FORUM KEADILAN – Sudah menjadi rahasia umum Batam merupakan pintu utama masuknya narkoba ke Indonesia. Sindikat atau jaringan narkoba internasional menjadikan Batam yang secara geografis begitu sempurna dijadikan sebagai gerbang surga distribusi narkoba ke seluruh wilayah hukum Indonesia
Lemahnya pengawasan akibat dugaan keterlibatan sejumlah oknum penegak hukum dan oknum instansi penyelenggara negara lain dalam bisnis narkoba, menjadikan kawasan ini sebagai surga jalur distribusi narkoba.
Stigma negatif tersebut bahkan tak mampu diubah oleh Presiden Jokowi selama dua periode kepemimpinannya. Jokowi yang mengumandangkan status darurat dan perang terhadap narkoba di awal pemerintahannya, tak kuasa melawan cengkraman sindikat narkoba yang sudah berurat mengakar melalui oknum-oknum intansi pemerintahan, baik di tingkat pusat maupun daerah.
Kondisi ini tergambar dari invenstigasi Forum Keadilan di Kepulauan Riau, khususnya Pulau Batam, beberapa waktu lalu. Batam adalah pintu masuk utama penyelundupan narkoba jenis metamfetamina yang kita kenal dengan sebutan sabu-sabu.
Hal ini tergambar dari tingginya angka penyelundupan dan penyalahgunaan sabu-sabu di wilayah itu. Kondisi ini bahkan menciptakan sejumlah kawasan yang dipandang sebagai wilayah rawan narkoba di Pulau Batam.
Kawasan tersebut menurut laporan Badan Narkotika Nasional (BNN) meliputi Tanjung Uma, Muka Kuning (Kampung Aceh), Tanjung Sari (Belakang Padang), Sekanak Layar, Kampung Melayu Panglong, Tanjung Riau.
Berdasarkan data yang dirilis Badan Narkotika Nasional (BNN) kasus tindak pidana narkoba yang berhasil diungkap dalam kurun waktu dari 2022 hingga 19 Maret 2023 terdapat 768 kasus dan 1.209 orang ditetapkan sebagai tersangka.
Selama kurun waktu tersebut, berbagai jenis narkotika yang berhasil disita, seperti metafetamin sebanyak 2,429 ton, sabu 1,902 ton, 1,6 ton ganja, 184,1 ton ganja basah, 79,4 hektar lahan ganja, 262.983 butir ekstasi, dan 16,5 Kg ekstasi serbuk.
Sementara pada kurun waktu 2021-2023, BNN sudah menyita narkotika jenis sabu sekitar 5,6 ton, 6,4 ton ganja, dan 454.475 butir ekstasi. Dari semua barang bukti itu, menunjukkan bahwa ada peningkatan prevalensi pengguna narkoba yang menjangkit berbagai klasifikasi usia di Indonesia.
Kepala Badan Narkotika Nasional (BNN) Provinsi Kepulauan Riau (Kepri) Brigjen Pol Henry Parlinggoman Simanjuntak mengungkapkan, sesungguhnya prevalensi paparan narkoba di Batam atau khususnya di Kepri terbilang rendah, hanya kisaran 0,9 persen dari total jumlah penduduk di sana.
Yang menarik, Batam menurut Brigjen Henry Samanjuntak justru disebut sebagai pengendali peredaran narkoba yang dimotori oleh para mafia Batam dan memiliki jaringan di berbagai daerah di Indonesia.
Modus Penyelundupan Sabu Batam
Setali tiga uang, pernyataan Brigjen Henry Parlinggoman Simanjuntak diamini oleh sumber Forum Kedilan, sosok yang banyak mengetahui seluk-beluk penyelundupan narkoba, khususnya sabu-sabu, di Batam.
Sebut saja namanya Agus (bukan nama sebenarnya). Agus tak lain adalah mantan pelaku yang menjadi bagian jaringan narkoba internasional. Ia banyak menyimpan informasi seputar modus, para pemain, serta oknum aparat penegak hukum (APH) yang berperan sebagai pelindung sekaligus pemain di bisnis barang haram tersebut.
