Tak Konsisten Soal Format Debat, KPU Banyak Tekanan?

Suasana di gedung KPU RI, Menteng, Jakarta Pusat, Sabtu, 13/5/2023
Gedung KPU RI, Menteng, Jakarta Pusat. | Merinda Faradianti/Forum Keadilan

FORUM KEADILAN – Keriuhan soal format debat calon presiden dan wakil presiden (capres-cawapres) menandakan Komisi Pemilihan Umum (KPU) sedang berada di situasi yang kurang baik. Tidak konsistennya KPU dalam menentukan format debat, jadi cerminan banyaknya tekanan yang datang.

KPU sebelumnya berencana untuk mengubah format debat capres-cawapres. Dalam lima kali debat, pasangan capres-cawapres bakal selalu hadir bersamaan.

Bacaan Lainnya

Namun akhirnya rencana tersebut dibatalkan. KPU memutuskan bahwa model debat pasangan capres-cawapres 2024 tidak jadi berpasangan. Keputusan ini diambil KPU usai rapat bersama tiga tim kampanye pasangan capres-cawapres, di Kantor KPU RI, Jakarta Pusat, Rabu 6/12/2023.

Ketua KPU RI Hasyim Asyari menjelaskan, debat nantinya akan digelar sesuai UU Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilu. Debat capres digelar sebanyak 3 kali, dan debat cawapres sebanyak 2 kali.

“Boleh dikatakan sepenuhnya. Kalau debat capres, ya sepenuhnya capres (yang berbicara). Kalau cawapres, sepenuhnya cawapres,” ujar Hasyim di kantor KPU RI, Rabu 6/12.

Pengamat politik dari Indonesia Political Opinion (IPO) Dedi Kurnia Syah menilai, tidak konsistennya format debat tersebut, memperlihatkan adanya berbagai intervensi di KPU.

“Saya kira, polemik ini menandai bahwa KPU tidak sedang dalam situasi yang baik, besar kemungkinan KPU mengalami berbagai macam intervensi sehingga mereka sejak awal tidak konsisten,” kata Dedi kepada Forum Keadilan, Kamis 7/12/2023.

Dedi melihat, urungnya niat KPU untuk meniadakan debat khusus cawapres merupakan imbas dari derasnya tekanan publik yang ingin format debat tetap seperti sediakala.

“Pembatalan penghilangan debat cawapres, saya kira adalah bentuk dari tekanan publik. Dalam artian, bahwa siapapun yang akan melakukan intervensi terhadap KPU, rupa-rupanya kekuatan publik jauh lebih besar dibandingkan dengan kekuatan yang melakukan intervensi,” terangnya.

Dedi memandang, adanya debat yang diselenggarakan KPU dapat memberikan keuntungan elektoral kepada setiap masing-masing kubu. Sebab saat ini, IPO mencatat ada dua persoalan yang dialami calon pemilih.

Pertama, terdapat sekitar 2,6 persen calon pemilih yang belum menentukan pilihan. Kedua, di semua kubu, baik Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar, Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka, dan kubu Ganjar Pranowo-Mahfud MD, masing-masing terdapat 29 persen pemilihnya yang masih ragu.

“Artinya, mereka yang memilih Anies Baswedan masih punya peluang bergeser memilih Prabowo, juga masih punya peluang untuk berpindah ke Ganjar. Nah peluang 29% dan 2,6% ini yang menjadi ceruk dan punya potensi berubah pada saat debat atau pasca-debat,” tuturnya.

Dedi memaparkan, sudah banyak contoh perubahan pemilih usai para calon mengikuti debat, seperti halnya pada pemilihan Gubernur DKI Jakarta dan di Kepulauan Riau.

“Misalnya pemilihan Gubernur DKI Jakarta (2017) kemudian Kepulauan Riau. Gubernur Riau yang sekarang itu bukan yang diunggulkan sejak awal. Dalam beberapa survei selalu di nomor 3, tetapi pada saat pemilihan, karena mungkin gagasan sudah mulai keluar, kampanye sudah dimulai, mereka bisa memenangkan pertarungan,” bebernya.

Dedi menambahkan, jika debat khusus cawapres berhasil ditiadakan KPU, maka yang diuntungkan adalah cawapres dari nomor urut 2, Gibran Rakabuming Raka.

“Kalau dibandingkan antara Muhaimin Iskandar, Mahfud MD dan Gibran Rakabuming, maka Gibran yang paling mungkin diuntungkan,” ucapnya.

Dedi menilai, Gibran lemah dalam komunikasi dan menarasikan jika dibanding dua cawapres lainnya. Menurut Dedi, hal tersebut terlihat dari kesalahan Gibran dalam menyebut asam folat menjadi asam sulfat.

“Kenapa? Bukan persoalan dia tidak mampu, tapi persoalan dia lemah dalam komunikasi, dalam menarasikan,” pungkasnya.*

Laporan M. Hafid

Pos terkait