Minggu, 06 Juli 2025
Menu

RUU PPRT Belum Disahkan, DPR Harus Tanggung Jawab Kekerasan yang Dialami PRT

Redaksi
Koordinator Nasional Jaringan Nasional Advokasi Pekerja Rumah Tangga (Jala PRT), Lita Anggraini saat ditemui di kawasan Cikini, Menteng, Jakarta Pusat, Selasa, 12/3/2024 | M. Hafid/Forum Keadilan
Koordinator Nasional Jaringan Nasional Advokasi Pekerja Rumah Tangga (Jala PRT), Lita Anggraini saat ditemui di kawasan Cikini, Menteng, Jakarta Pusat, Selasa, 12/3/2024 | M. Hafid/Forum Keadilan
Bagikan:

FORUM KEADILAN – Pekerja rumah tangga (PRT) selama hampir 20 tahun menunggu Rancangan Undang-Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PPRT) dapat disahkan oleh DPR menjadi Undang-Undang.

Penantian panjang dan berbagai upaya telah dilakukan, salah satunya dengan melakukan demonstrasi di depan Gedung DPR agar hak-hak PRT, seperti perlindungan hukum, kepastian upah, dan lain sebagainya dapat terpenuhi.

Koordinator Nasional Jaringan Nasional Advokasi Pekerja Rumah Tangga (Jala PRT) Lita Anggraini mengatakan, para pimpinan dan anggota DPR yang menjadi kendala utama tidak disahkannya RUU PPRT.

Lita menganggap, para anggota DPR masih sangat bias terhadap PRT, termasuk tidak memahami situasi sulit para buruh yang setiap menjadi korban kekerasan dari pihak pemberi kerja, hingga diperlakukan layaknya budak.

“Mereka (anggota DPR) mayoritas, hampir 100 persen adalah pemberi kerja yang masih sangat bias terhadap pekerja rumah tangga. Dan mereka sama sekali tidak memahami bagaimana situasi PRT yang menjadi korban setiap hari, yang bekerja dalam situasi perbudakan,” kata Lita usai diskusi bertajuk “DPR bertanggung jawab atas segala situasi perbudakan modern terhadap PRT: Kapan RUU PPRT segera disahkan?” yang diselenggarakan oleh LBH APIK Jakarta di kawasan Cikini, Menteng, Jakarta Pusat, Selasa, 12/3/2024.

Menurut Lita, para anggota DPR telah menyandra RUU PPRT karena belum disahkan hingga saat ini. Padahal lanjut dia, hampir setiap hari selalu ada PRT yang menjadi korban kekerasan yang dialaminya, mulai dari kekerasan fisik, psikis, seksual, hingga bekerja dengan sistem perbudakan modern.

“Bahkan tidak dibayar upahnya, tidak mendapatkan perlindungan sosial. Dan DPR karena menahan, menyandra RUU PPRT ini, maka DPR, pimpinan DPR, terutama ketua DPR, bertanggung jawab atas setiap kekerasan yang terjadi pada pekerja rumah tangga,” ujarnya.

Oleh sebab itu, Lita mendesak DPR agar di sisa waktu keanggotaannya dapat segera mengesahkan RUU PRT, sehingga dapat mensejahterakan kurang lebih 5 juta PRT yang sedang bekerja di Indonesia.

“(Jika belum disahkan) mereka akan terus bekerja dalam situasi perbudakan modern, tidak mendapatkan perlindungan. Mereka rentan (mendapat) kekerasan,” ucapnya.

Dalam catatannya, selama tiga tahun terakhir terdapat 3.824 kasus kekerasan yang dialami PRT. Menurut Lita, jumlah tersebut hanya bagi yang diketahui dan terparah. Sementara kasus yang belum diketahui bisa bertambah jumlahnya.

Adapun bentuk kekerasannya sangat bervariatif, mulai dari penyekapan, disiram air mendidih, disiksa dengan benda tumpul dan tajam, trafficking, tidak diberi makan dan tidak dibayar selama berbulan-bulan.

Lita juga mengungkapkan, kasus yang baru-baru ini terjadi, salah satunya, sebanyak lima PRT di Jatinegara, Jakarta Timur yang berusaha kabur dengan memanjat pagar berduri rumah tempat mereka bekerja.

Mirisnya, empat di antara mereka berusia 15 hingga 17 tahun. Kelimanya berupaya menyelamatkan diri karena tidak tahan dengan perlakuan buruk yang dialami.

