FORUM KEADILAN – Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) diam-diam sepakat untuk melanjutkan kembali revisi Undang-Undang Mahkamah Konstitusi (RUU MK). Perubahan ini dinilai sarat akan kepentingan politis guna mengintervensi hakim konstitusi.
Komisi III menggelar rapat kerja dengan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan di akhir masa reses, Senin, 13/5/2024. Rapat ini dipimpin oleh Wakil Ketua Komisi III DPR RI dari Fraksi Partai Golongan Karya (Golkar) Adies Kadir dan Wakil Ketua Komisi III DPR RI dari Fraksi Partai Gerindra Habiburokhman.
Namun, anggota Komisi III Fraksi PDIP Johan Budi Sapto Pribowo mengaku tidak tahu soal adanya persetujuan pembahasan perubahan ke-4 RUU MK. Ia dan beberapa koleganya dari PDIP bahkan tidak mendapat undangan.
“Saya enggak dapat. Karena sekali lagi kan reses, enggak ada di Jakarta. Kalau teorinya, orang reses orang ke dapil,” ujarnya di Gedung DPR, Jakarta Pusat, Selasa, 14/5.
Anggota Komisi III Fraksi Demokrat Hinca Pandjaitan, enggan membahas substansi perubahan revisi UU MK. Ia hanya mengatakan bahwa pembahasan tingkat I telah selesai dan akan segera disahkan pada sidang paripurna mendatang.
Berdasarkan dokumen yang diperoleh Forum Keadilan, terdapat 3 pasal yang direvisi oleh pemerintah dan DPR.
Ketiga pasal tersebut di antaranya ialah, pasal 23A terkait masa jabatan hakim konstitusi selama 10 tahun. Setelah menjabat selama 5 tahun, maka hakim tersebut harus meminta persetujuan ke lembaga pengusul untuk menjabat sebagai hakim kembali.
Selain itu, Pasal 27A terkait komposisi hakim Majelis Kehormatan MK (MKMK) yang ditambah menjadi 5 orang. Unsur tersebut terdiri dari Hakim Konstitusi dan satu orang lain diusulkan oleh MK. Sedangkan ketiga lainnya diusulkan oleh Mahkamah Agung, DPR, dan Presiden.
Pasal terakhir ialah pasal peralihan (Pasal 87) yang mengatur nasib hakim konstitusi yang tengah menjabat saat ini. Untuk hakim yang telah menjabat lebih dari 5 tahun dan kurang dari 10 tahun dapat melanjutkan jabatannya setelah mendapat persetujuan dari lembaga pengusul.
Kepentingan Politik
Dihubungi terpisah, Pakar Hukum Tata Negara Sekolah Tinggi Hukum Indonesia (STHI) Jentera, Bivitri Susanti mengungkapkan, perubahan revisi UU MK ini sarat akan kepentingan politis.
Bivitri mempertanyakan alasan pemerintah dan DPR yang melanjutkan kembali pembahasan. Sebab menurutnya, tidak ada urgensi tertentu.
Apalagi, kata dia, Indonesia saat ini sedang memasuki masa transisi dari pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) ke Prabowo Subianto. Bivitri menyebut terdapat istilah Lame Duck Period di mana pemerintahan saat ini tidak memiliki pijakan legitimasi yang kuat. Sehingga, para politikus harus berpegang pada teguh pada prinsip-prinsip konstitusi yang baik.
“Dalam masa transisi seperti ini, tidak boleh ada keputusan-keputusan politik yang dibuat seperti mengubah undang-undang yang punya dampak signifikan terhadap sistem ketatanegaraan,” ucap Bivitri ketika dihubungi Forum Keadilan, Selasa, 14/5.
Ia bahkan menganggap bahwa saat ini nilai konstitusional, prinsip negara hukum, dan etik tidak ada artinya lagi di mata para politisi.
Di sisi lain, Bivitri menuturkan bahwa revisi UU MK dimulai ketika parlemen berupaya untuk mengintervensi MK.
