PWI: RUU Penyiaran Sarat Akan Nuansa Politik

Ketua Umum PWI Pusat Hendry Ch Bangun usai menghadiri acara diskusi yang diadakan oleh Ikatan Jurnlias Televisi Indonesia (IJTI) di Gedung Dewan Pers, Jakarta Pusat, Rabu, 15/5/2024 | M. Hafid/Forum Keadilan
Ketua Umum PWI Pusat Hendry Ch Bangun usai menghadiri acara diskusi yang diadakan oleh Ikatan Jurnlias Televisi Indonesia (IJTI) di Gedung Dewan Pers, Jakarta Pusat, Rabu, 15/5/2024 | M. Hafid/Forum Keadilan

FORUM KEADILAN – Ketua Umum Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Pusat Hendry Ch Bangun mengatakan, penyusunan Rancangan Undang-Undang Penyiaran (RUU Penyiaran) yang tengah digodok oleh DPR sarat akan nuansa politik.

Seperti diketahui, salah satu poin di dalam RUU Penyiaran ini dianggap melarang media untuk melakukan investigasi.

Bacaan Lainnya

Dalam rancangan tersebut juga mengatur apabila terdapat sengketa pers tidak lagi ditangani oleh Dewan Pers melainkan oleh Komisi Penyiaran Indonesia (KPI).

“Kita tau KPI ini ada proper and test-nya di DPR ya, jadi ada nuansa-nuansa politis di dalamnya,” kata Hendry usai menghadiri acara diskusi yang diadakan oleh Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) di Gedung Dewan Pers, Jakarta Pusat, Rabu, 15/5/2024.

Dengan demikian, kata Hendry, akan ada sengketa kepentingan antara KPI dengan Dewan Pers apabila RUU diundangkan.

“Nah ini yang menurut kami sebaiknya (beberapa pasal) dicabut di dalam Rancangan Undang-Undang tersebut,” ujarnya.

Selain adanya tendensi politik dan sengketa kewenangan, Hendry mengungkapkan bahwa pihaknya menolak RUU tersebut lantaran mengancam kemerdekaan pers.

“PWI sudah menyatakan sikap bahwa ingin pasal-pasal yang dianggap merugikan kemerdekaan pers tidak ada di dalam rancangan undang-undang ini,” terangnya.

Selain itu, lanjut Hendry, RUU tersebut melarang media untuk melakukan investigasi. Padahal, menurut dia, investigasi yang dilakukan dapat menunjukkan bahwa media itu berkualitas.

“Penyiaran jurnalis investigasi ini kan menunjukkan kualitas jurnalisme itu sendiri, jadi kalau ini tidak ada lucu ya,” tandasnya.

Sebelumnya, Ketua Dewan Pers Ninik Rahayu menyatakan menolak RUU Penyiaran yang tengah digodok di DPR RI. Menurut Ninik, RUU tersebut sudah melenceng dari tujuan keberadaan pers di Indonesia.

“Dewan Pers bersama konstituen, (ada) 11 konstituen, 4 konstituen jurnalis, 7 konstituen perusahaan pers sepakat menolak Rancangan Undang-Undang Penyiaran ini,” kata Ninik.

Menurut Ninik, alasan penolakannya itu akibat ada pergeseran politik hukum dalam penyusunan peraturan tersebut, di mana penyusunan RUU tersebut sudah melenceng dari napas keberadaan pers di Indonesia.

Bagi Ninik, pers dibutuhkan di Indonesia bukan hanya atas dasar untuk kehidupan pers itu sendiri, serta bukan untuk kehidupan jurnalis dan perusahaan pers.

“Tapi pers dibutuhkan dalam rangka pemenuhan hak konstitusional warga negara yang dituangkan dalam Undang-Undang Dasar 45, hak untuk berpendapat, hak untuk berbicara baik secara tulisan maupun secara lisan,” ujarnya.

Ninik mengatakan, keberadaan pers di Indonesia sebagai pemenuhan terhadap hak warga negara. Oleh sebab itu, lanjut dia, pers menjadi pilar demokrasi keempat di Indonesia.

“Maka ada perubahan politik hukum yang sangat signifikan dan itu menjadi dasar kenapa pers yang diberi tugas untuk menjadi pilar demokrasi keempat melalui Undang-Undang 40 harus tetap ikut mengawal, harus dikawal, harus ditolak,” pungkasnya.*

Laporan M. Hafid

Pos terkait