Aktivis 98 Sebut Amien Rais Tak Pantas Dijuluki Bapak Reformasi

Aktivis '98 Forum Kota (Forkot) Natalie pada program Menolak Lupa Forum Keadilan, di kawasan Juanda, Jakarta Pusat, Rabu 24/1/2024.
Aktivis '98 Forum Kota (Forkot) Natalie pada program Menolak Lupa Forum Keadilan, di kawasan Juanda, Jakarta Pusat, Rabu 24/1/2024 | Ari Kurniansyah/Forum Keadilan

FORUM KEADILAN  – Aktivis Forum Kota (Forkot) 98 Universitas Kartanegara Natalie mengatakan, Muhammad Amien Rais (Amien Rais) bukan lah bapak reformasi. Sebab, mahasiswa aksi 1998 lebih dulu masuk ke kawasan gedung Dewan Perwakilan Rakyat dan Majelis Permusyawaratan Rakyat (DPR/MPR).

“Ketika semua orang mengatakan Amin Rais sebagai Bapak Reformasi, dari sebelah mana? Tanggal 18 Mei, Forkot yang masuk pertama saya ingat 12 orang sebelum melakukan representasi dengan wakil rakyat,” katanya pada program Menolak Lupa Forum Keadilan.

Bacaan Lainnya

Natalie menilai, kedatangan Amien Rais tidak bisa diterima. Sebab, Amien Rais yang tiba-tiba muncul ke lokasi para pejuang demokrasi itu, ingin melakukan konferensi pers dan hal itu yang tidak diketahui masyarakat luas.

“Amien Rais datang ketika kita ingin konferensi pers, tiba-tiba mobilnya masuk dia masuk muncul, orang memanggilnya Bapak Reformasi, tetapi banyak orang yang tidak tahu,” ujarnya.

Natalie memandang, suasana pada saat itu sangat mencekam. Dirinya sempat mengimbau kepada pejuang demokrasi lainnya untuk tetap berwaspada dan menyarankan lari apabila suasana semakin keos. Untuk itu dirinya meminta para aktivis masuk ke dalam sebuah kolam, agar menjadi bukti berdarah pada masa reformasi.

“Ketika masuk gerbang itu senjata ditodongkan di tubuh, senjata laras panjang itu satu orang 4 senjata menempel. Itu pun masih di luar pagar, dan saya ingatkan apa pun yang terjadi dengan kita atau keos, usahakan lari kedalam kolam agar kolam tersebut menjadi saksi berdarah,” tuturnya.

Natalie menuturkan, pada 1997 dirinya pernah merasakan penurunan ekonomi. Pada saat itu, dirinya masih berkuliah di Universitas Kartanegara dan juga menjadi pegawai di salah satu perusahaan panel listrik. Pada saat itu, dirinya mengamati semakin terasa akan kekeringan ekonomi pada zaman presiden Soeharto.

“Saya kerja dan kuliah, pada tahun 1997, bekerja di perusahaan pembuat panel listrik. Ketika di proyek sangat terlihat krisis saat itu, saya sudah memahami ketika dolar naik dan nilai rupiah anjlok. Meskipun berbeda saat ini bayang-bayang krisis ekonomi global, tetapi pada masa Orde Baru itu krisis ekonomi Asean,” imbuhnya.

Lebih lanjut, Natalie juga mengungkap kekejaman di masa pemerintahan Soeharto atau Orde Lama. Pada saat itu, tidak boleh ada yang berkumpul dan berbicara tentang pemerintah. Hal itu disebabkan penyebaran intel yang mengamati, sehingga dirinya sangat takut.

Pada waktu itu, kata Natalie, juga marak terjadi penculikan pada tempat umum. Bahkan, mengharuskan dirinya untuk membawa baju ganti saat berangkat dan pulang bekerja.

“Tidak mudah berkumpul dan berbicara tentang mengkritik pemerintah, banyak intel yang mengamati, karena penculikan itu terjadi pada tempat umum, di angkutan umum. Modusnya, kita dipepet ditodong, digiring dan kita tidak bisa berbuat apa-apa. Waktu itu saya yang bekerja, saya harus berkamuflase dengan memakai baju yang berbeda,” lugasnya.

Lalu, Natalie juga berharap agar kejadian pada masa itu tidak terulang kembali di kemudian hari, yaitu dengan hancurnya demokrasi, dalam kebebasan berbicara, dan berekspresi. Meskipun, kemunculan reformasi itu dengan baju dan warna yang berbeda.

“Hari ini kita lihat ada kekhawatiran. Misalnya, seperti di Markas di Filipina yang digulingkan dengan people power sehingga saya takut jika reformasi terulang kembali di Indonesia. Karena itu, langkah awal kita untuk demokratis, takut akan munculnya kembali di Orde Baru dengan baju dan warna yang berbeda, kemudian kebebasan berbicara, berekspresi dibatasi kembali,” sambungnya.

Natalie berpesan, agar para pemuda saat ini atau yang lebih dikenal dengan sebutan Gen Z harus mengerti dan tidak melupakan sejarah. Dengan demikian, melekatkan sejarah dengan perkembangan zaman, justru akan membangun Indonesia yang lebih baik lagi.

“Yang kita lakukan saat ini akan sia-sia karena banyak orang yang tidak ingin tahu tentang sejarah, sejarah ada di ujung pena. Jangan menularkan pemikiran negatif, tetapi berikan lah pendekatan positif untuk menyelesaikan suatu masalah. Belajar sejarah bukan kembali ke masa lalu, tetapi kita tahu pondasi yang kita pijak, agar sebuah negara menjadi besar apabila masyarakat mengetahui sejarah. Jadi, jangan sampai lupa sejarah,” tandasnya.*

Laporan Ari Kurniansyah

Pos terkait