Rabu, 09 Juli 2025
Menu

Aktivis 98 Nilai Demokrasi dan Politik Indonesia Tak Baik-baik Saja

Redaksi
Program Menolak Lupa Forum Keadila dengan bintang tamu Aktivis 1998 Embay Supriyantoro | Novia Suhari/Forum Keadilan
Program Menolak Lupa Forum Keadila dengan bintang tamu Aktivis 1998 Embay Supriyantoro | Novia Suhari/Forum Keadilan
Bagikan:

FORUM KEADILANAktivis 1998 Embay Supriyantoro menyebut demokrasi dan politik Indonesia saat ini sedang tidak baik-baik saja.

Menurut Embay, meski demokrasi itu sedikit banyak masih ada, namun buah dari reformasi, seperti kebebasan bicara, kebebasan beraktualisasi, kebebasan berekspresi, hanya dijadikan sebuah euforia semata.

“Nah seperti hari ini juga membuat kita bicara soal keterbukaan tapi masih dibayangi oleh UU ITE (Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik) kan,” katanya dalam program Menolak Lupa Forum Keadilan.

Kendati begitu, Embay mengaku wajar dan merupakan hak negara untuk melakukan kontrol terhadap rakyatnya, namun caranya tidak boleh berlebihan.

“Kasus misalnya kita mengkritik, seperti seharusnya KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) itu melakukan investigasi terhadap apa yang dilakukan oleh Ketua YLBHI Haris Azhar. Itu kan nggak harus dong masuk pengadilan, jadi pembungkaman itu masih ada,” ujarnya.

“Nah artinya, buah reformasi itu juga tidak benar-benar bergulir secara konkret hingga hari ini, KKN-nya (justru) terbentuk lebih maksimal,” sambungnya.

Berbicara mengenai keberhasilan demokrasi tentunya untuk kesejahteraan rakyat, Embay menegaskan jika dalam pancasila itu tujuannya ‘Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia’.

“Jadi kalau belum mencapai itu ya belum ada (keberhasilan demokrasi), dan demokrasi atau alat menuju kesejahteraan rakyat dan negara, tentunya tidak ada lagi si miskin dan si kaya,” tegasnya.

Mengenai peluang memperbaiki situasi demokrasi dan politik Indonesia saat ini, Embay mengaku pesimis, terlebih lagi pemilu dikuasai partai-partai dan bisa jadi termasuk oligarki.

“Nggak, nggak terlalu yakin saya. Saya tidak yakin dengan proses pemilu-nya, selama proses pemilunya masih demokrasi kita mengatasnamakan uang, jadi yang menang itu yang paling banyak uang,” ujarnya.

“Nanti pun (2024) akan begitu, sama,” imbuhnya singkat.

Selain itu, Embay juga menyinggung demokrasi yang seharusnya tidak melupakan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM).

“Soal pelanggaran HAM kita boleh memaafkan tapi tidak melupakan. Ya kalau nyapres kan, hak warga negara siapa pun itu boleh selama dia punya (uang),” tuturnya.

Embay berpendapat dalam politik uang bisa membeli semua, bahkan bukti moralitas dari seseorang. Ia mencontohkan calon presiden nomor urut 2 Prabowo Subianto yang tak perlu SKCK untuk membuktikan kelakuan baiknya sebagai warga negara.

“Tapikan harusnya ada kulakukan baik seperti SKCK. Itukan harusnya, tapikan yang memecatnya juga sudah bergabung dengan dia,” katanya.

“Jadi lagi-lagi yang berperan itu uang. (Ada kesepakatan) memperlebar bisnis ekonomi mereka, demokrasi dan politik berbasis dengan kekuasan dan relasinya, dan uang,” imbuhnya.

Embay juga menilai, uang bisa memberikan kepercayaan diri kepada seseorang seperti paslon 2 yang yakin bisa menang dalam satu putaran.

“Sampai saat ini kan kalau bicara 3 atau 1 itu kan masih percaya adanya 2 putaran, yang berhalusinasi satu putaran kan di sana (2). (Mereka yakin) karena punya sumber daya, kekayaan, kekuasan,” pungkasnya.*

Laporan Novia Suhari