada serentak nasional agar bisa lebih berintegritas.
“Pasca Putusan PHPU Pileg, KPU telah tekankan kepada KPU di daerah agar lebih berdisiplin dan mengedepankan prinsip berkepastian hukum,” kata Idham saat dihubungi, Rabu, 12/6.
Kata Idham, hal ini dilakukan agar badan ad hoc mulai dari Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK), Panitia Pemungutan Suara (PPS), Petugas Pemutakhiran Data Pemilih (Pantarlih) dan juga Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) dapat bekerja menyelenggarakan Pilkada sesuai aturan yang berlaku dan menghindari terjadinya kecurangan pemilu.*
Laporan Syahrul Baihaqi