FORUM KEADILAN – Penetapan Wakil Menteri Hukum dan HAM (Wamenkumham) Edward Omar Sharif Hiariej sebagai tersangka dugaan gratifikasi menambah daftar merah Kabinet Indonesia Maju. Banyaknya jajaran menteri Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang terjerat korupsi, dinilai sebagai kegagalannya dalam memilih.
Seperti yang diketahui, sebelumnya sudah terdapat enam nama menteri di era Jokowi yang terseret korupsi.
Nama-nama tersebut yaitu, mantan Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo, mantan Menteri Komunikasi dan Informatika Johnny G. Plate, mantan Menteri Sosial Juliari Batubara dan Idrus Marham, mantan Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo, dan mantan Menteri Pemuda dan Olahraga Imam Nahrawi.
Pakar Hukum Tata Negara Universitas Andalas Feri Amsari menilai, banyaknya anggota kabinet Jokowi yang korupsi disebabkan oleh sistem pemerintahan yang buruk.
“Pemerintahan yang korup akan diisi oleh menteri yang korup pula. Itu siklus alamiah dalam sistem pemerintahan yang bermasalah,” katanya kepada Forum Keadilan, Jumat 10/11/2023.
Presiden, kata Feri, menjadi pihak yang harus bertanggung jawab dalam banyaknya angka korupsi di kalangan para menteri di kabinetnya.
“Tentu presiden, karena menteri-menteri adalah pembantu presiden,” lanjutnya.
Feri menjelaskan, Pasal 17 UUD 1945 yang mengatur kekuasaan presiden dalam pembentukan kementerian negara, dan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara, menjadi landasan bahwa presiden berkuasa penuh dalam pemilihan calon menteri di kabinetnya.
Menteri merupakan orang yang membantu pekerjaan presiden. Dengan demikian, kata Feri, jika banyak menteri dalam sebuah kabinet yang melakukan tindakan korupsi, maka Presiden dianggap bermasalah dalam memilih para pembantunya.
Senada dengan Feri, Koordinator Masyarakat Anti-Korupsi Indonesia (MAKI) Boyamin Saiman juga menilai bahwa banyaknya menteri yang terjerat korupsi disebabkan oleh struktur pemerintahan yang buruk.
“Struktur pemerintahan yang buruk, ini sistem yang tidak mampu memisahkan konflik kepentingan yang menyuburkan korupsi,” ucapnya kepada Forum Keadilan, Jumat 10/11.
Boyamin memandang, banyak orang yang mengira bahwa pejabat itu berhak mendapatkan hadiah maupun imbalan dari jasa yang dilakukannya. Dengan demikian, ketika menjadi menteri, secara tidak langsung menimbulkan konflik kepentingan dengan memperdagangkan pengaruh dalam banyak hal.
“Merasa kalau jadi menteri atau jadi pejabat itu berhak. Hal-hal misalnya protokoler, atau merasa apa yang dilakukannya itu berhak mendapatkan hadiah, sehingga konflik kepentingan itu diperdagangkan,” tuturnya.
Boyamin menegaskan, pejabat yang digunakan untuk membantu masyarakat sudah dibayarkan oleh negara. Oleh sebab itu, pejabat negara tidak diperbolehkan lagi menerima hadiah maupun imbalan.
“Dengan jabatannya membantu apapun ya karena sudah dibayar negara maka tidak boleh lagi menerima hadiah atau imbalan,” tandasnya.
Lebih lanjut, Jokowi sebagai presiden menjadi penanggung jawab dari banyaknya menteri di kabinetnya yang terseret kasus korupsi.
“Presiden telah gagal tunjuk menteri yang bagus, mestinya kedepan angkat menteri profesional dan tidak sekedar bagi jatah kepada pendukungnya,” tutupnya.*