Bisnis narkoba di Batam memang sangat menggiurkan bagi mafia yang pada umumnya bermetamorfosa menjadi penguasaha-penguasaha nakal. Bagaimana tidak, menurut Agus, perbandingan nilai beli di Malaysia dan nilai jual di Indonesia sangat timpang.
Sebagai gamabaran, Sabu-sabu 01 (Gold) per 1 ons dijual Rp30 juta di Malaysia, dijual di Indonesia seharga Rp60 juta. Adapun Sabu-sabu 03 (blue) per 1 ons dijual 3600 ringgit, di jual di Indonesia seharga Rp27 juta. Sedangkan Sabu-sabu 04 (Putih), kelas terendah, dijual ke masyarakat kelas menengah ke bawah.
“Narkoba seperti jual kacang goreng di sini (Batam),” ujar Agus menggambarkan betapa mudah dan maraknya transaksi narkoba di kawasan perdagangan bebas (Free Trade Zone) yang dipimpin oleh Walikota sekaligus Kepala Badan Pengusahaan (BP) Batam, Muhammad Rudi tersebut.
Agus mengungkap, narkoba yang beredar di Batam dan di wilayah lain di Indonesia berasal dari berbagai negara, mulai dari Thailand, Filipina, terutama Malaysia,
“Khusus sabu, mayoritas dari Kota Tinggi, Johor Bahru, Malaysia atau Stulang Laut,” ucapnya.
Modus masuknya sabu ke batam dilakukan dengan sistem jemput bola melalui jalur laut atau ship to ship. Jalur laut dipandang sebagai jalur yang paling aman.
Tujuan penjemputan sabu atau titik temu transit barang biasanya dilakukan di perairan Malaysia, tepatnya di di tengah Petronas 05 atau Stulang laut.
Masuk ke wilayah perairan Malaysia menurut Agus bukan persoalan mudah. Terlebih pemerintahan Malaysia sangat ketat dalam penjagaan wilayah kedaulatan mereka, termasuk sanksi pidana mati bagi semua pihak yang terlibat narkoba.
Agar transaksi berjalan mulus, komunikasi dengan oknum otoritas penjaga laut yang sudah disuap menjadi kunci yang sangat krusial. Hal ini guna menghindari jeratan hukum yang berlaku di negeri jiran tersebut.
“Mereka (Malaysia) banyak juga oknum marine-nya yang suka uang,” celetuk Agus.
Agus mengisahkan, sebelum operasi menuju wilayah perairan Malaysia dilakukan, mafia lokal Batam terlebih dahulu mengerahkan team advance yang bertugas memantau rute operasi. Team advance atau tim pelacak ini terdiri dari beberapa speedboat kecil berkecepatan sedang untuk mengabarkan situasi dan kondisi di laut.
Kata sandi ‘Tarik kuping’ digunakan jika rute operasi dinyatakan aman terkendali dan selanjut operasi penjemputan narkoba bisa dieksekusi.
“Operasi biasanya berjalan lancar karena semua sudah dapat setoran. Tapi mafia lokal tidak mau ambil risiko, makanya selalu dikirim speedboat peluncur sebelum operasi,” kisah Agus.
Jika hasil pemantauan dinyatakan positif alias aman, maka ‘kapal hantu’ akan bergerak menjemput sabu-sabu ke titik temu yang telah ditetukan. Kode atau sandi yang biasa digunakan memasuki perairan Malaysia adalah ‘JEBAT’.
Menurutnya, kata Jebat ini tidak memiliki arti yang jelas, hanya saja para mafia atau pihak yang terlibat narkoba memahami bahwa kata tersebut menjadi sandi yang digunakan dan dipahami ketika melakukan transaksi narkoba.
“Komunikasinya melalui HT (handy talky) lewat frekwensi 017,” kata Agus.
