Kamis, 03 Juli 2025
Menu

Perkara Pengabaian Keterwakilan Perempuan di Pileg Berlanjut, MK Bakal Berikan Kepastian?

Redaksi
Gedung Mahkamah Konstitusi (MK)
Gedung Mahkamah Konstitusi (MK)
Bagikan:

FORUM KEADILAN – Perkara pengabaian keterwakilan perempuan sebesar 30 persen kembali berlanjut di sidang pembuktian perselisihan hasil pemilihan umum (PHPU) Pileg 2024 di Mahkamah Konstitusi (MK). Perkara ini diajukan oleh Partai Keadilan Sejahtera (PKS) pada daerah pemilihan Gorontalo VI.

Dalam perkara Nomor 125-01-08-29/PHPU.DPR-DPRD-XXII/2024, PKS meminta agar keempat partai yang tidak memenuhi syarat keterwakilan perempuan didiskualifikasi dalam pemilu. Keempat partai tersebut ialah PKB, Gerindra, NasDem, dan Demokrat. Keempat partai tersebut hanya memenuhi 27,27 persen keterwakilan perempuan.

Di hadapan Majelis Sidang Panel 2 yang dipimpin Wakil Ketua MK Saldi Isra bersama dengan Hakim Konstitusi Ridwan Mansyur dan Hakim Konstitusi Arsul Sani ini, PKS mengajukan dua saksi untuk memberikan kesaksian pada persidangan. Dua orang tersebut ialah Upik P Nadjamuddin dan Nur Lentin Lasabuda.

Pada sidang pembuktian hari pertama yang digelar di Gedung MK, Senin 27/5, Saksi dari PKS, Entin menjelaskan bahwa pada tanggal 23 September 2023 KPU Provinsi Gorontalo melakukan rapat koordinasi persiapan tahapan rancangan daftar calon tetap (DCT). Ia mengatakan bahwa pada rapat saat itu, putusan MA Nomor 24 Tahun 2023 tentang 30 persen Keterwakilan Perempuan di Parlemen telah diputus pada 29 Agustus.

Ia lantas mempertanyakan bagaimana kebijakan tersebut dilaksanakan kepada KPU Gorontalo. Namun, kata dia, pembahasan tersebut tidak mencapai titik temu penyelesaian masalah. Entin menjelaskan bahwa KPU Gorontalo belum bisa mengambil keputusan karena belum ada keputusan langsung dari KPU.

“Tetapi di ujung pertemuan, KPU provinsi mengatakan bahwa sebaiknya kami para partai politik itu mengikuti arahan dari putusan MA jadi sebaiknya kami memenuhi kuota 30 persen,” kata Entin.

Komisioner KPU Mochammad Afifudin menyebut bahwa lembaganya telah melakukan berbagai cara untuk memenuhi kuota keterwakilan perempuan, seperti mengirimkan surat kepada para partai politik, mengajukan rapat dengar pendapat (RDP) dengan DPR, dan juga berkirim surat ke Mahkamah Agung.

“Kami ingin menyampaikan, KPU meminta fatwa MA terkait putusan ini dan jawabannya itu intinya diserahkan kembali ke KPU,” ucap Afif

Di sisi lain, Afif pun menyindir partai PKS yang tidak memenuhi kuota 30 persen keterwakilan perempuan di beberapa wilayah Gorontalo, seperti di dapil Gorontalo II, Gorontalo III dan Gorontalo V.

 

Cacat Norma Sejak Lahir

Ahli yang dihadirkan oleh KPU, Agus Riwanto menyebut bahwa ketentuan Pasal 245 UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu merupakan bentuk pengaturan yang normanya tidak lengkap.

Dalam pasal itu disebutkan bahwa daftar bakal calon sebagaimana dimaksud dalam pasal 243 memuat keterwakilan perempuan paling sedikit 30 persen.

Agus menilai ciri-ciri norma hukum yang lengkap harus terdiri dari tiga unsur yaitu, perintah untuk melakukan sesuatu, larangan tidak melakukan sesuatu, dan juga adanya sanksi hukuman bagi subjek yang melakukan pelanggaran.

Menurutnya, pada Pasal 245 UU Pemilu hanya memuat perintah dan tidak memuat sanksi hukuman bagi partai politik yang tidak memenuhi kuota keterwakilan perempuan sebanyak 30 persen.

