FORUM KEADILAN – “Jangan diam! Lawan!”. Pekikan itu masih terdengar dalam Aksi Kamisan di seberang Istana Negara.
Berletak di sudut Medan Merdeka Utara, di muka singgasana pemimpin Republik Indonesia, para pencari keadilan berdiri mengenakan pakaian dan payung serba hitam. Mereka lantang menyuarakan tuntutan penyelesaian pelanggaran HAM berat masa lalu.
Seorang perempuan tua berambut putih berdiri di belakang panggung. Orang-orang tampak menyalami dan mengajaknya foto bersama.
Perempuan tersebut ialah Maria Katarina Sumarsih. Ia adalah ibu dari Bernardinus Realino Norma Irmawan (Wawan) yang tewas tertembak pada Tragedi Semanggi I, November 1998. Ia merupakan salah satu penggagas dan juga tokoh yang selalu hadir di Aksi Kamisan.
Wanita yang akrab dipanggil Sumarsih ini menyebut, 17 tahun bukanlah waktu yang singkat bagi para keluarga korban. Selama ini, kata dia, segala cara telah dilakukan untuk mencari keadilan dan melawan impunitas. Ia dan para peserta Kamisan tak pernah lelah menuntut pemerintah agar mengakui adanya peristiwa pelanggaran HAM berat.
“Tuntutan kami terhadap pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) yaitu mengakui terjadinya perkara pelanggaran HAM berat dan mesti ditindak lanjuti secara yudisial,” ucapnya saat ditemui di lokasi aksi, Kamis 18/1/2024.
Sama seperti keluarga korban dari kasus HAM lain, ia masih menaruh harapan kepada Jokowi untuk segera membentuk pengadilan HAM di sisa masa jabatannya.
Seperti diketahui, Jokowi tengah berupaya menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat secara non-yudisial. Hal itu berdasarkan Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 17 tahun 2022 tentang Pembentukan Tim Penyelesaian Non-Yudisal Pelanggaran HAM yang Berat Masa Lalu (Tim PPHAM).
Namun, PPHAM malah mendapat kritik keras dari para aktivis HAM. Mereka menilai, pemerintah tidak serius dalam penyelesaian secara yudisial.
Menjelang Pilpres 2024, Sumarsih meminta masyarakat untuk mengenali rekam jejak para calon presiden dan calon wakil presiden (capres-cawapres) yang berlaga di Februari nanti. Kontestasi ini menjadi tumpuan baru bagi harapan Sumarsih.
“Jadi siapapun yang menjadi presiden, kalau dia cinta Indonesia ia seorang yang berbakti pada nusa bangsa dan harus menyelesaikan pelanggaran HAM berat sebagai jaminan di masa depan tidak kembali berulang,” tuturnya.
Sementara itu, Paian Siahaan, ayah dari Ucok Munandar Siahaan yang hilang pada tragedi penculikan dan penghilangan aktivis dan pro demokrasi pada tahun 1998, justru pesimis dengan Pilpres mendatang. Menurutnya, pemerintah belum memiliki keinginan politik (political will) yang kuat untuk menyelesaikan pelanggaran HAM.
Apalagi, sambung Paian, pada pemilu kali ini presiden Jokowi justru mendorong Prabowo Subianto yang selama ini selalu dikaitkan dengan pelanggaran HAM berat.
“Artinya, dia komit dalam dirinya bahwa pelanggaran HAM tidak akan diselesaikan,” ucapnya.
Ia mengaku, dirinya dan beberapa korban pelanggaran HAM telah membuat dokumen kontrak politik kepada ketiga capres-cawapres. Dokumen ini berisi komitmen capres ketika terpilih dan dilantik sebagai presiden agar dapat melaksanakan rekomendasi DPR untuk penyelesaian kasus orang hilang.
“Kalau ia tidak menyelesaikan, artinya ia tidak komit dalam penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu,” katanya.
Pada kesempatan yang sama, istri Munir Said Thalib, Suciwati, mengkritik pernyataan beberapa pihak yang menyebut Aksi Kamisan hanyalah isu yang muncul setiap menjelang pilpres.
“Jangan putar balikan fakta kalau kita memunculkan Kamisan 5 tahun sekali. Setiap Kamis, kita berdiri di sini terkait kasus penculikan. Tetapi mereka budek,” ungkapnya.
Ia juga memandang 17 tahun Aksi Kamisan masih sangat memprihatinkan karena banyak kasus-kasus lain belum dibawa ke pengadilan. Jikapun ada, kata dia, para pelaku tidak pernah dihukum.
“Ini menunjukkan impunitas bekerja sangat luar biasa,” sambungnya.
Ia pun merasakan, di setiap pilpres, isu pelanggaran HAM bak komoditas yang selalu diumbar. Namun pada akhirnya, para korban selalu dikhianati dengan janji-janji manis yang diberikan. Untuk itu, Suciwati mendorong agar presiden terpilih dapat menyelesaikan sejarah bangsa dengan menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM.
“Siapapun presidennya kita akan terus melawan sampai kasus ini terselesaikan,” tegasnya.
Teriakan Akan Terus Ada
Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Muhammad Isnur, merefleksikan 17 tahun Aksi Kamisan sebagai sebuah forum untuk menuntut keadilan dan mendesak para pelaku kejahatan HAM berat agar tidak kebal hukum.
“Selama keadilan belum diberikan, aksi kamisan akan terus ada,” ucapnya di Aksi Kamisan, 18/1.
Ia mengaku, dirinya menaruh rasa hormat kepada Suamrsih dan beberapa korban pelanggaran HAM. Kata Isnur, mereka mengajarkannya untuk menjaga api semangat agar tidak padam. Menurutnya, anak-anak muda tidak boleh patah arang, melainkan harus bergerak bersama-sama dalam satu barisan.
Terkait Aksi Kamisan, Direktur Eksekutif Amnesty Internasional Indonesia Usman Hamid juga menekankan, setiap kejahatan HAM tidak bisa diputihkan. Kejahatan HAM merupakan kejahatan luar biasa yang tak bisa diberi pengampunan.
“Kejahatan luar biasa dalam hukum internasional tidak bisa diberikan pengampunan, amnesti, abolisi atau imunitas untuk pelakunya,” tuturnya.
Usman menegaskan bahwa Hukum Internasional tidak mengenal asas ne bis in idem di mana para terduga pelaku pelanggar HAM kerap bersembunyi di balik proses hukum yang sudah berlalu.
“Meski telah ada pengadilan yang membebaskan pelaku, pelaku itu tidak bisa bebas di pengadilan di masa depan,” tegasnya.*
Laporan Syahrul Baihaqi