FORUM KEADILAN – Sebanyak 5.741.127 anggota Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) akan bertugas mengawal pencoblosan, Rabu 14/2/2024 mendatang. Tetapi, tragedi kematian massal di pemilu sebelumnya masih membayangi mereka.
Sebagaimana diketahui, 485 petugas KPPS meninggal dunia saat mengawal jalannya Pemilu 2019. Sedangkan, 10.997 KPPS sakit karena pergelaran pesta demokrasi itu.
Komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Pramono Ubaid Tanthowi menyebut, ada beberapa faktor yang menjadi penyebab kematian massal petugas KPPS kala itu.
Faktor pertama adalah penyakit penyerta (komorbid) yang diderita petugas. Penyakit kardiovaskuler, hipertensi dan stroke menjadi komorbid paling tinggi yang menyebabkan petugas sakit dan tewasnya petugas.
Berbagai persoalan psikologis, seperti kecemasan dan reaksi stres fisik juga turut meningkatkan risiko sakit dan kematian petugas KPPS saat menjalankan tugas.
Kemudian faktor manajemen risiko. Menurut Komnas HAM, Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) lemah dalam mekanisme pemeriksaan kondisi kesehatan para penyelenggara pemilu ad hoc.
Ubaid juga menyebut bahwa pemilu dengan lima surat suara dan proses penghitungan suara paling lama 12 jam, tidak dapat terpisahkan dari penyebab sakit dan kematian massal petugas KPPS.
Selanjutnya ialah faktor beban kerja yang tidak manusiawi. Komnas HAM menemukan bahwa beban kerja petugas KPPS sangat tinggi dan durasi kerjanya sangat panjang.
“Beban kerja petugas KPPS yang sangat tinggi dan disertai dengan durasi kerja yang sangat panjang, dapat mencapai 48 jam tanpa henti sejak persiapan pendirian TPS,” ujarnya kepada Forum Keadilan, Kamis 9/2/2024.
Komnas HAM juga mencatat bahwa penyelenggara pemilu ad hoc ini tidak memperoleh honorarium yang memadai, serta minim perlindungan dan pemenuhan hak hidup, hak atas kesehatan dan hak atas kesejahteraan.
Kemudian, lingkungan kerja TPS juga seringkali kurang baik untuk kesehatan para petugas. Lingkungan yang penuh asap rokok, ketersediaan makanan seperti gorengan dan minuman yang tidak sehat bagi tubuh, dan tidak tersedianya suplemen penambah daya tahan tubuh.
Ubaid memaparkan bahwa terkait hal ini, pihaknya telah mengeluarkan rekomendasi mitigasi kepada KPU, Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), dan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilihan Umum (DKPP).
Selain itu, Komnas HAM juga memberi rekomendasi kepada Kementerian Kesehatan (Kemenkes) untuk bekerjasama dengan penyelenggara pemilu untuk memberikan materi dan pelatihan bantuan hidup dasar (BHD) dalam Bimtek pembekalan bagi petugas ad hoc pemilu.
Tetapi, soal apakah rekomendasi mitigasi itu akan ditindaklanjuti oleh KPU, Komnas HAM belum bisa berkomentar. Sebab, rekomendasi itu akan terlihat efektivitasnya ketika pencoblosan.
“Efektivitasnya nanti kita lihat setelah 14 Februari. Apakah ada korban yang jatuh lagi? Kalau ya, menurun atau tidak,” pungkasnya.
Melindungi Petugas KPPS
KPPS pada dasarnya dibentuk untuk menyelenggarakan pemungutan dan penghitungan suara dalam Pemilu dan Pemilihan di tempat pemungutan suaran (TPS). Pembentukan dilakukan paling lambat 14 hari sebelum pelaksanaan pemilu, dan dibubarkan paling lambat satu bulan setelah pemungutan suara.
Peraturan KPU (PKPU) Nomor 8 Tahun 2022 menyebut, ada tujuh petugas KPPS di setiap TPS yang akan menjalankan tugasnya. Mereka terdiri dari satu ketua dan enam anggota. Mereka bertugas untuk mengumumkan daftar pemilih tetap (DPT) di TPS, menyerahkan daftar pemilih tetap kepada saksi peserta pemilu yang hadir, serta melaksanakan pemungutan dan penghitungan suara di TPS.