Sebutan Kapal Hantu disematkan karena alasan kecepatan kapal tersebut memang didesign khusus agar tidak mampu dikejar oleh kapal-kapal atau speedboat milik petugas keamanan, baik Polisi, TNI, maupun Bea Cukai.
Ciri khas Kapal Hantu tersebut biasanya dilengkapi dengan mesin 400 atau 600 double 8 yang dioperasikan oleh 4 orang, dimana 1 orang sebagai tekong atau nahkoda, 1 orang sebagai masinis, dan dua orang bertindak sebagai bongkar muat barang.
“Biasanya tiga orang, paling banyak empat orang,” ungkapnya.
Sebaliknya, jika rute operasi berpotensi gagal maka para team advance akan menyebar kata-kata sandi sebagaimana disematkan ke institusi yang dianggap menjadi penghalang operasi mereka.
Kode ‘Mamud’ untuk TNI AL dan kode ‘Hiu’ untuk kapal Bea cukai.
“Kalau orang bilang kapal perang itu Mamud, kalau Hiu artinya Bea Cukai,” jelasnya.
Mafia Narkoba Batam
Lantas kemana sabu-sabu tersebut akan dibawa? Menurut Agus ada beberapa titik yang biasa digunakan sebagai tempat transit sebelum barang dikirim ke daerah lain sesuai permintaan buyer atau pembeli.
Lokasi transit tersebut antara lain Pulau Panjang, Pulau Kasu, Pulau Terong, Teluk Mata Ikan, Pulau Tolop, dan Tanjung Riau.
Pantauan Forum Keadilan, Tanjung Riau adalah sebuah pelabuhan yang berada di Kecamatan Sekupang, Batam. Pelabuhan ini terkesan eksklusif, dijaga ketat oleh oknum-oknum Polairud dan TNI karena menjadi pusat operasi dari sejumlah penguasaha ternama di Batam seperti Hasim alias Pak Item, Salman, Aseng Batam, Sudir alias Datuk dan lain-lain.
Para pengusaha ini dikenal memiliki jejaring yang kuat di berbagai instansi di tingkat daerah (Batam) maupun pusat, baik oknum lapangan maupun pejabat teras di tingkat eksekutif, legislatif, dan yudikatif.
Sedangkan Pos Tolop atau Pulau Tolop adalah sebuah pulau kecil, salah satu pulau terluar, bersebelahan dengan Pulau Belakang Padang, yang nota bene berhadapan langsung dengan Singapura dan jaraknya tidak terlalu jauh ke Malaysia. Khususnya di Pulau Tolop, lokasi penyimpanan speedboat tersamarkan oleh rindangnya pohon bakau.
Lebih jauh Agus menjelaskan distribusi narkoba terbagi sesuai kebutuhan buyer, baik untuk konsumsi di Batam maupun distribusi ke daerah lain seperti, Riau, Jambi, Palembang, Jakarta, dan Bali.
Khusus untuk komsumsi Batam, umumnya tersebar di berbagai diskotik atau tempat hiburan malam. Untuk kualitas sabu-sabu level sultan (gold dan blue) disebar ke diskotik sekelas Diskotik PCF yang terletak di kawasan Jodoh, tak jauh dari Batam Harbour, Batuampar.
“Pejabat dari pusat sering dijamu di diskotik ini,” ungkapnya.
Nara sumber Forum Keadilan dari internal Bea Cukai mengungkap hal senada. Ia menyebut Diskotik PCF memang menjadi salah satu tujuan peredaran narkoba jenis “sultan” di Batam. Diskotik ini dimiliki oleh pengusaha bernama ELH yang telah meninggal dunia beberapa waktu lalu.
“ELH ini asli orang Belakang Padang,” katanya.
