FORUM KEADILAN – Gelombang protes dari civitas academica, mulai dari Guru Besar (Gubes), dosen, dan mahasiswa mewarnai akhir masa jabatan Presiden Joko Widodo (Jokowi). Mereka mengaku prihatin atas kondisi demokrasi dan dunia hukum di Indonesia yang dianggap sudah terkoyak.
Kritikan civitas academica terus meluas di berbagai kampus, mulai dari Universitas Gadjah Mada (UGM), Universitas Islam Indonesia (UII), Universitas Indonesia (UI), Universitas Hasanuddin (Unhas), Universitas Padjadjaran (Unpad), dan beberapa kampus lainnya.
Peneliti senior Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Siti Zuhro menilai, kritikan para Gubes tersebut bukan berangkat dari ruang hampa, melainkan sebagai alarm kepada para penguasa untuk kembali ke jalan yang benar, terlebih dalam etika perpolitikan yang belakangan ini dianggap tidak penting dan diterabas demi kekuasaan yang didambakan.
“Karena masalah etika ini krusial dan pelanggaran atasnya dianggap sangat serius, maka publik, akademis seperti para Gubes di banyak kampus bergerak dan menyampaikan seruannya untuk mengingatkan penguasa dan para elit agar sadar dan kembali ke jalan yg benar,” kata Siti Zuhro kepada Forum Keadilan, Sabtu, 3/2/2024.
Menurut Siti, pelanggaran etika mulai menjamur pada pelaksanaan Pemilihan Umum (Pemilu) 2024. Namun, lanjut Zuhro, saat beberapa pihak, seperti civitas academica mengingatkan pentingnya etika, justru direspons dengan kemarahan.
“Sejak Pemilu 2024 bergulir, isu etika senantiasa muncul. Etika atau moral politik acap kali dilanggar. Seolah etika tidak penting dan ironisnya ketika etika dipersoalkan dan dipertanyakan ada pula yg meresponsnya dengan marah,” ujarnya.
Selain etika, menurut Siti, penguasa dan elit politik mempermainkan Undang-Undang (UU) dengan cara yang kotor. Seharusnya, kata dia, mereka menjunjung tinggi konstitusi dan peraturan yang berlaku.
“Mereka harus menjunjung tinggi tegaknya konstitusi dan UU serta peraturan yang ada. Jangan karena ingin menang pemilu, cara-cara kotor pun dilakukan, karena itu para Gubes menyuarakan secara lantang seruannya agar cara-cara itu harus dihentikan,” ucapnya.
Kata Siti, turun gunungnya para akademisi tersebut juga karena Jokowi memaksa untuk terlibat dan cawe-cawe untuk memenangkan salah satu pasangan calon (paslon) pada Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024.
“Pemerintah harus memahami dengan baik bahwa Indonesia menjalankan sistem demokrasi. Pemilu 2024 saat ini dilaksanakan dalam koridor sistem demokrasi,” tuturnya.
“Maka ketika pemerintah terkesan memaksakan kehendaknya dengan cawe-cawe dalam proses koalisi dan pencapresan paslon, hal ini menyulut respons kolektifitas dunia kampus untuk turun gunung,” imbuhnya.
Ditambah lagi, kata Siti, banyak keluhan yang diutarakan oleh paslon lainnya yang tidak didukung pemerintah kerap diperlakukan tidak setara dan tidak adil. Kondisi ini yang membuat masyarakat luas prihatin.
Lebih lanjut, Siti menilai, jika kritikan yang disuarakan oleh akademisi tersebut tidak direspons baik oleh pemerintah dan pelanggaran masih terus dilakukan, maka tak bisa dipungkiri akan ada aksi demonstrasi untuk meminta etika serta keadilan di Indonesia kembali ditegakkan.
“Kalau seruan lantang para Gubes dari kampus-kampus tersebut tidak direspons baik oleh pemerintah, dan pelanggaran makin menjadi-menjadi tak tertutup kemungkinan akan ada demonstrasi yang diikuti elemen-elemen prodemokrasi untuk penegakan etika dan keadilan,” terangnya.
Siti pun mendorong agar pemerintah dan para Gubes duduk bareng untuk membicarakan persoalan demokrasi dan kepastian hukum di Indonesia.
“Poin pentingnya, hentikan praktik dinasti politik dan tegakkan pemilu jurdil (jujur dan adil) dan berkualitas agar suksesi berjalan baik,” sergahnya.
