Minggu, 13 Juli 2025
Menu

Beda Generasi Sikapi Tragedi 98, Apa Penyebabnya?  

Redaksi
Program Menolak Lupa bersama Aktivis 98 sekaligus dosen dari Universitas Prof Dr Moestopo (Beragama) DR Baiquni
Program Menolak Lupa bersama Aktivis 98 sekaligus dosen dari Universitas Prof Dr Moestopo (Beragama) DR Baiquni | Novia Suhari/Forum Keadilan
Bagikan:

FORUM KEADILAN – Aktivis 98 sekaligus dosen dari Universitas Prof Dr Moestopo (Beragama), DR Baiquni, menyoroti perbedaan karakteristik generasi muda dalam menyikapi tragedi 98 yang bersejarah.

Hal ini diungkapkannya saat menjadi bintang tamu dalam Program Menolak Lupa Forum Keadilan TV, Selasa, 19/12/2023.

Dalam pemaparannya, Baiquni menegaskan, gerakan mahasiswa saat ini dibandingkan dengan tahun 1998 atau bahkan dengan tahun 80-an itu jauh berbeda.

“Kalau tahun 80-an itu jelas bahwa mereka sangat kuat dalam konteks diskusi dan literasi, dasar-dasar pemikiran mereka sangat kuat,” katanya.

Baiquni melanjutkan, turun kepada generasi tahun 1998 hingga 1990-an, mahasiswa sudah memahami dan masuk ke tahap implementasi, seperti aksi, mendampingi dan melebur dengan masyarakat.

“Sehingga hasilnya sangat jelas sekali bahwa keberpihakan terhadap rakyat itu semakin kuat. Isunya juga berubah dan kental terhadap kepentingan rakyat,” ujarnya.

Sedangkan, menurut Baiquni, pada tahun 2000-an dan dengan masuknya perkembangan teknologi komunikasi yang memanjakan generasi muda, ruang diskusi semakin menghilang.

“Kenapa? Karena mereka merasa apa pun yang harus didiskusikan sudah bisa mereka cari di aplikasi teknologi seperti Google,” ungkapnya.

“Mereka tinggal cari di Google (mengenai gerakan aksi mahasiswa), sehingga kesadaran Google itu semakin kuat di antara mereka, yang pada akhirnya mereka merasa bahwa diri mereka sudah tidak perlu lagi (tahu) karena semua terjawab melalui teknologi informasi tadi,” sambungnya.

Hal ini yang menurut Baiquni memunculkan penyebutan generasi Strawberry beberapa waktu lalu.

“Tampilan luar bagus tapi di dalamnya rapuh, karena apa pun yang mereka cari itu ada, tapi mereka tidak tahu bahwa di balik itu ada orang yang berperan di sana. Mereka hanya mengetahui panggung depan tapi tidak mengetahui panggung belakangnya seperti apa,” tukasnya.

Menurut Baiquni, hasil yang sangat jelas adalah pada saat ini, generasi sekarang bisa dikatakan sebanding dengan generasi ’98, namun hasil dari diskusi dan aksi mereka tidak sebanding dengan yang terjadi pada ’98.

Dengan kata lain, lanjut Baiquni, kekompakan generasi saat ini tidak sebanding dengan generasi sebelumnya dalam memandang isu yang tidak berpihak kepada masyarakat.

“Kondisi hutang yang sudah mencapai Rp8 ribu triliun lebih, kondisi barang (kebutuhan) yang semakin tinggi, ketidakadilan mulai sangat tampak di masyarakat, upaya pembungkaman sangat kuat terhadap mereka yang ingin menyampaikan aspirasinya, bagi mereka ‘Itu bukan gue loh, tapi lu’ gitu,” jelasnya.

“Artinya bahwa kondisi mereka akhirnya menjadi individualis yang sangat tinggi,” katanya.

Baiquni menyayangkan, bagi generasi 2020, peristiwa ’98 hanya dianggap sebagai sebuah cerita historis lama yang tidak dimanfaatkan sebagai alat pembanding.

“Sedangkan tahun 2019 ke bawah itu masih mau belajar membandingkan, artinya tidak heran jika demonstrasi terhadap kenaikan BBM, kemudian KPK itu banyak yang turun dan terlibat,” jelasnya.

Bukan hanya itu,  kata Baiquni, munculnya pandemi Covid-19 juga menjadi penyebab pengabaian peristiwa penting oleh generasi muda.

“Muncul Covid-19, akhirnya memunculkan mereka sebagai generasi rebahan, yang mana kita tidak bisa bersinggungan lagi, kuliah online yang melemahkan, karena tidak bisa menceritakan (suatu peristiwa) layaknya di kelas,” ucapnya.

Baiquni mengakui bahwa pengajaran secara daring, melalui media audio dan visual seperti film, untuk mengingat kembali peristiwa penting, tetap tidak mampu merangsang semangat perlawanan.

“Pernah saya memutarkan film ‘The Black Road of Aceh‘ akibat dari Tsunami Aceh, lalu ‘Globalitation‘ kondisi ekonomi, itu tidak ada feel semangat perlawanan,” kata dia.

Di samping itu, Baiquni mengungkapkan bahwa penurunan kualitas pengenalan diri dan kepemimpinan yang diberikan oleh pemerintah saat ini tidak sebanding dengan generasi sebelumnya.*

Laporan Novia Suhari