FORUM KEADILAN – “Kawal demokrasi dengan segala dinamika dan romantikanya karena sejarah sedang diukir kembali”
Penggalan kalimat itu terucap dari Presiden ke 6 Republik Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) kepada jurnalis Najwa Shihab lewat sebuah obrolan singkat di sela-sela kampanye pilpres pasangan calon presiden dan wakil presiden Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka beberapa pekan lalu.
Bagi sebagian orang, kalimat tersebut bisa jadi tidak bermakna apa-apa, hanya pertemuan antara mantan presiden dengan seorang jurnalis ternama yang kebetulan memiliki seorang ayah mantan Menteri Agama di era Soeharto, Quraish Shihab.
Di sisi lain, banyak pihak memaknai pesan SBY tersebut memiliki makna yang mendalam. Sebagai seorang pemimpin yang pernah menjadi Menteri Koordinator Politik dan Keamanan serta dua periode memimpin negara ini, pesan tersebut dipandang sebagai signal dari sebuah sikap yang bersumber dari kemampuan SBY dalam melihat, menganalisa, dan memetakan keberpihakan dalam dinamika peta politik, khususnya Pilpres 2024.
SBY seolah begitu yakin langkah dan keputusan politik kali ini, bergabung dalam gerbong atau koalisi Indonesia Maju yang diarsiteki oleh Maestro Politik bernama Joko Widodo (Jokowi), merupakan sebuah anak tangga pertama untuk menghantarkan sang pangeran Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) menuju Istana Negara.
Sebuah keputusan penting serta bentuk tanggung jawab seorang ayah yang turun berkontribusi besar menyeret sang pangeran meninggalkan karier cemerlang di dunia militer untuk kemudian terjun ke politik pada 2016 silam.
Kala itu Agus Harimurti Yudhoyono yang masih berpangkat mayor melayangkan surat pengunduran diri kepada Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo, tepatnya pada Jumat, 23 September 2016.
Keputusan itu menggemparkan publik. Banyak pihak menilai Istana Cikeas, sebutan bagi keluarga SBY, lebih mementingkan keberlanjutan kekuasan dengan mengkarbit AHY yang kala itu masih dianggap sebagai anak ingusan di kancah politik sebagai calon tunggal penerus dirinya di Partai Demokrat.
Tak menunggu waktu lama, setahun setelah mengundurkan diri dari militer, tepatnya pada 2017 upaya tersebut secara konkrit diwujudkan dengan mengusung AHY bertarung di Pilkada DKI Jakarta.
Kecemerlangan karier akademik AHY yang memiliki tiga gelar pendidikan Master, Master of Science in Strategic Studies di Universitas Teknologi Nanyang, Singapura pada tahun 2006, Master in Public Administration dari Universitas Harvard, Amerika Serikat pada tahun 2010, serta Master of Arts in Leadership and Management dari Webster University Amerika Serikat, meraih predikat Summa Cum Laude pada tahun 2015 dengan IPK 4.0 itu tak bersua kenyataan.
Hasilnya, seperti kita ketahui bersama, AHY rontok di putaran pertama, takluk oleh mesin politik yang berpihak kepada pertarungan pasangan Ahok-Djarot dan Anies-Sandi yang pada akhirnya dimenangkan oleh Anies-Sandi.
Kegagalan di Pilkada DKI bagi seorang SBY bisa jadi hanya sebatas cek ombak atau testing the water untuk mengukur sejauh mana antusiasme publik terhadap sang pangeran. Guna mematangkan AHY, setahun berikutnya, Februari 2018, Susilo Bambang Yudhoyono yang kala itu masih menjabat sebagai Ketua umum Partai Demokrat mendapuk dan mengukuhkan AHY sebagai Komandan Komando Satuan Tugas Bersama (Kogasma) untuk Pemilukada 2018 dan Pemilu 2019.
AHY dipercaya memimpin upaya pemenangan Partai Demokrat, terjun langsung menjadi juru kampanye dan mengonsolidasikan kader-kader di daerah guna memenangkan calon yang diusung oleh Partai Demokrat. Hal tersebut sejalan dengan penunjukan dirinya sebagai Wakil Ketua Umum Partai Demokrat.
Untuk tak dapat diraih malang tak dapat ditolak, hasilnya lagi-lagi tidak terlalu memuaskan. Partai Demokrat hanya mampu mencapai target awal 35 persen dari 171 pemilihan. Begitu pula pada Pemilu serentak 2019, Partai Demokrat yang berkoalisi dengan partai politik pengusung pasangan Prabowo-Sandi kembali gagal. Bahkan untuk Pileg 2019, target 15 persen kursi di DPR hanya mampu diraih setengahnya, yakni 7,77 persen.
SBY tak setengah- setengah memoles AHY. Di setiap kegagalan AHY, SBY secara konsisten menindaklanjutinya dengan tugas dan tanggung jawab baru. Pasca kegagalan di Pilpres 2019, melalui pengaruh SBY, tepatnya pada 15 Maret 2020, AHY terpilih secara aklamasi oleh seluruh peserta Kongres Partai Demokrat di JCC Senayan, Jakarta, menjadi Ketua Umum Partai Demokrat menggantikan SBY periode 2020-2025.
Empat tahun memimpin Partai demokrat dengan segala dinamikanya, hilal itu mulai tampak terlihat di Pilpres 2024. Setelah melalui drama di Koalisi Perubahan yang mengusung Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar, Partai Demokrat berputar arah haluan berlabuh di Koalisi Indonesia Maju Prabowo-Gibran.
Keputusan itu berbuah manis. Meski belum ada keputusan final pemenang Pilpres 2024, namun hasil dari penghitungan quick count sejumlah lembaga survei telah mewakili keberhasilan keputusan Partai Demokrat memenangkan paslon yang diusungnya.
Lebih dari itu, keputusan Partai Demokrat menyeberang ke Koalisi Indonesia Maju diganjar dengan sebuah kursi menteri bagi Agus Harimurti Yudhoyono. 21 Februari 2024 menjadi hari bersejarah bagi Partai Demokrat, khususnya Dinasti Cikeas, tatkala Presiden Jokowi melantik Sang Pangeran Cikeas menjadi Menteri ATR/BPN Republik Indonesia. (Tim FORUM KEADILAN)