Dugaan Politisasi Korupsi dalam Lorong Gelap Gedung KPK

Gedung KPK. | Ist
Gedung KPK. | Ist

FORUM KEADILAN – Ketua Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM Indonesia (PBHI) Julius Ibrani menyebut Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sudah berganti nama menjadi Komisi Politisasi Korupsi.

Hal ini menyangkut adanya dugaan pertemuan antara tahanan yang diduga adalah eks komisioner BUMN Dadan Tri Yudianto dengan pimpinan KPK seperti yang diungkapkan Dewan Pengawas (Dewas).

Bacaan Lainnya

Berdasarkan informasi yang dihimpun, pertemuan terjadi pada 28 Juli 2023 antara Wakil Ketua KPK Johanis Tanak dan Eks Komisaris Wika Beton Dadan Tri Yudianto (DTY) tersangka suap penanganan perkara di Mahkamah Agung (MA). Pertemuan ini disebut-sebut berlangsung di ruang pimpinan KPK yang berada di lantai 15 Gedung Merah Putih KPK.

“Di tangan Firli Bahuri Cs, termasuk Dewan Pengawas berbasis revisi UU KPK, KPK berganti nama menjadi Komisi Politisasi Korupsi,” ujar Julius kepada Forum Keadilan, Rabu, 13/9/2023.

Menurutnya, KPK baru bertindak cepat ketika ada hal yang bernuansa politis. Sedangkan hal yang substantif, kata dia, seperti pemberantasan korupsi bergerak sangat lambat.

Dia mencontohkan kasus Harun Masiku yang keberadaannya sampai saat ini belum bisa dilacak KPK.

Harun merupakan kader PDIP yang terjerat kasus dugaan suap mantan Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU).

Lorong Gelap Tahanan ke Ruang Pimpinan

Pria yang biasa disebut Bang Ijul juga menuturkan ada lorong gelap yang menghubungkan antara ruang tahanan menuju ruang pimpinan KPK.

Menurutnya, lorong gelap dari ruang tahanan ke pimpinan KPK adalah satu forum yang diduga kuat sebagai sarana untuk diskusi kepentingan politik antara KPK dengan MA.

“Jadi kalau demikian ada pihak-pihak yang diduga kuat tahanan KPK itu terkait dengan Mahkamah Agung, maka kita lihat kepentingan KPK dengan MA di situ. Apakah ada sebuah upaya hukum atau sengketa-sengketa hukum yang melibatkan KPK di rezim Firli Bahuri Cs yang sedang diproses di MA,” ujarnya

“Kalau ada, di situlah titik temunya,” imbuhnya.

Maka dengan kata lain, diduga kuat bahwa kasus itulah yang sedang dipolitisasi sehingga ada kunjungan spesial dari ruang tahanan tembus langsung ke ruang pimpinan.

Bobroknya Sistem KPK

Selain itu, Ketua PBHI tersebut mengungkapkan kinerja Dewas KPK yang tidak ada taringnya dalam menindak tegas pimpinan-pimpinan KPK yang melanggar kode etik.

Dia menyebut beberapa pelanggaran kode etik yang terjadi di era Firli Cs mulai dari kasus gratifikasi helikopter, pembocoran dokumen, dan pertemuan dengan tersangka. Menurutnya, semua itu sudah melampaui batas etik dan bahkan ada dugaan tindak pidana.

“Pertanyaannya, apa hasil pemeriksaan Dewas? Hasil pemeriksaan Dewas tidak pernah mencapai titik substansi yang layak. Artinya, tidak pernah diperiksa untuk mengungkapkan kebenaran utamanya dengan arti perspektif memperbaiki sistem dan kinerja di KPK,” ujarnya.

Komisioner KPK dan juga Dewas, kata Julius, adalah paket politisasi KPK. Menurutnya, tidak akan ada sanksi tegas untuk mengusut masalah sampai ke titik akar permasalahan.

“Sehingga jangan berharap mereka akan  memeriksa dugaan pelanggaran kode etik yang mengarah pidana,” ucapnya.

PBHI sendiri melihat ini bukan pada ranah pemberian sanksi internal. Julius menegaskan, bahwa seharusnya Pimpinan dan Dewas KPK dipecat.

“Pecat semua komisioner dan pecat semua dewan pengawas itu, karena itulah titik kebobrokan utama yang berdampak sistemik terhadap KPK, siapa yang bisa memecat? Presiden Joko Widodo,” tegasnya.*

 

Laporan Syahrul Baihaqi

Pos terkait