Pakar Intelijen: Dugaan Pasok Senjata ke Myanmar Patut Ditelusuri

Ilustrasi senjata api
Ilustrasi senjata api | ist

FORUM KEADILAN – Tiga Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dituding sebagai pemasok senjata ke junta militer Myanmar. Benar atau tidaknya dugaan tersebut, harus ditelusuri.

Tiga perusahan yang dimaksud ialah PT Dirgantara Indonesia, PT PAL, dan PT Pindad. Ketiganya dilaporkan ke Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) oleh organisasi HAM non-pemerintah yang berafiliasi dengan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), Myanmar Accountability Project, Wakil Direktur Eksekutif Chin Human Rights Organization Za Uk, dan mantan Jaksa Agung Indonesia sekaligus Marzuki Darusman.

Bacaan Lainnya

Mereka menyebut tiga BUMN yang bergerak di bidang alutsista itu memiliki hubungan dagang senjata dengan Myanmar sebelum kudeta tahun 2021.

Holding BUMN Industri Pertahanan (Defend Id) lewat PT Len Industri (Persero) sebagai induk holding yang beranggotakan PT Dahana, PT Pindad, PT Dirgantara Indonesia, dan PT PAL Indonesia telah membantah tudingan tersebut.

Mereka mengaku, sudah berhenti melakukan ekspor produk pertahanan ke Myanmar setelah 1 Februari 2021, sejalan dengan Resolusi Majelis Umum PBB nomor 75/287 yang melarang suplai senjata ke Myanmar.

“Defend Id menegaskan bahwa PT Pindad tidak pernah melakukan ekspor ke Myanmar setelah adanya imbauan DK PBB pada 1 Februari 2021,” begitu bunyi siaran pers Defend Id, Rabu, 4/10/2023.

Benar atau tidaknya dugaan tersebut, menurut Pakar Intelijen Universitas Indonesia Stanislaus Riyanta harus ditelusuri. Indonesia harus lebih hati-hati lagi dalam mengekspor senjata.

“Tanpa berprasangka buruk atau negatif, saya menyarankan agar lebih ketat dalam mengekspor senjata karena dampaknya cukup luas,” ujar Stanis kepada Forum Keadilan, Selasa, 10/10.

Dosen Kajian Stratejik dan Global itu memaparkan, beragam skema bisa dilakukan dalam jual beli senjata. Untuk itu, dalam menelusuri kasus dugaan tersebut perlu dilihat bagaimana alur senjata-senjata mengalir.

“Perlu dilihat dulu, misalnya dari Pindad ke Myanmar itu skemanya apa? Business to business atau government to government? Atau bisa juga government to business,” ungkap Stanis.

Stanis menyebut, memang repot kalau nantinya ditemukan bukti terkait dugaan tersebut. Namun dia tak terlalu khawatir, karena harusnya BUMN tersebut punya catatan produk senjata mereka mengalir.

“Saya kira PT Pindad punya catatan detail terkait ke mana senjata mereka itu dijual. Senjata bisa ditelusuri siapa pembeli pertama, dan siapa pemakainya. Saya sebenarnya tidak khawatir. Persoalan ini sangat mudah dilacak seharusnya,” imbuhnya.

Setelah itu, lanjut Stanis, perlu diperhatikan juga untuk apa senjata tersebut dipergunakan nantinya. Sebab, sekalipun jual beli dilakukan sesuai prosedur, ke mana senjata tersebut nantinya bermuara tak bisa diprediksi.

“Misalnya regulasinya tidak ada yang dilanggar, senjatanya sudah sah, dan pembelinya sudah benar. Tetapi kita tidak tahu akhirnya senjata itu akan ke mana. Memang seharusnya penjualan senjata itu harusnya lebih ketat dan diawasi,” tegasnya.

Soal regulasi jual beli senjata antar negara, Stanis mengaku tidak terlalu memahaminya. Tetapi ia memandang, ada sisi positif dari ekspor senjata.

“Sebenarnya ini salah satu hal yang menunjukkan bahwa Indonesia memang bisa mengekspor senjata. Ada produk Indonesia, produk dalam negeri yang sekarang jadi sorotan. Makanya harus diberesin aturannya,” tuturnya.

Ihwal siapa yang mengawasi, menurut Stanis, tentunya Kementerian BUMN. Lebih balik lagi apabila berkolaborasi dengan Kementerian Pertahanan dan TNI.*

Laporan Charlie Adolf Lumban Tobing