Kemudian, pada 15 Februari 2024, aksi PRT menyelamatkan diri kembali terjadi di daerah Tanjung Duren, Jakarta Barat. PRT tersebut bernama Isabela Pule, dia memanjat tembok agar terhindar dari kekerasan yang dilakukan oleh majikannya.

“Nah, ini penting karena di RUU PRT kita juga mendesakkan adanya perubahan sistem perekrutan penempatan yang berbasis pada perlindungan, adanya pengawasan, sehingga bisa meminimalkan berbagai kekerasan terhadap pekerjaan rumah tangga,” tuturnya.

Dalam kesempatan yang sama, aktivis perempuan Ninik Rahayu menilai, belum disahkannya RUU PPRT terkendala ketidaksamaan pandangan para anggota DPR terkait RUU tersebut. Ditambah lagi, lanjut Ninik, para anggota DPR itu baru saja mengikuti pemilu dan tengah menunggu hasil penghitungan suara.

Kendati begitu, kata Ninik, pemerintah, mulai dari lingkaran istana hingga beberapa jajaran menteri sudah memberikan dukungan agar RUU tersebut segera disahkan.

“Tapi pada saat yang bersamaan, DPR kita tahu sedang melakukan kontestasi di pemilu dan sekarang juga masih masa penghitungan mungkin juga pada deg-degan ya,” ujarnya.

Namun, Ketua Dewan Pers ini berharap, di tengah menunggu hasil penghitungan suara, para anggota DPR untuk kembali konsentrasi agar RUU PPRT dapat segera disahkan.

“Karena bagaimanapun, RUU ini adalah tanggung jawab DPR saat ini untuk menyegerakan ya. Mudah-mudahan di waktu enam bulan DPR dengan pemerintah bisa bersama-sama menuntaskan, sehingga tidak perlu ada carry over (dibahas lebih lanjut) ke periode yang akan datang,” ucapnya.

Menurut Ninik, pengesahan RUU PPRT itu sangat urgen karena untuk memberi perlindungan terhadap PRT dan juga untuk memenuhi hak para pekerja. Menurut dia, semua pekerja, termasuk PRT harus mendapat perhatian yang sama dengan profesi yang lain.

“Sungguh sangat diharapkan, karena hanya dengan itu maka perlindungan bisa didapatkan ya, karena kerentanannya hingga saat ini masih sangat dirasakan. Berbagai bentuk kekerasan dan pemenuhan hak ya, untuk upah dan lain-lain belum didapatkan,” terangnya.

Sementara itu, anggota Komisi VI DPR RI Fraksi PKB Luluk Nur Hamidah yang turut menjadi pembicara dalam diskusi tersebut meminta maaf karena upaya yang dilakukan agar RUU PPRT dapat segera disahkan belum membuahkan hasil.

“Saya mohon maaf sekali karena tidak bisa menghadirkan itu (UU PPRT) lebih cepat,” kata Luluk.

Luluk mengaku, memang ada kendala untuk segera mengesahkan RUU tersebut.

Menurut Luluk, tidak banyak anggota DPR yang menganggap RUU PPRT perlu untuk segera disahkan. Terlebih kata dia, pengesehan tersebut berada di bawah kendali Ketua DPR.

“Sampai sekarang, memang tidak terlalu banyak juga pihak-pihak yang menganggap bahwa RUU PPRT ini harus kita segerakan, karena mengingat ini ada di meja pimpinan gitu,” ujarnya.

Di sisi lain, Ketua DPP PKB ini mengungkapkan bahwa saat ini tengah menghadapi dinamika politik, termasuk dia harus mengajukan hak angket terkait Pemilu 2024.

“Secara politik, kita juga punya dinamika yang cukup luar biasa. Saya juga mengajukan hak angket, karena ini juga bagian dari yang memang sudah seharusnya kami lakukan,” terangnya.

Kemudian, Luluk menganggap perjuangan untuk mengesahkan RUU PPRT akan lebih mudah ke depannya, karena DPR bakal menjadikan RUU PPRT sebagai RUU Inisiatif.

“Maka langkah berikutnya akan lebih mudah bagi kita untuk bisa mengusulkan, karena bagian yang tersulitnya ketika menjadikan RUU ini. Kemudian, ketika sudah jadi inisiatif DPR, kita juga sudah punya tim dari pemerintah. Maka sebenarnya tinggal satu langkah kecil saja,” paparnya.

Alhasil, Luluk berharap agar pimpinan DPR dapat segera membahas bersama dengan pemerintah, sehingga dapat mengesahkan RUU PPRT menjadi UU PPRT.*

Laporan M. Hafid