FORUM KEADILAN – Aktivis 98 Agung Wibowo Hadi menyebut cita-cita yang diperjuangkan oleh aktivis pro demokrasi telah gagal. Menurutnya, kondisi yang terjadi di Indonesia saat ini sudah jauh dari apa yang diperjuangkan.
“Reformasi gagal, kita meyakinkan bahwa reformasi tidak sesuai dengan cita-cita reformasi,” ucapnya dalam acara Menolak Lupa Forum Keadilan.
Untuk diketahui, terdapat enam tuntutan reformasi yang diperjuangkan mahasiswa dan aktivis pro demokrasi, yaitu mengadili Soeharto dan kroninya, melakukan amandemen Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, menghapus dwi fungsi ABRI, melaksanakan otonomi daerah, menegakkan supremasi hukum dan menciptakan pemerintahan yang bersih dari Korupsi, Kolusi, Nepotisme (KKN).
Salah satu hasil reformasi, kata Agung, adalah terbentuknya proses demokrasi. Dengan demokrasi yang baru seumur jagung, ini memberikan kesempatan untuk tumbuhnya partai politik baru dalam berkontestasi dalam pemilihan umum.
Namun Agung melihat terdapat masalah di parlemen. Ia mencontohkan proses pembentukan Undang-Undang (UU) dan juga para anggota dewan yang bermasalah.
“Cek sekarang, dari 500 anggota dewan apa memiliki kapabilitas dan kapasitas yang cukup?” kata dia.
Agung menyebut banyak anak muda, artis dan tokoh baru yang tergabung di parlemen tidak bersuara lantang terutama dengan UU yang bermasalah, seperti Omnibus Law Cipta Kerja dan Kesehatan.
“Hal ini tidak lepas dari KKN. Bagaimanapun, korupsi, kolusi dan nepotisme ada di atas meja,” terangnya.
Agung menilai, terdapat masalah pada kaderisasi di partai politik, sehingga tidak menghasilkan orang-orang berkualitas dan berintegritas.
“Untuk mencari orang-orang yang berkualitas harus melakukan kaderisasi. Kaderisasi di partai politik gagal. Siapa pun bisa mencalonkan asal ada uang,” katanya.
Apalagi, kata Agung, mayoritas partai politik di Indonesia saat ini dimiliki oleh para pengusaha, sehingga berorientasi pada keuntungan.
“Keuntungan itu seperti membuat produk UU yang menguntungkan baik untuk partainya atau kelompoknya,” katanya.
Agung juga menyoroti UU Aparatur Sipil Negara yang baru saja direvisi di parlemen. Dalam aturan tersebut membolehkan militer untuk masuk ke dalam birokrasi.
“Ini sama saja mengembalikkan dwifungsi ABRI,” tuturnya.
Dalam podcast Menolak Lupa, Agung juga mengisahkan awal mula keterlibatannya untuk bergabung dalam gerakan aktivisme.
Pertama kali Agung mengetahui adanya ketidakberesan dalam sistem bernegara, yaitu pada Pemilu 1992.
“Ketika Pemilu tahun 1992, ada ketidakberesan dan saat itu ada kawan sekolah sekolah saya tidak naik kelas karena mencoblos PPP,” tuturnya.
Semangatnya dalam gerakan aktivisme terus berlanjut hingga menjadi mahasiswa. Agung turut mengawal sidang STM berdarah di mana saat itu ABRI menindak kawan-kawan STM yang tengah melakukan demonstrasi.
“Bibit perlawanan saya timbul dari situ,” ucapnya.*
Laporan Syahrul Baihaqi