Tak Ada Ide Baru, Pesimis Kandidat Presiden Bisa Sejahterakan Guru

Guru. Ist
Guru. Ist

FORUM KEADILAN – Tiga calon presiden (capres) mengumbar janji untuk menyejahterakan guru honorer. Tetapi, tidak adanya ide baru yang terlontar dari ketiga kandidat, membuat janji mereka diragukan.

Kesejahteraan guru honorer sempat jadi pembahasan dalam Debat Kelima Pilpres 2024, Minggu, 5/2/2024. Capres nomor urut 1, Anies Baswedan mengatakan, kalau terpilih dirinya bakal mengangkat 700 ribu guru honorer menjadi Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) dan mempercepat sertifikasi guru.

Bacaan Lainnya

Kemudian capres nomor urut 2, Prabowo Subianto menyatakan bahwa sistem pendidikan di Indonesia harus diaudit untuk meningkatkan kesejahteraan tenaga pengajar. Ia mengatakan, saat ini banyak kebocoran alokasi dana yang diturunkan pemerintah.

Sedangkan capres nomor urut 3, Ganjar Pranowo mengaku, ia akan memberikan gaji guru honorer sesuai upah minimum provinsi (UMP) ditambah 10 persen. Selain itu, ia juga akan meluncurkan aplikasi Bimbingan Teknis Online dan Pendampingan (Bolpen) yang diklaim mampu mengurangi beban kerja guru.

Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia Ubaid Matarji menganggap, apa yang disebutkan ketiga capres dalam debat itu hanyalah janji kontestasi belaka.

Ubaid menjelaskan, gagasan para capres itu sebenarnya sudah ada sejak zaman Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Joko Widodo (Jokowi). Tetapi nyatanya, persoalan kesejahteraan guru honorer sampai sekarang tak kunjung selesai.

Ubaid menyayangkan, tidak ada capres yang memilik terobosan baru terhadap sistem pendidikan berkeadilan.

“Semua kandidat gagal menjawab pertanyaan ini dengan inovasi gagasan atau sistem baru yang lebih berkeadilan bagi guru,” kata Ubaid kepada Forum Keadilan, Senin, 5/2/2024.

Ubaid lantas mempertanyakan, bagaimana cara para capres meningkatkan kesejahteraan guru kalau tidak ada perubahan skema dalam penggunaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).

Sebagaimana diketahui, anggaran pendidikan tahun 2023 sebesar Rp612,2 triliun atau 20 persen dari APBN di tahun yang sama. Meskipun besar, menurut Ubaid, gaji guru tidak dapat menjadi prioritas dalam anggaran tersebut, karena akan berdampak pada alokasi lain.

Untuk itu ia menyarankan, gaji guru baiknya diberikan dari luar anggaran pendidikan. Melalui cara ini, pemerintah bisa lebih leluasa dalam memantau alokasi berdasarkan kebutuhan guru di lapangan.

“Kalau gaji guru diambil dari jatah 20 persen, maka penuntasan pengangkatan guru honorer akan selalu menjadi janji manis untuk mendulang suara saja,” ungkapnya.

Soal ketidakcukupan biaya juga sempat diungkapkan oleh Wakil Ketua Komisi X DPR RI Dede Yusuf. Ia menjelaskan, sebenarnya dalam tiga tahun belakangan pemerintah telah mengangkat 600 ribu guru honorer untuk menjadi PPPK. Saat ini, mungkin tersisa sekitar 350 ribu guru lagi yang belum diangkat.

Dede mengatakan, penyebab masih adanya guru honorer yang belum diangkat ialah karena ketidaksiapan biaya.

“Banyak daerah yang tidak siap untuk membiayai jika semuanya menjadi PPPK, karena keuangan daerah tidak mencukupi. Maka harus dibikin kesepakatan dengan pemerintah daerah dulu, karena gajinya memang dari pusat APBN. Tapi untuk tunjangan kerja dan lain-lain itu kan dari daerah,” katanya kepada Forum Keadilan, Senin 5/2.

Ia juga mengakui, memang rata-rata guru honorer berpenghasilan Rp300 ribu – 500 ribu per bulan. Ia pun menawarkan beberapa cara untuk memperbaikinya.

Pertama, menaikkan mereka menjadi PPPK agar mendapatkan honor sesuai dengan standarnya ASN. Kedua, dengan memberikan mereka seperti insentif pengajaran.

Terkait anggarannya, kata Dede bisa didapat dari pemerintah daerah atau pemerintah pusat. Pemerintah bisa juga menambahkan insentif dari dana biaya operasional sekolah (BOS), sehingga guru honorer bisa mendapatkan pendapatan yang layak.

Tetapi, menurut Koordinator Nasional Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G) Satriawan Salim, semua itu bukan lah solusi.

