FORUM KEADILAN – Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) tengah gencar melanjutkan pembahasan revisi Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (MK).
Diketahui, Panja RUU MK telah menggelar dua kali rapat agar rancangan ini bisa segera dibawa ke sidang paripurna.
Tiga orang Komisi III yang dihubungi Forum Keadilan, Santoso dari Fraksi Demokrat, Johan Budi Sapto Pribowo dari Fraksi PDIP dan Habiburokhman dari Fraksi Gerindra, membenarkan adanya pembahasan lanjutan RUU MK.
Johan Budi, yang juga bagian dari anggota Panja, tidak membantah ataupun mengiyakan alasan revisi ini berkaitan dengan putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023 yang menimbulkan kontroversi.
“Komisi III sedang melanjutkan pembahasan RUU MK karena pembahasan yang kemarin sebelum masa sidang belum selesai,” katanya kepada Forum Keadilan, Senin, 27/11/2023.
Untuk diketahui, putusan MK Nomor 90/2023 memberikan jalan putra sulung presiden Joko Widodo, Gibran Rakabuming Raka, maju menjadi calon wakil presiden mendampingi Prabowo Subianto. Perkara ini menguji Pasal 169 huruf q tentang batas usia calon presiden dan wakil presiden (capres-cawapres).
Pasal 169 huruf q semula hanya mengatur batas usia capres dan cawapres minimal 40 tahun. Namun setelah perkara nomor 90 diputus, terdapat adanya tambahan klausa “atau pernah/sedang menduduki jabatan Kepala Daerah yang dipilih melalui pemilihan umum”.
Putusan 90 yang membuat Anwar Usman kehilangan jabatannya sebagai Ketua MK karena melakukan pelanggaran etik berat. Suhartoyo pun terpilih sebagai Ketua MK yang baru, namun saat ini Anwar tengah menggugat Suhartoyo ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN).
Wakil Ketua Komisi III Habiburokhman yang ditemui di Gedung DPR, Jakarta Pusat, Senin lalu, menyebut RUU ini “termasuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas).” Namun, berdasarkan penelusuran Forum Keadilan di situs DPR, RUU MK tidak termasuk dalam prolegnas 2020-2024 ataupun prolegnas prioritas.
Adapun Johan, Santoso dan Habib enggan memberitahu materi perubahan apa saja yang termuat dalam rancangan terbaru.
Namun, jika mengacu pada draft awal RUU MK, terdapat empat poin perubahan yang diusulkan oleh DPR. Dari empat materi yang ada, dua di antaranya menarik perhatian banyak kalangan, yaitu perihal penambahan batas usia minimal dari 55 tahun ke 60 tahun dan evaluasi hakim konstitusi yang dapat dilakukan oleh tiga lembaga pengusung, yakni Presiden, Mahkamah Agung dan DPR.
Pembajakan Demokrasi
Peneliti Senior dari Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) Feri Amsari menyebut, upaya DPR dalam melakukan revisi UU MK di tahun politik merupakan bentuk pembajakan terhadap demokrasi
“Jadi menurut saya sebuah pembajakan bagi demokrasi dengan menyandera MK melalui kepentingan politik,” katanya kepada Forum Keadilan, Rabu, 29/11.
Feri menyebut, revisi UU MK cenderung merugikan lembaga tersebut karena dalam dua bulan ke depan Mahkamah akan dihadapkan pada sengketa pemilihan presiden dan juga pemilihan umum.
“Ini adalah upaya untuk menyandera peradilan kita terutama MK yang akan menyidangkan berbagai perkara berkaitan dengan pemilu,” kata dia.
Sementara itu, Eks Hakim Mahkamah Konstitusi I Dewa Gede Palguna tidak melihat adanya suatu urgensi bagi DPR untuk melakukan perubahan kembali terhadap UU MK. Ia bahkan menentang keras dan menyebut perubahan UU MK merupakan bentuk politisasi.