Kemudian, mereka juga bertugas untuk membuat berita acara dan sertifikat hasil pemungutan serta penghitungan suara, kemudian melaporkannya.
Selain itu, petugas KPPS juga diminta siap untuk melaksanakan tugas lain yang diberikan oleh KPU sesuai dengan peraturan perundang-undangan, dan menyampaikan surat pemberitahuan kepada pemilih untuk menggunakan hak pilihnya di TPS.
Berdasarkan ketetapan KPU RI, masa kerja petugas KPPS di Pemilu 2024 dimulai sejak 25 Januari hingga 25 Februari 2024. Dalam sebulan petugas KPPS bekerja, mereka mendapat honor Rp1,1 juta untuk anggota dan Rp1,2 juta untuk ketua.
Honor tersebut dua kali lebih besar daripada Pemilu 2019. KPU mengatakan, kenaikan gaji ini dilakukan sebagai bentuk kehormatan badan ad hoc yang bertugas selama Pemilu 2024.
Berdasarkan data yang diperoleh Forum Keadilan, selain honor, petugas KPPS di setiap TPS juga memperoleh beberapa asupan saat bekerja. Di antaranya ialah uang untuk suplemen daya tubuh Rp200 ribu, bantuan transport untuk dua kali pulang pergi Rp500 ribu, dan makanan dan minuman Rp1,3 juta per TPS.
Diketahui juga, bahwa KPU melakukan perubahan syarat usia dalam peraturan penerimaan KPPS dari yang semula minimial 17 tahun tanpa batas maksimal, menjadi 17 tahun hingga 55 tahun. Ketua KPU RI Idham Holik menyebut, diubahnya aturan ini agar peristiwa di tahun 2019 tak terulang kembali.
Kementerian Kesehatan (Kemenkes) Republik Indonesia juga mengaku telah bekerjasama dengan KPU guna menyiapkan berbagai upaya untuk mencegah kemungkinan kematian anggota KPPS di Pemilu 2024.
Menurut Kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Publik Kemenkes, dr Siti Nadia Tarmizi, hingga saat ini jajarannya telah menyiapkan langkah promotif dan preventif.
“Pertama itu, agar masyarakat dan petugas pemilu (KPPS, Bawaslu, TNI, POLRI) terjaga kesehatannya selama penyelenggaraan pemilu, telah kami koordinasikan dengan KPU dan sosialisasikan ke daerah pada 24 Januari lalu,” kata Kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Publik Kemenkes dr Siti Nadia Tarmizi kepada Forum Keadilan, Kamis 8/2.
Lalu, ia mengatakan Kemenkes juga akan melakukan screening kesehatan calon petugas KPPS yang bekerjasama dengan BPJS.
“Sehingga, mereka memahami faktor resiko apa saja. Seperti usia maksimal 55 tahun, tanpa komorbid atau terkontrol, maka harus berkoordinasi agar dapat dilakukan pengawasan akses mendorong memiliki jaminan kesehatan,” ujarnya.
Selanjutnya, adalah mengedukasi petugas KPPS tentang prosedur kesehatan (prokes) menjelang pemilu dan menjaga kesehatan individu dengan 4C, yaitu cukup tidur, cukup minum, cukup makan, dan cukup olahraga.
Fasilitas layanan kesehatan seperti Puskesmas dan Rumah Sakit yang bersiaga selama 24 jam pada tanggal 14 sampai 15 Februari 2024 nanti.
Di samping upaya menyiapkan stamina para petugas KPPS, Kemenkes juga mengerahkan jajarannya untuk tetap bersiaga jika ada bencana alam, non alam maupun konflik sosial di saat berlangsungnya pemilu nanti.
Beban Kerja Merenggut Nyawa
Sosiolog Universitas Negeri Medan (Unimed) Dr Bakhrul Khair Amal menyebut, peristiwa kematian massal petugas KPPS lebih kompleks dari sekedar masalah kesehatan.
