FORUM KEADILAN – Guido Andre Sadi, seorang sekuriti Bank BRI di Labuan Bajo, mengalami luka parah setelah dianiaya oleh oknum kepolisian. Ia mengaku mengalami penyiksaan sepanjang perjalanan menuju kantor Polsek Komodo, terutama di daerah rahang dan wajah. Ia juga mengaku dibawa ke ruang sel untuk disika kembali.
AKP Ivans Drajat, Kapolsek Komodo, merupakan oknum yang menganiaya sekuriti Bank BRI pada Rabu, 13 September 2022. Ivans geram setelah ditegur korban karena mengenakan helm saat hendak memasuki ATM.
Sebelumnya, Kapolsek ini pernah dipidana lantaran melakukan kekerasan dalam rumah tangga kepada istrinya. Hal ini tertuang dalam Putusan 33/Pid.Sus/2021/PN.Atb yang menyatakan dirinya terbukti secara sah dan bersalah, sehinnga dia divonis tiga bulan penjara.
Penganiayaan terhadap satpam Bank BRI menambah catatan buruknya di institusi kepolisian.
Anggota Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) Poengky Indarty mendorong korban atau keluarganya untuk melaporkan ke Propam dan Reskrim agar dapat ditindaklanjuti dengan pemeriksaan.
Menurutnya, tindakan tersebut tidak dapat dibiarkan dan harus diusut tuntas sebagai upaya mewujudkan kesetaraan di depan hukum. Selain itu, dia mengungkapkan bahwa langkah ini akan memberikan efek jera kepada pelaku, serta memberikan pesan kepada orang lain untuk tidak lagi menggunakan kekerasan dan arogansi.
“Pelaku perlu dinon-aktifkan terlebih dulu untuk memudahkan pemeriksaan. Jika terbukti bersalah, maka harus diproses hukum,” ucapnya kepada Forum Keadilan.
Berdasarkan informasi yang dilansir dari Floresa.co, Kapolsek Komodo dan rekan-rekannya sempat mendatangai paman korban untuk meminta maaf dan meminta kasus ini diselesaikan dengan jalur damai.
AKP Ivans Drajat memberikan uang sebesar Rp10 juta dan satu ekor babi sebagai bentuk uang damai agar korban mencabut laporan terhadapnya di Polres Manggarai Barat.
Poengky menyebut meskipun kasus tersebut diselesaikan secara restorative justice, pelanggaran kode etik tetap harus diproses. Menurutnya, ini akan memberikan efek jera terhadap anggota lainnya.
“Agar tidak sewenang-wenang perlu ada efek jera. Nanti kalau Kapolsek dibiarkan tanpa ada sanksi, akan jadi contoh buruk bagi anggota-anggotanya.
Dihubungi terpisah, Karo Penmas Polri Brigjen Ahmad Ramadhan enggan bicara banyak. Ketika ditanyai apakah proses hukum terus berlanjut meskipun adanya mediasi antara korban dan pelaku, dirinya menolak memberi tanggapan.
“Silakan ke Kabid Humas Polda NTT,” ucapnya singkat kepada Forum Keadilan.
Pengamat Kepolisian Bambang Rukminto mengungkapkan bahwa semangat transparansi berkeadilan dalam jargon “Presisi” mengharuskan polisi untuk memberikan penjelasan kepada publik secara terbuka.
Bambang mengungkapkan kasus-kasus yang terungkap merupakan puncak dari gunung es yang selama ini tidak diselesaikan Polri.
Bambang mencontohkan pada kasus Irjen Teddy Minahasa, mantan Kapolres Bukit Tinggi yang terlibat pada kasus narkoba. Menurut Bambang, meski mendapat vonis hukuman yang tinggi, tidak menjamin memberikan efek jera bagi oknum-oknum yang lain.
“Mengapa tak jera? Karena kontrol dan pengawasannya lemah, dan penegakan etik dan disiplin yang diberikan tak konsisten,” ungkapnya kepada Forum Keadilan.
Meskipun terdapat Propam yang memiliki kewenangan untuk memeriksa terhadap pelanggaran etik dan disiplin terhadap seluruh anggota Polri. Propam, kata Bambang, kerap tidak berkutik saat ada intervensi atasan.
“Propam tak berkutik bila ada intervensi atasan untuk memotong sanksi bahkan melakukan promosi oknum pelanggar,” ujarnya.
AKP Ivans Drajat menambah daftar oknum kepolisian yang sewenang-wenang dan arogan terhadap masyarakat.
Terbaru sebelum Ivans, ada anggota Ditresnarkoba Polda Metro Jaya berinisial S yang diduga terlibat penganiayaan terhadap terduga pelaku narkoba berinisial DK.
Ironis, ketika anggota Polri yang semestinya memberikan rasa aman kepada masyarakat malah justru menjadi pelaku kekerasan itu sendiri.*
Laporan Syahrul Baihaqi