Jenis narkoba yang masuk ke Diskotik PCF memang dikenal dengan kualitas terbaik di Batam. Hal ini tak lepas dari keberadaan Pek Liang, seorang taster narkoba kepercayaan ELH yang saat ini sedang meringkuk di ‘hotel prodeo’ untuk kasus yang sama. Bisnis ELH saat ini kendalikan MCH (keluarga) dan ADB (tangan kanan ELH).
Selain Diskotik PCF, narkoba selundupan juga tersebar ke sejumlah diskotik yang terletak di Batam Center seperti Diskotik PLN (PLN 1- 4), dimana setiap diskotik memilii orang khusus yang ditugaskan sebagai penjual narkoba. Begitu pula Diskotik NWT yang menjadi salah satu tujuan masyarakat kelas menengah Batam.
Di gerbong lainnya, ada KRT yang diduga masih aktif menjalankan bisnis narkoba. KRT menjalankan bisnis illegal ini bersama tangan kanannya berinisila BAI dan SLN.
Adapun jenis sabu-sabu kelsr terendah, atau oleh masayarakat sering disebut ‘barang perusak jantung’, pada umumnya didistribusikan ke masyarakat kelas bawah melalui diskotik-diskotik kecil atau Kampung Aceh.
“Barang di kelas ini mainannya TRS. Kampung Aceh itu rata-rata barangnya dia,” kata Agus menyebut nama oknum polisi dari Unit IV Narkoba Polresta Barelang.
Modus yang dilakukan TRS seringkali menggelar operasi narkoba terhadap target-target yang sudah dikenalnya untuk bargaining tidak dinaikkan ke tingkat penyidikan. Selanjutnya barang bukti tersebut dijual ke Kampung Aceh.
“Dua kali untung dia (TRS). Kasusnya tidak naik, dan barang buktinya dijual. Licik orang ini,” imbuhnya.
Tidak hanya ke Batam, barang haram itu juga dibawa ke Tanjung Balai Karimun dan Bintan tepatnya di daerah Pulau Lagoi, Kijang, Pulau Judah (Karimun), dan Pulau Moro (Karimun), tepatnya di Desa Jang.
Distribusi dari Karimun selanjutnya narkoba itu mengalir ke Bengkalis (Sumatra Utara), Siak (Riau), Pekan Baru, Palembang dan sesuai alamat pemesan, dibawa melalui jalur darat.
Terkadang, untuk mengelabui operasi APH. Para mafia ini menyewa boat pancung untuk menyelundupkan narkoba, boat ini biasa digunakan untuk membawa penumpang antar pulau.
Temuan di lapangan dan pengungkapan sejumlah informasi dari nara sumber terkait praktik penyelundupan narkoba ke Batam yang diduga melibatkan oknum-oknum penyelenggara negara dibenarkan anggota Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI dari Partai Demokrat, Santoso.
Santoso menegaskan narkoba, merupakan kejahatan terorganisir yang melibatkan banyak pihak termasuk APH. Sindikat ini tersebar di seluruh wilayah di Indonesia maupun terkoneksi dengan mafia narkoba di luar negeri.
“Faktanya, mafia yang tengah mendekam di penjara sekalipun masih leluasa menjadi bandar narkoba,” sergah Santoso kepada Forum Keadilan, Jumat, 6/10/2023.
Kondisi yang memperihantinkan ini menurut Santoso, tidak lepas dari campur tangan aparat yang berkongkalikong dengan mafia tersebut. APH dinilai kerap memberikan karpet merah kepada bandar narkoba untuk terus melakukan bisnisnya.
Mabes Polri Bungkam
Ihwal temuan Forum Keadilan di Batam, Kepala Bagian Penerangan Umum (Kabag Penum) Divisi Humas Polri Komisaris Besar Polisi (Kombes Pol) Nurul Azizah enggan menanggapinya.
Uniknya Kombes Nurul menyuruh Forum Keadilan melakukan konfirmasi tersebut secara langsung ke pihak-pihak terkait di Batam. Padahal Humas Polri sejatinya adalah corong terdepan institusi dalam menyikapi segala bentuk dinamika yang menjadi tupoksi kinerja polri.
