FORUM KEADILAN – Sumarsih mengaku kecewa terhadap pemberian kenaikan tanda kehormatan yang dilakukan Presiden Joko Widodo (Jokowi) kepada Menteri Pertahanan (Menhan) Prabowo Subianto. Dirinya menuntut agar Keputusan Presiden tersebut segera dicabut karena telah menghianati perjuangan korban pelanggaran HAM berat.
“Tuntutan kami adalah Keppres pemberian pangkat bintang empat kepada Prabowo harus dicabut,” tuturnya kepada awak media di Medan Merdeka Utara, Jakarta Pusat, Kamis, 29/2/2024.
Maria Katarina Sumarsih merupakan ibu dari Bernardinus Realino Norma Irmawan atau Wawan yang merupakan mahasiswa Universitas Atma Jaya. Â Ia merupakan salah satu dari 17 korban yang tewas tertembak pada Tragedi Semanggi I yang terjadi pada 13 November 1998. Selama lebih dari 17 tahun, Sumarsih memperjuangkan agar pelaku penembakan anaknya dan para pelanggar HAM berat dapat diadili di pengadilan HAM.
Dalam Aksi Kamisan ke-807, ia menyebut bahwa Jokowi merupakan seorang yang kontradiktif karena sangat terang benderang memutarbalikan fakta. Ia menyinggung sikap Jokowi yang pernah mengakui adanya 12 pelanggaran HAM berat pada tahun 2023, di mana salah satu kasus tersebut ialah terkait penghilangan aktivis pro demokrasi pada 1997-1998.
Kedua belas peristiwa tersebut ialah Peristiwa 1965-1966; Peristiwa Penembakan Misterius 1982-1985; Peristiwa Talangsari, Lampung 1989; Peristiwa Rumoh Geudong dan Pos Sattis, Aceh 1989; Peristiwa Penghilangan Orang Secara Paksa 1997-1998; Peristiwa Kerusuhan Mei 1998; Peristiwa Trisakti dan Semanggi I – II 1998-1999; Peristiwa Pembunuhan Dukun Santet 1998-1999; Peristiwa Simpang KKA, Aceh 1999; Peristiwa Wasior, Papua 2001-2002.
“Ini penghianatan dari para pejuang reformasi dan demokrasi yang diperjuangkan oleh gerakan mahasiswa,” tegasnya.
Sehari sebelumnya, Presiden Joko Widodo menganugerahi kenaikan pangkat istimewa berupa Jenderal TNI kehormatan kepada capres nomor urut 2 Prabowo. Jokowi beralasan bahwa anugerah ini diberikan atas kontribusinya kepada bangsa dan negara.
“Penganugerahan ini adalah bentuk penghargaan sekaligus peneguhan untuk berbakti sepenuhnya kepada rakyat, kepada bangsa, dan kepada negara,” kata Jokowi dalam Rapat Pimpinan TNI-Polri di Mabes TNI, Cilangkap, Jakarta, Rabu 28/2.
Pemutihan Pelaku Pelanggar HAM

Sumarsih menyebut tindakan yang dilakukan Jokowi tidak lebih sebagai bentuk pembersihan nama Prabowo dari dugaan pelanggaran hak asasi manusia yang berat. Prabowo diduga terlibat dalam kasus penculikan dan penghilangan paksa terhadap 13 aktivis pro demokrasi yang sampai saat ini belum ditemukan kebenarannya.
“Tidak hanya membersihkan nama baik Prabowo saja tapi juga dia (Jokowi) punya kepentingan untuk membangun politik dinasti,” katanya.
Dalam kesempatan yang sama, Kepala Divisi Impunitas Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), Jane Rosalina Rumpia mengamini pernyataan Sumarsih yang menyebut pemberian pangkat ini tidak lebih dari sekedar pemutihan nama Prabowo Subianto dalam kasus pelanggaran HAM berat.
Alih-alih mengeluarkan Keppres pembentukan pengadilan HAM ad hoc, kata dia, Jokowi malah membuat keputusan yang melukai perasaan korban. Menurutnya, presiden harus menganulir keputusan tersebut karena Prabowo seharusnya diadili di pengadilan HAM.
“Saya bersepakat ini adalah proses pemutihan bagi pelanggaran HAM berat,” ucap Jane, Kamis, 29/2.
Langgengnya Impunitas

Jane menilai bahwa selama rezim pemerintahan Jokowi, praktik impunitas atau kekebalan hukum sangat marak. Meski berasal dari kalangan sipil, kata dia, Jokowi malah mengangkat dan mengapresiasi para penjahat HAM dan Jendral-jendral semasa orde baru (orba).
Ia menganggap Jokowi telah menghianati apa yang ia janjikan semasa kampanye presiden 2014, apalagi dalam nawacitanya juga tertuang untuk berjanji menyelesaikan pelanggaran HAM berat.
“Tapi kita lihat di akhir kepemimpinan Jokowi, dia terus menerus membuat keputusan presiden yang sangat menyalahi aturan dan berseberangan dengan hak asasi manusia,” ungkap Jane.
Ditemui terpisah, Eks Sekretaris Jenderal Partai Rakyat Demokratik, Petrus Hariyanto menyebut bahwa Jokowi telah melanggengkan politik imunitas. Sampai saat ini, kata dia, tidak ada satu Jenderal yang diduga terlibat kasus pelanggaran HAM berat tidak dibawa ke meja hijau.
“Kita ketahui Prabowo Subianto adalah ikon Jenderal orde baru pelanggar HAM, kebijakan ini semakin meneguhkan politik impunitas,” katanya kepada Forum Keadilan, Kamis, 29/2.
Pria yang juga Juru Bicara Forum Rakyat Demokratik Untuk Keadilan Keluarga Korban Penghilangan Paksa tersebut menyebut agar Jokowi menepati janjinya untuk mencari 13 orang yang hilang yang sampai saat ini belum ditemukan.
Para aktivis pro demokrasi yang hilang adalah Wiji Thukul, Petrus Bima Anugrah, Suyat, Yani Afri, Herman Hendrawan, Dedi Hamdun, Sony, Noval Alkatiri, Ismail, Ucok Siahaan, Yadin Muhidin, Hendra Hambali, dan Abdun Nasser.
“Cari para korban yang hilang dan adili para pelanggar HAM,” tuturnya.
Apalagi, tuturnya, masa pemerintahan presiden Jokowi dalam beberapa bulan lagi akan berakhir. Ia meminta agar Jokowi menjalankan rekomendasi Pansus DPR tentang penghilangan paksa pada tahun 2009, salah satunya ialah membentuk pengadilan HAM untuk mengadili Prabowo Subianto.
Keempat rekomendasi pansus DPR itu ialah pembentukan pengadilan HAM ad hoc, pencarian para korban yang hilang, rehabilitasi dan kompensasi kepada keluarga korban, dan ratifikasi Konvensi Anti Penghilangan Paksa.
“Apa yang dilakukan Jokowi hari ini telah menyakiti hati keluarga korban penculikan. Ini adalah kali kesekian Jokowi mengkhianati perjuangan korban,” pungkasnya.*
Laporan Syahrul Baihaqi