Sebelumnya, Istana Kepresesidenan turut menanggapi gelombang kritikan para akademisi. Kritikan para Gubes tersebut dianggap sebagai penggiran opini dan politik partisan, di mana hal itu kerap muncul jelang pemilu.
“Kita cermati di tahun politik, jelang pemilu pasti munculkan sebuah pertarungan opini, penggiringan opini. Pertarungan opini dalam kontestasi politik adalah sesuatu yang juga wajar aja. Apalagi kaitannya dengan strategi politik partisan untuk politik elektoral,” kata Koordinator Staf Khusus Presiden Ari Dwipayana di Kompleks Kemensetneg, Jakarta, Jumat, 2/2.
Menurut Siti, pernyataan Ari soal Gubes yang dianggap sebagai politik partisan tidak benar. Baginya, para Gubes tersebut tidak bisa disamakan dengan pra influencer atau buzzer yang dapat diperintah oleh atasannya.
“Sangat tidak benar. Keprihatinan para Gubes dari kampus-kampus tersebut sangat risau dengan pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan selama ini. Para akademisi adalah penjaga moral, politik mereka adalah politik moral, bukan politik praktis,” tegasnya.
Siti juga menanggapi soal pengakuan Ketua Dewan Guru Besar UI Harkristuti Harkrisnowo yang diintimidasi karena mengkritik pemerintah era Jokowi. Intimidasi itu diduga dari seorang alumni UI yang juga sebagai seorang aparat penegak hukum melalui aplikasi pesan WhatsApp (WA).
“Kami ada intimidasi juga, kami mendapat WA dari salah seorang mahasiswa kami (alumni Fakultas Hukum) yang mengatakan kecewa kenapa UI ikut UGM dan UII, karena kita bisa pergi ke pejabat berwenang untuk menyampaikan ide,” kata Harkristuti kepada wartawan di Halaman Rektorat UI, Depok, Jawa Barat, Jumat, 2/2.
Menurut Siti, hak demokrasi dan hak menyampaikan pendapat dilindungi oleh konstitusi. Dia pun mendorong agar yang melakukan pengancaman itu dilaporkan ke pihak berwajib.
“Kebebasan berpendapat harus senantiasa dihargai. Siapa pun mengancam kebebasan berpendapat selayaknya dilaporkan dan diurus secara tuntas agar tak ada ancaman-ancaman lain yang muncul,” pungkasnya.
Civitas academica ramai-ramai mengkritik pemerintahan Jokowi. Kritikan tersebut diawali oleh para guru besar UGM yang kemudian dikenal dengan Petisi Bulaksumur. Beberapa kampus lainnya mengikuti sikap Guru besar UGM itu, seperti UII, UI, Unhas, Unpad, dan beberapa kampus lainnya.
Guru Besar Psikologi UGM Prof Koentjoro mengaku menyampaikan keprihatinan yang mendalam atas semua tindakan menyimpang dari prinsip-prinsip moral demokrasi yang dilakukan oleh Jokowi.
“Setelah mencermati dinamika yang terjadi dalam perpolitikan nasional selama beberapa waktu terakhir sekaligus mengingat dan memperhatikan nilai-nilai Pancasila serta jati diri Universitas Gadjah Mada, menyampaikan keprihatinan yang mendalam terhadap tindakan sejumlah penyelenggara negara di berbagai lini dan tingkat yang menyimpang dari prinsip-prinsip moral demokrasi, kerakyatan, dan keadilan sosial,” kata Kuntjoro membacakan petisi di UGM beberapa waktu lalu.
Kuntjoro menyesalkan, Jokowi yang juga merupakan alumni UGM telah berlaku menyimpang di akhir masa jabatannya.
“Kami menyesalkan tindakan-tindakan menyimpang yang justru terjadi dalam masa pemerintahan Presiden Joko Widodo yang juga merupakan bagian dari keluarga besar Universitas Gadjah Mada,” tuturnya.
Dengan begitu, Kuntjoro mendesak Jokowi dan para elit politik untuk kembali menaati amanat demokrasi serta nilai-nilai kerakyatan yang selama ini diperjuangkan.
“Melalui petisi ini, kami segenap sivitas akademika Universitas Gadjah Mada, meminta, mendesak, dan menuntut segenap aparat penegak hukum dan semua pejabat negara dan aktor politik yang berada di belakang Presiden Joko Widodo, termasuk Presiden sendiri, untuk segera kembali pada koridor demokrasi, serta mengedepankan nilai-nilai kerakyatan dan keadilan sosial,” pungkasnya.*
Laporan M. HafidĀ