“Silahkan ke Batam ya,” ujarnya singkat kepada Forum Keadilan pada Senin, 2/10/2023.
Begitu pula Direktur Tindak Pidana Umum Bareskrim Polri, Brigader Jenderal Djuhandhani Rahardjo Puro beralasan bahwa pihaknya masih fokus pengamanan acara KTT AIS yang digelar di Bali mulai tanggal 6 hingga 11 Oktober 2023.
“Mohon maaf kami sedang konsen dengan pengamanan KTT (AIS),” ujarnya kepada Forum Keadilan saat dihubungi via aplikasi chat, Senin, 10/10/2023.
Terkait hal ini, Wakil Ketua Gerakan Nasional Anti Narkotika (Granat), Irjen. Pol. (Purn) Drs. Anjan Pramuka Putra mengamini bahwa Batam sejak lama sudah menjadi salah satu pintu gerbang masuknya narkoba ke Indonesia.
Berkecambahnya narkoba di Batam menurut Anjan tak lepas dari letak geografis dimana Batam dipenuhi dengan pulau-pulau kecil, serta langsung berhadapan dengan laut luas yang menghubungkan dengan negara Malaysia dan Singapura.
Kondisi itulah menurut Anjan Pramuka, membuat aparat kesulitan dengan semua keterbatasan yang dimilikinya untuk melakukan tracking penyelundupan oleh mafia narkoba.
“Jadi kita lihat sendiri, Batam berdekatan dengan Singapura, Malaysia. Nah itulah kalau melewati jalur laut tentunya keterbatasan petugas kan masih ada,” katanya kepada Forum Keadilan, Selasa, 10/10/2023.
Mantan Direktur Prekursor dan Psikotropika BNN ini tak memungkiri dugaan keterlibatan oknum penegak hukum menjadi salah satu faktor eksistensi mafia narkoba di Batam. Ia berharap agar oknum yang terlibat bisa dipecat dari kesatuannya secara tidak terhormat.
“(oknum yang terlibat narkoba) Tidak pantas menjadi aparat,” ujarnya.
Di sisi lain, Ketua Pusat Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI) Julius Ibrani menilai, narkoba di Indonesia sudah menjadi kejahatan yang terorganisir, terdapat struktur dari lapisan paling atas hingga paling bawah serta melibatkan APH, pejabat negara, dan masyarakat sipil dalam pelaksanaannya.
Menurutnya, narkoba sudah merambah kepada persoalan sosial, hal ini karena narkoba sudah tidak lagi dilakukan oleh masyarakat menengah atas tapi juga masyarakat kelas bawah turut menjadi motor penyebaran narkoba.
Meski sebaran narkoba sudah memadati seluruh wilayah di Indonesia, namun bagi Julius, pemerintah maupun APH dinilai terlambat dalam membaca arah penyebaran barang haram itu.
Pasalnya, pemerintah dan APH masih berkutat dengan pemidanaan atau pemenjaraan para mafia maupun pengguna narkoba, sementara negara lain sudah berbicara soal narkoterorisme, dimana narkotika menjadi komuditas untuk meraup modal yang kemudian membiayai tindak pidana terorisme internasional.
“Makanya, ketika kita masih ngomongin drug user dipidana penjara sementara global sudah bicara soal narkoteroris. Jadi terorisme yang didanai dari transaksi narkoba internasional. Dan itu merupakan “okupansi”, bukan ekspansi tapi okupansi secara sosial terhadap satu wilayah,” ujarnya kepada Forum Keadilan saat ditemui di kantornya, Selasa, 3/10/2023.
Dia mendorong pemerintah dan stakeholder lainnya untuk terus melakukan perubahan dengan mengikuti perkembangan zaman, termasuk melakukan revisi terhadap Undang-Undang (UU) narkotika sebagaimana yang dilakukan oleh negara lain seperti Thailand. (TIM FORUM KEADILAN)