Jika ketentuan Pasal 245 tidak mengatur adanya sanksi yang tegas bagi Parpol yang tidak memenuhi kuota keterwakilan perempuan, maka dampaknya ialah hanya bersifat opsional dan bukan bersifat kewajiban.

“Maka ketentuan Pasal 245 UU Pemilu ini merupakan norma yang cacat sejak kelahirannya,” terangnya.

Selain itu, ia mengatakan bahwa tahapan pencalonan anggota DPR menjadi satu kesatuan proses yang tidak dapat dipisahkan satu sama lain.

Agus menyebut bahwa putusan MA secara teknis menyulitkan KPU dalam pelaksanaannya. Jika diberlakukan mundur, kata dia, maka akan berpotensi mengganggu tahapan pemilu yang lain.

Dengan begitu, hal ini akan dapat menganggu agenda kenegaraan berupa memundurkan jadwal Hari pemungutan suara, pelantikan anggota DPR/DPD dan DPRD serta agenda pelantikan Presiden/Wakil Presiden.

Padahal, kata dia, kekuasaan politik di legislatif dan di eksekutif tak boleh mundur sedikitpun, karena akan melanggar konstitusi yang serius. Apalagi, hal ini sudah tertuang dalam konstitusi sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 22E ayat 1 UUD 1945 yang menyatakan bahwa pemilu dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, adil setiap lima tahun sekali

“Oleh karena itu pelaksanaan putusan MA sulit dilakukan karena akan berdampak kepastian hukum tahapan Pemilu,” tuturnya.

 

Arogansi Penyelenggara Pemilu

Pada kesempatan yang sama, ahli yang dihadirkan MK, Didik Supriyanto menjelaskan bahwa Pasal 245 UU Pemilu merupakan bentuk kebijakan afirmasi atau affirmative action agar perempuan dapat hadir di arena politik dan memberikan jaminan kesetaraan penuh antar warga negara.

Lebih lanjut, Didik menyebut adanya ketimpangan besar antara persentase penduduk perempuan dengan keterwakilan perempuan di parlemen menyalahkan konsep Mikrokosmos. Selain itu, kata dia, ketimpangan ini juga tidak sesuai model perwakilan fungsional karena perempuan tidak memiliki juru bicara yang cukup di parlemen.

Di sisi lain, ia pun menampik keterangan ahli KPU yang menjelaskan bahwa KPU tidak memiliki waktu yang cukup sehingga dapat mengganggu agenda ketatanegaraan.

Menurutnya, KPU memiliki waktu yang cukup untuk memberi kesempatan pada partai politik untuk memenuhi kuota keterwakilan perempuan.

“Jadi tidak ada alasan, demikian juga dengan apakah ini akan mengganggu tahapan Pemilu? Tidak, waktunya masih cukup 2 bulan. Hampir 2 bulan. Kenapa hanya mengubah PKPU di satu atau dua pasal KPU tidak bisa?” ucapnya dalam persidangan.

Ia mencontohkan bahwa pada Pemilu 2014 dan 2019 KPU sebelumnya telah menerapkan kebijakan tersebut. Pada dua pemilu sebelumnya, KPU membuat norma baru untuk memberi sanksi kepada partai politik. Apabila setelah partai diingatkan, diminta perbaikan dan justru tidak melakukan perbaikan, maka KPU membuat putusan tegas untuk tidak menyertakan parpol tersebut dalam pemilu.

Artinya, kata dia, KPU periode sebelumnya telah membuat kebijakan yang sah karena norma pasal 245 dalam UU Pemilu masih sangat terbuka. Ia menegaskan bahwa hal terpenting ialah terkait intensitas dari penyelenggara dan peserta pemilu.

Didik pun lantas mengkritik pelbagai upaya yang dilakukan KPU yang ia tidak ada relevansinya. Menurutnya, dalih tersebut tidak dapat diterima karena KPU sendiri punya otoritas penuh untuk membuat dan merevisi Peraturan KPU.

“Ini bukan tidak mau atau tidak mampu, tapi ini soal arogansi. Dan itu bahaya kalau penyelenggara arogan karena mereka merasa dirinya diatas dan bsa mengatur segalanya,” pungkasnya.*

Laporan Syahrul Baihaqi