FORUM KEADILAN – Ketua Dewan Pers Ninik Rahayu mengungkapkan alasan penolakan terhadap Rancangan Undang-Undang Penyiaran (RUU Penyiaran) yang tengah digodok di DPR RI. Menurut Ninik, RUU tersebut sudah melenceng dari tujuan keberadaan pers di Indonesia.
Pernyataan itu disampaikan oleh Ninik dalam diskusi yang diadakan oleh Ikatan Jurnlias Televisi Indonesia (IJTI) yang mengangkat tema “Menyoal Revisi UU Penyiaran yang Berpotensi Mengancam Kemerdekaan Pers” di Gedung Dewan Pers, Jakarta Pusat, Rabu, 15/5/2024.
“Dewan Pers bersama konstituen, (ada) 11 konstituen, 4 konstituen jurnalis, 7 konstituen perusahaan pers sepakat menolak Rancangan Undang-Undang Penyiaran ini,” kata Ninik dalam sambutannya.
Menurut Ninik, ada dua alasan atas penolakan terhadap RUU Penyiaran itu, pertama terdapat pergeseran politik hukum dalam penyusunan peraturan tersebut, di mana penyusunan RUU tersebut sudah melenceng dari nafas keberadaan pers di Indonesia.
Bagi Ninik, pers dibutuhkan di Indonesia bukan hanya atas dasar untuk kehidupan pers itu sendiri, serta bukan untuk kehidupan jurnalis dan perusahaan pers.
“Tapi pers dibutuhkan dalam rangka pemenuhan hak konstitusional warga negara yang dituangkan dalam UUD 1945, hak untuk berpendapat, hak untuk berbicara baik secara tulisan maupun secara lisan,” ujarnya.
Ninik mengatakan, keberadaan pers di Indonesia sebagai pemenuhan terhadap hak warga negara. Oleh sebab itu lanjut dia, pers menjadi pilar demokrasi keempat di Indonesia.
“Maka ada perubahan politik hukum yang sangat signifikan dan itu menjadi dasar kenapa pers yang diberi tugas untuk menjadi pilar demokrasi keempat melalui undang-undang 40 harus tetap ikut mengawal, harus dikawal, harus ditolak,” ucapnya.
Lebih lanjut, Ninik mengungkapkan bahwa RUU Penyiaran akan melarang pers untuk melakukan investigasi. Selain itu, peraturan itu juga akan merubah ranah penanganan dari Dewan Pers ke Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) apabila terjadi sengketa pers.
“Penyelesaian-penyelesaian konflik pemberitaan akan diselesaikan bukan dengan cara etik tapi penyelesaiannya dilakukan secara hukum pidana, hukum pemberedelan, hukum penyensoran yang itu sebetulnya tidak dikenal,” tuturnya.
Alasan kedua, Ninik menganggap DPR tidak melibatkan pihak terkait dalam penyusunan RUU Penyiaran. Padahal kata dia, dalam putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 91/PUU-XVIII/2020 telah diatur bahwa harus ada partisipasi publik atau pihak terkait dalam penyusunan peraturan. Atas dasar itu, Ninik menilai DPR telah menyalahi putusan MK tersebut.
“Kalau kita perhatikan ada meaningful participation ini berulang-ulang dilanggar. Bahwa makna partisipasi yang bermakna itu bukan hanya melibatkan, ada tiga poin penting melibatkan, mendengarkan, dan kalau masukan yang diberikan masyarakat tidak diakomodasi wajib memberikan penjelasan kepada pihak,” terangnya.
Kata Ninik, tidak ada satupun anggota Dewan Pers yang diundang oleh DPR untuk membahas soal RUU Penyiaran. Dengan begitu, DPR telah melanggar aspek formal dari penyusunan RUU tersebut.
“Mari kita cek adakah konstituan pers yang dilibatkan dalam perumusan kebijakan ini, draft ini? Setahu saya, tapi bisa dicek juga kepada anggota yang lain, seingat saya Dewan Pers yang beranggotakan 11 konstitusien belum pernah diundang. Saya enggak tahu kalau asosiasi secara terpisah diundang,” tandasnya.
Laporan M. Hafid