Koalisi Masyarakat Sipil Kritik Dugaan 3 BUMN Suplai Senjata ke Myanmar

Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan dalam acara diskusi publik, Senin, 9/10/2023
Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan dalam acara diskusi publik, Senin, 9/10/2023 | ist

FORUM KEADILAN – Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan mengkritik tiga BUMN yang bergerak di bidang industri pertahanan yaitu PT Pindad,  PT PAL, dan  PT Dirgantara yang diduga menyuplai amunisi dan senjata ke Myanmar.

Ketua Badan Pengurus Centra Initiaitve Al Araf menyebut, ekspor senjata ke Myanmar merupakan masalah serius karena kondisi di Myanmar dalam kondisi krisis kemanusiaan dan banyak terjadi pelanggaran HAM.

Bacaan Lainnya

Menurutnya, Presiden dan DPR tidak boleh lepas tangan dari masalah ini.

“Ini persoalan yang sangat serius, Presiden dan DPR tidak bisa lepas tangan dari masalah ini,” ucap Al Araf dalam diskusi publik di Jakarta, Senin, 9/10/2023.

“Tentara Myanmar tidak mungkin bisa merepresi kalau tidak ada suplai senjata dari Indonesia. Fakta yang terjadi di Myanmar adalah terjadi krisis kemanusiaan,” lanjutnya.

Oleh karena itu, Al Araf menyebut pemerintah Indonesia wajib bertanggung jawab atas kesalahan dalam melakukan ekspor senjata ke Myanmar.

Selain itu, Al Araf juga menyoroti Komisi I yang minim dalam melakukan pengawasan ke Pemerintah. Dia meminta Komisi I untuk memanggil mereka semua yang terlibat, mulai dari Menteri Pertahanan, Menteri BUMN, Direktur PT Pindad, Direktur PT PAL, dan Direktur PT Dirgantara untuk dimintai keterangan.

Apalagi industri pertahanan, kata Al Araf, dibangun menggunakan pajak rakyat. Itu sebabnya, dia mengatakan Komisi I DPR pantas memanggil semua pihak yang bertanggung jawab atas dugaan suplai senjata ke Myanmar.

“Kalau duit rakyat untuk industri pertahanan lalu dijual ke rezim yang membantai masyarakatnya, pantas tidak kita menggugat?” tuturnya

Selain Komisi I, Ketua PBHI Nasional Julius Ibrani menyebut, ada permasalahan mendasar, yaitu minimnya transparansi dan akuntabilitas di industri pertahanan.

“Dari regulasi, industri pertahanan adalah satu-satunya yang tidak terbuka untuk ruang investasi publik, hanya boleh pemerintah yaitu melalui Kementerian Pertahanan,” ucapnya.

Padahal dalam Undang-Undang (UU) Nomor 16 Tahun 2012 tentang Industri Pertahanan disebutkan bahwa penyelenggara Industri Pertahanan harus dilandasi pada asas profesionalitas dan akuntabilitas.

Selain itu, dalam UU ini juga terdapat Komite Kebijakan Industri Pertahanan yang memiliki mandat dalam mewakili pemerintah untuk mengoordinasikan kebijakan nasional dalam perencanaan, perumusan, pelaksanaan, pengendalian, sinkronisasi, dan evaluasi Industri Pertahanan.

Pada Pasal 22 disebutkan bahwa Ketua KKIP adalah Presiden, sedangkan Ketua harian adalah Menteri Pertahanan dan Wakil Ketua Harian merupakan Menteri BUMN.

Julius mengungkap, dari awal konsep teori dan regulasi ini sudah banyak mengalami kejanggalan.

“Dalam konteks ketatanegaraan, negara hukum tidak boleh ada seluruh aktivitas politik dari hulu ke hilir. Pengusulnya dia, regulator dia, implementor dia, evaluator dia, dan eksekutor dia. Itu tidak boleh, namanya absolutisme,” tuturnya.

Berdasarkan data Amnesty International pasca 435 hari setelah kudeta terdapat setidaknya 1741 orang dibunuh, 13201 orang ditangkap, 10161 dipenjara dan 3021 dibebaskan.

Per tanggal 23 September 2023 (hari ke-967 setelah kudeta) terdapat lebih dari 4108 tewas, 24836 ditangkap, 19264 dipenjara dan 5572 dibebaskan.

Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid menyebutkan bahwa pada awalnya terdapat optimisme untuk Indonesia dalam memainkan peran pada penyelesaian konflik di Myanmar.

Namun, kata Usman, harapan tersebut menjadi sesuatu yang mustahil untuk diwujudkan karena Indonesia menerapkan standar ganda.

“Di satu sisi menyerukan perdamaian, pemerintahan yang konstitusional, rule of law, dan penghormatan HAM. Tapi di sisi lain, pemerintah Indonesia justru memberi pasukan senjata dan amunisi kepada junta militer Myanmar,” tutupnya.*

Laporan Syahrul Baihaqi