FORUM KEADILAN – Ketua Panitia Pemilihan Luar Negeri (PPLN) Kuala Lumpur nonaktif Umar Faruk mengakui mengubah Daftar Pemilih Tetap (DPT) sebanyak 1.402 pemilih.
Diketahui, Umar merupakan salah satu terdakwa kasus dugaan pemalsuan data dan daftar pemilih Pemilu 2024 di Kuala Lumpur, Malaysia.
“Apakah sekitar bulan Desember sampai tanggal 4 Januari 2024 ada dilakukan pengurangan mengeluarkan nama-nama dari daftar pemilih kemudian memasukan data-data baru yang diperoleh dari data domestik atase Ketenagakerjaan?” tanya jaksa dalam persidangan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Selasa, 19/3/2024.
“Iya,” jawab Umar.
“Berapa banyak nama pemilih itu?” tanya jaksa.
“1.402,” jawab Umar.
Jaksa kemudian bertanya apakah ada rapat pleno sebelum perubahan data pada DPT tersebut. Umar menjawab bahwa perubahan pada DPT dilakukan tanpa adanya rapat pleno.
“Apakah terhadap perubahan pengurangan dan penambahan DPT itu dilakukan melalui pleno terbatas atau terbuka?” tanya jaksa.
“Tidak ada,” jawab Umar.
Umar mengungkap, perubahan data pada DPT itu merupakan inisiatif dari terdakwa II, yakni Tita Octavia Cahya Rahayu, yang saat itu menjabat sebagai anggota Divisi Keuangan PPLN Kuala Lumpur.
“Tidak dilakukan, siapa yang berinisiatif untuk mengubah data pemilih tersebut?” tanya jaksa.
“Saudara Tita,” jawab Umar.
Kata Umar ide mengubah data DPT itu disampaikan Titi melalui grup WhatsApp yang beranggotakan seluruh anggota PPLN dan Sekretariat PPLN Kuala Lumpur.
“Apakah hal tersebut dilaporkan oleh terdakwa Tita di dalam grup dan disetujui oleh para terdakwa yang lain selaku anggota PPLN pada saat itu?” tanya jaksa.
“Yang saya tahu saat tanggal 24 Oktober ya mengirimkan melalui WhatsApp grup yang tergabung PPLN dan Sekretariat dan di situ saudara Tita sudah mengangkat isu itu dan bahkan sudah mengirimkan file-filenya dan tidak ada yang menanggapi saat itu,” jawab Umar.
Data 1.402 pemilih tersebut merupakan data yang diminta oleh Umar dari atase Ketenagakerjaan. Namun, Umar mengaku tidak pernah membuka data tersebut.
Umar mengaku hanya meminta data tersebut dari atase Ketenagakerjaan sesuai dengan kebutuhan divisi data PPLN.
“Berarti pada saat itu saudara memang menginginkan data-data daftar pemilu tersebut diganti, replacement?” tanya jaksa.
“Pengertian replacement saya adalah dilampirkan data selaras dengan tanggal 20 Desember saya menjawab apa yang menjadi saran perbaikan dari Bawaslu, pemahaman saya seperti itu,” jawab Umar.
“Terdakwa memasukan data-data yang diambil dari atase tenaga Ketenagakerjaan, apakah data tersebut sudah pernah diverifikasi atau apa pun tahapnya seperti tahapan-tahapan coklit-coklit itu sebelumnya?” tanya jaksa.
“Tidak, karena saya selaku ketua itu kan mengakomodir apa yang kemudian menjadi keperluan-keperluan dan kebetulan saat itu divisi data memerlukan data untuk database, sehingga kita mintakan melalui perwakilan ke atase Ketenagakerjaan tapi saya tidak pernah membukanya,” jawab Umar.
Sebelumnya, polisi menetapkan tujuh tersangka dalam kasus pelanggaran Pemilu 2024 di Kuala Lumpur. Kepolisian telah menggelar perkara dan ditemukan fakta bahwa Data Penduduk Potensial Pemilih Pemilu (DP4) Komisi Pemilihan Umum (KPU) Republik Indonesia (RI) untuk pemilih di Kuala Lumpur adalah sejumlah 493.856.
Tetapi, setelah dilakukan pencocokan dengan teliti oleh Petugas Pemutakhiran Data Pemilih (Pantarlih) hanya ada sebanyak 64.148 calon pemilih. Namun, total Rekapitulasi Daftar Pemilih Sementara (DPS) yang dicatat PPLN Kuala Lumpur justru berjumlah 491.152 pemilih.
Dari tujuh tersangka itu, enam di antaranya dijerat pasal berlapis, yaitu Pasal 545 dan/atau Pasal 544 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Sementara sisanya dijerat Pasal 544.*