FORUM KEADILAN – Revisi UU Mahkamah Konstitusi (RUU MK) dipertanyakan berbagai kalangan. Prosesnya yang sembunyi-sembunyi membuat lagirnya dugaan bahwa revisi itu dilakukan untuk mengkondisikan berbagai produk hukum yang dibuat pemerintah dan DPR saat digugat ke MK, serta mengamankan kepentingan pemerintahan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka mendatang.
Direktur Eksekutif Pusat Studi Konstitusi (Pusako) Universitas Andalas, Charles Simabura mengatakan, perubahan keempat revisi UU MK dilakukan dalam rangka untuk melumpuhkan lembaga peradilan tersebut.
“Apa yang dilakukan itu memastikan pemerintahan Prabowo-Gibran dan DPR bisa mengendalikan semua lembaga. Menuju ke era yang menolak check and balances,” ucapnya kepada Forum Keadilan, Rabu, 15/5/2024.
Apalagi, kata Charles, MK memiliki kewenangan untuk menguji undang-undang, sehingga lembaga penegak konstitusi itu dianggap sebagai ancaman terhadap produk legislasi yang nantinya akan mereka buat.
Oleh karenanya, Charles berpandangan bahwa pemerintah tengah berupaya untuk mematikan lembaga peradilan sebagai garda terakhir untuk menjaga prinsip negara hukum.
Dalam perubahan keempat UU MK, terdapat dua pasal yang dianggap mengganggu kemerdekaan kekuasaan kehakiman, yaitu pasal 23A terkait masa jabatan hakim dan juga aturan peralihan pada pasal 87.
Pasal 23A mengatur masa jabatan hakim konstitusi selama 10 tahun. Setelah menjabat selama 5 tahun, maka hakim tersebut harus meminta persetujuan ke lembaga pengusul untuk menjabat sebagai hakim kembali. Apabila lembaga pengusul tidak memberikan persetujuan, maka ia bisa memilih hakim baru sebagai gantinya.
Sedangkan pasal 87 berisi ketentuan peralihan yang mengatur masa jabatan hakim konstitusi. Pada huruf ‘a’ diatur bahwa hakim konstitusi yang telah menjabat lebih dari 5 tahun dan kurang dari 10 tahun dapat melanjutkan jabatannya setelah mendapat persetujuan dari lembaga pengusul. Sedangkan hakim yang telah menjabat lebih dari 10 tahun, masa jabatannya berakhir pada usia 70 tahun. Namun, hakim tersebut harus mendapat persetujuan dari lembaga pengusul.
Ketentuan peralihan ini menguntungkan dua hakim konstitusi yaitu Anwar Usman dan Arief Hidayat, yang mana keduanya telah menjabat selama 13 dan 11 tahun.
“Salah satu independensi kekuasaan kehakiman adalah independensi hakimnya. Agar tidak diganggu baik itu terkait dengan keamanan pribadinya dan jaminan atas kesejahteraan, termasuk jaminan atas masa jabatannya dia,” katanya.
Charles menyebut, perubahan ini sangat mengganggu kemerdekaan hakim. Apalagi saat ini, MK tengah disibukkan dengan sengketa perselisihan hasil pemilihan umum (PHPU) Pileg 2024. Ia juga menilai adanya revisi ini semakin menunjukkan perilaku DPR yang selalu meninggalkan warisan buruk di setiap akhir masa jabatan.
Ancaman Demokrasi
Pernyataan serupa juga disampaikan oleh Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Indonesia (YLBHI) Muhamad Isnur. Isnur menganggap rencana perubahan RUU MK merupakan rangkaian akrobat guna melancarkan dan menyukseskan agenda pemerintahan Prabowo-Gibran.
Dengan ‘dijinakkannya’ MK, maka menurut Isnur, pemerintah selanjutnya telah mengamankan kekuasaan secara absolut. Ini berarti, sama saja dengan mengamankan RUU Kementerian Negara, RUU Penyiaran, dan beberapa peraturan kontroversial lainnya.
“Ini adalah karpet merah yang luar biasa dan konsolidasi yang mengerikan di DPR dan pemerintah untuk mengkondisikan, menjaga pemerintahan yang semakin otoriter, dan mengancam demokrasi dan HAM,” ucap Isnur kepada Forum Keadilan, Kamis, 16/5.
Selain itu, Isnur mengatakan proses pembahasan terbilang sangat cepat dan tertutup. Apalagi, beberapa anggota komisi dan fraksi lain tidak tahu-menahu akan adanya perubahan tersebut.
Oleh karena itu, ia menilai proses perubahan keempat UU MK tidak sah secara hukum karena mengabaikan prinsip partisipasi bermakna atau meaningful participation.
“Tentu masyarakat sipil mengecam apa yang terjadi,” imbuhnya.
Setali tiga uang, Pakar Hukum Tata Negara Universitas Gajah Mada Yance Arizona juga menilai, perubahan ini dilakukan dalam rangka mengamankan pemerintahan yang akan datang.
Yance menilai RUU ini bertujuan untuk mendongkel hakim konstitusi yang kerap melakukan koreksi terhadap undang-undang yang dibentuk oleh pemerintah dan DPR.
Ia mengatakan, perubahan undang-undang ini mengancam kemerdekaan kekuasaan kehakiman. Dengan rusaknya independensi tersebut, hal ini berdampak pada hancurnya sendi-sendi negara hukum.
“Meringkus MK akan membuat MK tidak bisa dengan efektif mengoreksi undang-undang yg bertentangan dengan konstitusi dikemudian hari,” ucapnya kepada Forum Keadilan, Kamis, 16/5.
Sebelumnya, Komisi III DPR RI melakukan rapat dadakan di akhir masa reses bersama dengan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Hadi Tjahjanto. Pemerintah dan DPR kembali melanjutkan pembahasan keempat revisi UU MK. Mereka sepakat bahwa RUU ini akan segera diundangkan pada masa sidang paripurna yang akan datang.
Dalam kesepakatannya, terdapat tiga pasal yang direvisi yaitu pasal 1, 23 dan 87. Selain itu, ada pula penambahan pasal 23A dan 27A yang mengatur soal masa jabatan hakim, pemberhentian hakim konstitusi, persetujuan dari lembaga pengusul untuk hakim yang telah 5 tahun menjabat, serta penambahan komposisi hakim Majelis Kehormatan MK (MKMK).*
Laporan Syahrul Baihaqi