Deklarasi Oposisi Ganjar: Pendidikan Demokrasi atau Gimik Popularitas?

Capres nomor urut 3 Ganjar Pranowo usai menemui Ketua Umum PDIP Megawati Soekarno Putri di Teuku Umar, Jakarta Pusat, Selasa, 16/4/2024 | M. Hafid/Forum Keadilan
Capres nomor urut 3 Ganjar Pranowo usai menemui Ketua Umum PDIP Megawati Soekarno Putri di Teuku Umar, Jakarta Pusat, Selasa, 16/4/2024 | M. Hafid/Forum Keadilan

FORUM KEADILAN – Pengamat Politik Lingkar Madani Indonesia Ray Rangkuti menilai, deklarasi Ganjar Pranowo menjadi oposisi pemerintah setelah kalah dalam Pilpres 2024, sebagai tindakan pendidikan demokrasi dalam culture demokrasi.

Ray menilai, keputusannya mendeklarasikan diri sebagai oposisi pemerintahan Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka layak untuk diapresiasi. Pasalnya, hal tersebut sesuai dengan culture demokrasi bagi peserta pilpres yang kalah dalam menentukan lajur politik.

Bacaan Lainnya

“Apa yang dilakukan oleh Ganjar itu, seperti pendidikan politik bagi masyarakat kita supaya sesuai dengan yang dimaksud dengan move on. Seperti misalnya kalah, kita oposisi yang dilakukan oleh Ganjar menurut saya satu langkah maju dalam culture demokrasi kita, layak diapresiasi,” ucapnya kepada Forum Keadilan, Selasa, 7/5/2024.

Ray menilai, ada beberapa faktor yang menyebabkan keputusan tersebut mencuat dari mantan calon presiden tersebut. Di antaranya, Ganjar yang masih berada dalam tubuh Partai Demokrasi Perjuangan Indonesia (PDIP), sehingga deklarasi tersebut sesuai dengan kebijakan partai.

“Saya kira kenapa Ganjar melakukan itu, karena setidaknya ada beberapa faktor yang pertama karena beliau memang bersama dengan PDIP akan memilih jalur oposisi. Jadi saya rasa Ganjar mengikuti kebijakan partai yang mengusungnya,” ucapnya.

Selain itu, kata Ray, deklarasi Ganjar sebagai bentuk sindiran terhadap partai politik (parpol) yang ingin bergabung ke dalam koalisi pemerintahan Prabowo-Gibran. Termasuk sindiran terhadap Anies Baswedan yang ingin kembali maju di Pilkada 2024.

“Kemudian menurut saya sekaligus memberi, sindiran kepada partai-partai seperti, NasDem, PKB dan mungkin juga PKS. Termasuk menurut saya seperti Anies, kan mau jadi calon gubernur lagi, bukan begitu cara mainnya maksud saya, Ganjar mau mengatakan bukan begitu cara mainnya,” ujarnya.

“Kalau sudah selesai, ya sudah oposisi kepada pemerintah, jadi jangan lagi ikut kesana (pemerintahan) atau jadi gubernur lagi,” sambungnya.

Untuk itu, Ray menganggap, bukan seperti Prabowo yang belum bisa move on karena masih mencari kedudukan pasca kemenangannya menjadi Presiden terpilih.

“Yang susah ini kan seperti Prabowo, yang masih terus mencari-cari pendukung, itu kan menang yang tidak move on, itu kan seolah-olah di pilpres mencari pendukung, persis seperti berkampanye,” tuturnya.

Namun hal itu berbeda pandangan dengan Pengamat politik sekaligus Direktur Eksekutif Indonesia Political Opinion (IPO) Dedi Kurnia Syah. Dedi mengatakan, deklarasi Ganjar menjadi oposisi pemerintahan Prabowo-Gibran, lebih kepada gimik popularitas. Sebab, menurutnya, sistem politik di Indonesia tidak ada istilah oposisi.

“Deklarasi Ganjar lebih pada gimik popularitas, karena Ganjar tidak memerlukan deklarasi untuk nyatakan sikap oposisi. Sistem politik kita pada dasarnya tidak ada istilah oposisi,” tegasnya.

Sebab, menurut Dedi, bagi parpol di parlemen bukan berarti tidak lazim adanya oposisi. Sementara, tidak pada masyarakat sipil non parlemen yang menyebut dirinya oposisi. Sebab, tanpa deklarasi masyarakat sudah menjadi pengawas pemerintah.

Sehingga, Dedi menegaskan, moralitas politik tidak lebih baik dengan deklarasi yang dikumandangkan Ganjar.

“Bagi parpol di parlemen bukan berarti tidak lazim adanya oposisi. Sementara jika bagi individu, atau kelompok sipil non parlemen, menyebut diri sebagai oposisi itu tidak lazim. Apalagi sampai deklarasi, karena tanpa deklarasi sekalipun publik sipil secara otomatis menjadi pengawas pemerintah,” imbuhnya.

“Moralitas politik Ganjar tidak lantas lebih baik karena deklarasi,” tandasnya.*

Laporan Ari Kurniansyah