Baginya, substansi perubahan ini sama sekali tidak memiliki kegunaan bagi publik, terutama MK sendiri, ini hanya untuk konsumsi dan kepentingan lancung politikus. Revisi ini juga akan merambah ke banyak persoalan, tidak hanya ke lembaga konstitusi tapi juga tata negara secara menyeluruh.
“Ketika MK sudah makin rusak dan lemah, tidak ada lagi independensi, apalagi yang bisa kita harapkan dari sebuah MK? Hancur sudah,” ucap Palguna kepada Forum Keadilan, Rabu, 29/11.
Palguna pun menyoroti salah satu materi tentang evaluasi hakim. Palguna menyebut, tiga lembaga pengusul hakim konstitusi tidak berhak memiliki kewenangan untuk mengevaluasi hakim. Ketakutannya cukup berdasar, pasalnya jika evaluasi hakim dimasukan ke dalam UU yang baru, hal ini dapat memengaruhi independensi hakim.
Tidak bakal ada yang namanya kemerdekaan kekuasaan kehakiman, kata Palguna, jikalau para hakim dibayang-bayangi soal evaluasi.
“Dengan itu kita tidak mungkin juga berbicara tentang menegakkan konstitusi. Ini jelas akal-akalan pembentuk Undang-Undang buat saya,” lanjutnya.
Rencana Menyingkirkan Saldi Isra?
Dalam UU Nomor 7 Tahun 2020 tentang Mahkamah Konstitusi disebutkan bahwa seorang hakim konstitusi harus berusia paling rendah 55 tahun. DPR dalam rancangan terbarunya berupaya untuk meningkatkan batas usia minimal hakim menjadi 60 tahun.
Banyak kalangan, termasuk dari akademisi hukum tata negara yang menentang naiknya usia minimal hakim. Alasannya, mereka khawatir perubahan ini berdampak kepada hakim konstitusi yang sedang menjabat dan berusia di bawah 60 tahun.
Untuk diketahui, terdapat tiga hakim Mahkamah Konstitusi yang saat ini berusia di bawah 60 tahun, di antaranya ialah Wakil Ketua MK Saldi Isra (55), Guntur Hamzah (59), dan Daniel Yusmic P. Foekh (58).
Pakar Hukum Tata Negara Denny Indrayana meminta agar perubahan UU MK tidak dilakukan di masa menjelang kontestasi Pilpres 2024. Hal ini, kata dia, agar MK tidak menjadi alat intervensi kekuasaan atas independensi MK.
“Tidak mengherankan, ada upaya serius untuk mendepak hakim yang tidak sejalan dengan strategi pemenangan, dan salah satunya dengan mengubah UU MK, terutama syarat umur atau masa jabatan hakim,” ucapnya dalam keterangan tertulis, Senin, 27/11.
Forum Keadilan telah berupaya menghubungi Saldi Isra, namun sampai tulisan ini selesai, tidak ada respons darinya.
Sementara itu Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih yang ditemui di Gedung MK, Selasa, 28/11, mengaku tidak tahu menahu soal perubahan ini. Menurutnya, para hakim konstitusi tidak dilibatkan dalam proses pembentukan Undang-Undang. Ketika ditanyai revisi ini diduga untuk melengserkan Saldi Isra, dia mengutarakan tidak tahu.
“Saya malah belum tahu itu. Belum tahu sama sekali. Kita masih punya pekerjaan banyak soalnya,” ucap Enny.
Senada dengan Denny, Palguna menilai revisi UU MK digunakan sebagai upaya legitimasi untuk ‘mengusir’ hakim konstitusi yang tidak disukai para politikus karena dinilai terlalu independen dan tidak bisa disetir.
“Ini hanya akan digunakan sebagai legitimasi untuk ‘mengusir’ hakim konstitusi yang tidak disukai para politikus,” katanya.