Hal itu dimulai ketika DPR secara ilegal menggantikan Hakim Aswanto dengan Hakim Guntur Hamzah. Saat itu, Ketua Komisi III Bambang Wuryanto menyebut kinerja Guntur sebagai Hakim mengecewakan karena kerap menganulir produk hukum yang dibuat oleh DPR.
“Ngaco betul logika itu, karena memang ini kekuasaan kehakiman, ada konsep yang namanya kemandirian kekuasaan kehakiman itu prinsip yang universal di seluruh dunia. Hakim enggak boleh dievaluasi berdasarkan putusannya,” katanya.
Masalah kedua yang Bivitri soroti ialah penambahan keanggotaan pada MKMK. Menurutnya, lembaga pengawasan yang baik terhadap Hakim ialah dengan membuat lembaga yang independen.
Ia bahkan menganggap keanggotaan MKMK saat ini tidak ideal. Apalagi, jika ditambah dengan beberapa unsur dari Presiden, DPR dan Mahkamah Agung (MA), maka akan menimbulkan banyak kepentingan politik.
“Akan terlalu banyak kepentingan politik yang harus dinegosiasikan nantinya. Akibatnya, pengawasan juga tidak akan efektif. Buat saya memang tujuan revisi kali ini benar-benar sangat sangat politis untuk cawe-cawe,” katanya.
Ia juga menyoroti bahwa revisi ini akan berdampak pada tiga hakim konstitusi yang tengah menjabat saat ini, yaitu Ketua MK Suhartoyo, Saldi Isra dan juga Enny Nurbaningsih. Karena, apabila RUU ini disahkan, maka ketiga hakim tersebut harus meminta persetujuan kepada lembaga pengusul untuk melanjutkan kembali tugasnya.
MK Dikondisi Terburuk
Bivitri mengatakan, kalau ingin memperbaiki MK, maka para pembentuk undang-undang harus melakukan evaluasi secara holistik dan tidak dilakukan di masa transisi.
“Perubahan undang-undang dilakukan tidak di masa sekarang, tapi di masa yang akan datang dengan melibatkan semua pemangku kepentingan dan dilakukan secara terbuka dan partisipatif, bukan diam-diam seperti ini,” ujarnya.
Kritik senada juga disampaikan oleh Pakar Hukum Tata Negara Universitas Mulawarman, Herdiansyah Hamzah. Menurutnya, MK tengah mengalami kondisi terburuk sejak lembaga ini lahir dari reformasi. Kata dia, MK sedang berusaha dipengaruhi, diganggu independensinya, ataupun dipolitisasi sesuai dengan kepentingan para elite politik.
“MK sedang berusaha dikooptasi, diambil alih dengan cara menempatkan orang-orang yang sesuai dengan selera kekuasaan,” ucapnya kepada Forum Keadilan, Selasa, 14/5.
Ia mengatakan bahwa kooptasi terhadap MK harus ditolak dan dilarang secara masif. Sebab, jika hanya berdiam diri, hal tersebut justru akan meruntuhkan marwah dan lembaga MK.
“Rencana perubahan UU MK ini bertujuan untuk memastikan agar hakim-hakim MK tunduk dan selaras dengan kehendak kekuasaan,” katanya
Lebih lanjut, ia menyebut bahwa pembentuk undang-undang harus patuh terhadap pertimbangan putusan perkara nomor 81/PUU-XXI/2023. Dalam pertimbangannya, Mahkamah menyebut bahwa revisi UU MK tidak boleh diberlakukan dan merugikan terhadap hakim-hakim yang tengah menjabat saat ini.
Apabila, pembentuk undang-undang berkehendak untuk mengubah persyaratan, maka perubahan tersebut haruslah diberlakukan bagi hakim yang diangkat setelah undang-undang tersebut diubah.
Ia juga menolak adanya istilah ‘persetujuan lembaga pengusul’ pada perubahan RUU MK. Menurutnya, hal itu justru menebalkan ruang intervensi dan kooptasi kekuasaan terhadap MK.*
Laporan Syahrul Baihaqi