 

PPPK Bukan Solusi

Satriawan menjelaskan, sumber daya manusia suatu bangsa ditentukan dengan bagaimana negara memperlakukan tenaga pendidiknya. Untuk itu, persoalan guru honorer bukan sepele. Persoalan ini merupakan masalah signifikan yang harus dihadapi dalam peta Jalan Pendidikan Indonesia.

Selama ini, solusi yang ditawarkan pemerintah dalam menyejahterakan guru honorer hanya lah sebatas mengangkat mereka menjadi PPPK. Padahal, PPPK tidak lebih dari sekedar aparatur sipil negara (ASN) kelas 2 dengan sistem kerja kontrak.

“Yang kami dorong itu dari awal adalah pemerintah merekrut kembali guru PNS (pegawai negeri sipil) bukan PPPK. Karena PPPK ini hanya sebatas emergency exit,” ucapnya kepada Forum Keadilan, Senin 5/2.

Ia menjelaskan, PPPK memiliki sistem kontrak yang beragam, mulai dari 1 hingga 3 tahun. Sistem PPPK ini, menurutnya tak memberikan kepastian bagi pengembangan karir guru, peningkatan kompetensi, dan kesejahteraan itu sendiri.

Mengacu pada Pasal 37 Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 49 Tahun 2018 tentang Manajemen Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja dijelaskan bahwa masa hubungan perjanjian kerja paling singkat satu tahun dan dapat diperpanjang sesuai kebutuhan dan berdasarkan penilaian kinerja. Hal ini sangat kontras dengan masa kerja aparatur sipil negara yang bisa mencapai masa usia pensiun yaitu 58 sampai 60 tahun.

“Bagaimana guru bisa meningkatkan karir, mengembangkan kompetensi kalau kontraknya hanya 1 atau 2 tahun?” ujarnya

Satriawan menjelaskan, selama 3 tahun rekrutmen PPPK di era Jokowi masih banyak menimbulkan masalah. Bahkan sejak 2021, kata dia, banyak guru honorer yang sudah mengikuti tes PPPK dan dinyatakan lulus passing grade, namun sampai 2024 nasib mereka masih terkatung-katung karena belum mendapatkan formasi dari pemerintah daerah.

Bukan hanya pengangkatan, kata Satriawan, kompetensi guru juga bermasalah. Menurutnya, kompetensi guru saat ini masih rendah dan butuh perhatian lebih dari negara.

Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat ada 3,37 juta guru di Indonesia pada tahun ajaran 2022/2023. Jumlah tersebut naik 2,70 persen dibandingkan pada tahun ajaran sebelumnya yang sebanyak 3,28 juta orang. Namun menurut data Dirjen Guru dan Tenaga Kependidikan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) di 2022 lalu, masih terdapat 1,6 juta guru yang belum tersertifikasi.

Sertifikat pendidik sendiri merupakan salah satu syarat wajib bagi masyarakat untuk menjadi guru profesional. Hal itu juga telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen.

Banyaknya guru yang belum tersertifikasi ini, menurut Satriawan disebabkan oleh kesalahan pemerintah sendiri. Pemerintah memberikan syarat yang sulit untuk mendapatkan sertifikat pendidik.

Untuk itu Satriawan mendorong agar presiden terpilih nanti dapat berkomitmen untuk memberikan sertifikat pendidik kepada para guru yang belum tersertifikasi, dengan cara pemutihan.

Kemudian, masalah lain yang menjadi sorotan Satriawan ialah terkait kesejahteraan para guru. Kata dia, bukan hanya gajinya yang kecil, tetapi pembayarannya juga kerap dirapel. Menurutnya, ini merupakan bentuk ketidakhormatan terhadap pahlawan tanpa tanda jasa.

“Dibayarnya rapel per 3 bulan sekali, sesuai dengan cairnya dana bantuan oprasional sekolah (BOS) dari pemerintah,” ucapnya.

Satriawan membeberkan, selama ini sistem pemberian upah hanya bergantung pada aturan yang telah diterapkan oleh sekolah dan yayasan. Belum ada standar yang layak dalam memberikan upah.

Berdasarkan Pasal 14 ayat 1(a) UU Nomor 14 Tahun 2005 menjelaskan bahwa tenaga pendidik berhak memperoleh penghasilan di atas kebutuhan hidup minimum dan jaminan kesejahteraan sosial. Namun, aturan itu sendiri tak menyebut besaran minimal upah untuk guru.

Untuk itu Satriawan berharap, presiden terpilih nantinya dapat memiliki komitmen politik yang kuat untuk memberikan upah minimum bagi guru-guru non-PNS.

“Kami berharap ya upah minimum guru non-ASN itu di atas UMP atau UMK,” tukasnya.* (Tim FORUM KEADILAN)

Pos terkait