Bakhrul menjelaskan, meninggalnya anggota KPPS di Pemilu 2019 memang didasari oleh kondisi kesehatan mereka. Tetapi, kelelahan fisik akibat beban kerja yang berat lah yang jadi pemicunya. Terlebih, waktu istirahat selama proses rekapitulasi surat suara juga kurang.
Bukan hanya itu, kata Bakhrul, ketegangan sosial di TPS juga berpengaruh. Ketegangan yang sebagai tindak lanjut dari ketegangan politik ini menjadi salah satu pemicu kematian massal di pemilu itu.
“Di beberapa daerah, ketegangan politik dan potensi kecurangan dapat memicu stres dan tekanan mental,” kata Bakhrul kepada Forum Keadilan, Jumat 9/2.
Merujuk pada catatan Komnas HAM, meninggalnya anggota KPPS banyak terjadi di Jawa Barat, Jawa Tengah dan Banten. Jawa Barat sendiri merupakan pemilik penduduk terbanyak di antara wilayah lainnya. Hal ini lah yang di sorot Bakhrul.
Ia menjelaskan bahwa semakin tinggi suara, maka semakin tinggi kepentingannya, sehingga gesekan di antara mereka juga semakin tinggi. Hal ini yang jadi pemicu sakit dan meninggalnya petugas KPPS. Bahkan kata dia, gesekan tersebut juga dapat menimbulkan konflik dan kriminal.
Bakhrul memandang, kondisi geografis juga dapat mempengaruhi karakter seseorang. Orang yang tinggal di daerah yang gersang akan lebih mudah marah dan tersinggung. Ditambah lagi dengan memanasnya suhu politik di daerah tersebut.
“Kondisi itu menurunkan kesabaran. Masyarakat lebih mudah terlibat dalam konflik. Juga memperburuk ketegangan sosial. Situasi yang panas dapat mempermudah terjadinya gesekan antar kelompok,” bebernya.
Apa yang diungkapkan Bakhrul dibenarkan oleh salah seorang mantan ketua KPPS Pemilu 2019. KP inisialnya, ia bercerita bahwa tekanan di TPS pada Pemilu 2019 lalu memang sangat terasa.
“Tekanan politiknya sangat terasa, karena kita berurusan bukan dengan wilayah. Bukan seperti pemilihan RT atau RW lagi, ini kita berurusan dengan negara dan hukum. Kalau ada kesalahan apapun, itu sudah pasti yang dipertanyakan duluan Ketua KPPS-nya,” ucapnya kepada Forum Keadilan, Jumat 8/2.
KP menuturkan, puncak keletihan petugas KPPS terjadi saat penghitungan suara. Karena, pada saat itu, para anggota KPPS yang berjaga harus memiliki ketelitian dan konsentrasi penuh. Agar, tidak terjadi penghitungan ulang.
“Kita harus ekstra dan teliti, itu pas di penghitungan suaranya. Di tahun 2019 itu ada lima surat suara. Itulah yang harus benar-benar teliti saat penghitungannya, karena harus dipisah-pisah dan pencoblosan pun itu nanti dipisah-pisah. Di situ lah, kadang kalau yang enggak teliti benar-benar, susah buat kita menghitung ulang surat suara itu,” sambungnya.
Beban kerja ekstra tersebut, kata KP, membuat petugas KPPS tidak menghiraukan kebutuhan utamanya, seperti makan dan istirahat yang cukup.
“Capek itu sudah pasti. Karena sebelum hari pencoblosan benar-benar semua KPPS kerja ekstra sampai kurang tidur. Kita bikin tenda sampai tengah malam. Faktornya kurang makan dan istirahat,” ungkapnya.
Mantan anggota KPPS di wilayah Bekasi yang berinisial AL juga membenarkan banyak petugas KPPS yang mengalami sakit, bahkan sampai meninggal dunia itu dikarenakan kaget akan beban kerja mereka. Masyarakat yang awalnya tidak bekerja, kemudian diberi kejutan kerja ekstra.
“Kebanyakan orang lagi tidak bekerja kemudian ada pemilu yang kerjanya full, bisa jadi banyak yang kaget (tidak terbiasa) dengan sistem kerja yang ekstra. Ditambah banyak yang memiliki riwayat penyakit, fisiknya tidak kuat,” tutupnya.* (Tim FORUM KEADILAN)