FORUM KEADILAN – Masa pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) sebagai presiden akan segera berakhir, tepatnya pada 20 Oktober 2024. Namun, banyak pihak yang menyoroti soal merosotnya demokrasi di Indonesia pada akhir-akhir masa kepemimpinan Jokowi.
Selain merosotnya demokrasi, praktik kolusi, korupsi, dan nepotisme (KKN) belakangan ini dinilai kian menjamur. Pencalonan anaknya Jokowi, Gibran Rakabuming Raka, sebagai calon wakil presiden (cawapres) mendampingi Prabowo Subianto pada Pilpres 2024 dianggap menjadi contoh nyata tumbuh suburnya nepotisme di Indonesia.
Aktivis 1998 dari kampus Atmajaya, Ignatius Indro menyesalkan langkah Jokowi yang ‘memaksakan’ anaknya menjadi cawapres saat dirinya masih menjabat sebagai presiden. Menurutnya, Jokowi menghidupkan kembali KKN yang sangat ditentang pada masa Orde Baru.
“Kita sesalkan, kenapa dia mengembalikan hal-hal yang benar-benar ditentang saat reformasi, seperti nepotisme itu tadi, dengan kejadian di MK (Mahkamah Konstitusi). Ini kenapa dijadikan oleh Pak Jokowi untuk menyukseskan anaknya menjadi cawapres,” kata Indro saat menjadi bintang tamu di acara Menolak Lupa Forum Keadilan.
Indro mengatakan, pada 2014 dan 2019, dia mendukung Jokowi agar menjadi presiden, mengalahkan Prabowo yang kala itu juga maju sebagai calon presiden (capres). Sebab bagi dia, Prabowo merupakan salah satu tokoh yang melakukan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) pada era 98.
“Itu yang kita tolak, bahkan sekarang dilakukan oleh Presiden Jokowi, bahkan mendukung calon yang kita anggap melakukan pelanggaran HAM di era 1998. Jujur sih, kita kecewa banget,” ungkapnya.
Ditambah lagi, lanjut Indro, cara yang digunakan Jokowi untuk meloloskan Gibran sebagai cawapres justru melanggar etik, yakni menggunakan tangan adik iparnya, Anwar Usman yang merupakan Ketua MK kala itu untuk meloloskan Gibran yang masih belum memenuhi syarat batas umur.
“Keputusan MK ini kan menjadikan alat yang digunakan oleh penguasa, ingin berkuasa kembali melalui dinasti. Nah, ini yang kita melihat, ini suatu pelanggaran yang bertentangan dengan yang kita perjuangkan ketika 98,” sargahnya.
Menurut Indro, dirinya tidak anti terhadap anak muda, malah dia mendukung anak muda untuk memberikan sumbangsih terhadap masa depan Indonesia yang lebih baik.
“Tapi bukan dengan cara-cara yang melanggar etika, tentunya. Pelanggaran etika ini tentunya malah membatasi anak-anak muda. Anak-anak muda sekarang dibatasi dengan ‘lo bukan anak siapa-siapa nih, lo belum tentu bisa juga melakukan, menjadi misalnya cawapres kalau bukan dia anak presiden’, gitu kan,” ujarnya.
Kata Indro, cawe-cawe seperti yang dilakukan Jokowi justru dianggap menjadi penghambat anak muda dalam berkreasi. Meski begitu, dia mendorong anak muda yang memiliki prestasi, kemampuan, dan kredibilitas untuk maju menjadi pemimpin Indonesia.
“Kita mau memang anak muda yang memiliki prestasi, memiliki kemampuan, memiliki kredibilitas, dengan tidak melanggar etika, itu bisa maju sebagai apapun. Bisa sebagai cawapres, bisa sebagai capres, semua,” tuturnya.
Lebih lanjut, Indro meyakini bahwa beberapa aktivis 98, seperti Budiman Sudjatmiko yang mendukung Prabowo pada Pilpres 2024 tidak berangkat dari hati nuraninya, tapi hanya dukungan pragmatis belaka, yang berdampak terhadap karier politiknya ke depan.
“Karena mereka mungkin, ini adalah cara mereka untuk mendapatkan (jabatan dan karier) politik buat mereka,” terangnya.
Namun Indro menegaskan, dukungan Budiman terhadap Prabowo tidak bisa disebut sebagai dukungan penyintas HAM terhadap Prabowo. Pasalnya, kata dia, sampai saat ini para penyintas dan keluarga korban tetap melakukan aksi yang diberi nama ‘Aksi Kamisan’ untuk meminta keadilan kepada pemerintah Indonesia.
“Karena kalau kita tahu bahwa ada Aksi Kamisan yang sampai saat ini sudah dilakukan lebih dari 800 kali. Para korban itu tetap berbicara yang sama bahwa ada pelanggaran HAM yang dilakukan oleh Prabowo, dan ini yang ditolak oleh mereka,” pungkasnya.*
Laporan M. HafidĀ