Palguna bahkan mempertanyakan mengapa soal batas usia minimal hakim selalu diubah-ubah di setiap perubahan UU MK. Menurutnya, tidak ada penjelasan masuk akal untuk mempersoalkan kembali hal tersebut.
“Apalagi yang mau dibahas, apa masalahnya dengan usia. Saya tidak paham sama sekali dan tidak ada penjelasan yang masuk akal buat saya untuk mempersoalkan kembali soal usia,” terangnya.
Palguna khawatir, revisi ini jika diberlakukan bakal memperlemah MK dengan alasan hakim yang tidak memenuhi syarat akan ditanyakan kembali ke lembaga pengusul.
Pagar Betis dari MK
Mahkamah Konstitusi seolah meredam upaya yang tengah dilakukan pemerintah dan DPR untuk merevisi UU MK tentang batas usia minimal hakim konstitusi, yang mana mahkamah menegaskan bahwa perubahan tersebut tidak boleh merugikan hakim konstitusi yang sedang menjabat.
Hal itu tertuang dalam pertimbangan putusan perkara Nomor 81/PUU-XXI/2023 terhadap pengujian Pasal 15 ayat 2 huruf d tentang syarat usia minimal hakim konstitusi yang digugat oleh Dosen Fakultas Hukum Universitas Muslim Indonesia Makassar, Fahri Bachmid.
Dalam gugatannya, Fahri menyebut bahwa usia minimal hakim konstitusi terlalu sering diubah, sehingga menimbulkan ketidakpastian hukum. Dalam amar putusannya, mahkamah menolak permohonan dari pemohon untuk seluruhnya.
Meski permohonan tersebut ditolak, mahkamah dalam pertimbangannya menyebut pada dasarnya penentuan batasan usia bagi jabatan tertentu, baik usia minimal maupun usia maksimal, merupakan kebijakan hukum terbuka (open legal policy) atau wilayah pembentuk Undang-Undang (pemerintah dan DPR) untuk menentukannya. Namun, mahkamah berpendapat bahwa kebijakan hukum terbuka bukan kebijakan yang dapat diartikan seluas ataupun sebebas pembuat kebijakan, karena kebijakan hukum terbuka tetap dapat dibatasi.
Menurut mahkamah, kebijakan hukum terbuka harus memuat beberapa syarat, di antaranya tidak bertentangan dengan UUD 1945, bukan ketidakadilan yang intolerable, tidak dilakukan secara sewenang-wenang, tidak menyalahgunakan kewenangan, tidak melanggar moralitas dan rasionalitas, dan tidak bertentangan dengan kedaulatan rakyat.
Mahkamah sepenuhnya sadar bahwa perubahan UU terkait syarat usia minimal, usia pensiun, dan masa jabatan merupakan suatu hal yang wajar karena hukum dituntut untuk menyesuaikan dengan perkembangan zaman. Oleh karenanya, apabila pemerintah dan DPR akan merevisi UU MK, mahkamah menegaskan batasan yang harus dijadikan pedoman agar nantinya perubahan UU tidak boleh merugikan subjek yang menjadi ‘adresat’ dari substansi perubahan Undang-Undang dimaksud.
“Khusus berkenaan dengan UU MK, terutama berkenaan dengan persyaratan usia, perubahan tersebut tidak boleh merugikan hakim konstitusi yang sedang menjabat,” ucap Saldi Isra saat membacakan pertimbangan.
Ini berarti perubahan tersebut harus diberlakukan bagi hakim konstitusi yang diangkat setelah Undang-Undang tersebut diubah. Jika hal tersebut tidak berlaku demikian, hal ini akan berdampak kepada hakim yang sedang menjabat.
“Perubahan yang sering kali dilakukan, termasuk dengan mengubah syarat usia dan masa jabatan, jelas hal tersebut akan mengancam kemerdekaan kekuasaan kehakiman dimaksud,” pungkasnya.*
Laporan Syahrul Baihaqi