FORUM KEADILAN – Kasus penganiayaan yang menewaskan pemuda asal Aceh, IM, menambah lagi satu daftar merah oknum TNI.
Sebagai alat pertahanan negara, sejatinya TNI dibekali dengan pendidikan keras dan disiplin yang ketat.
Namun, beberapa oknum justru mengaplikasikan pendidikan yang keras itu kepada warganya sendiri.
Merujuk pada data Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), setidaknya ada 277 kasus kekerasan yang dilakukan anggota TNI sepanjang 2018 sampai 2021. Lantas, apakah kerasnya pendidikan TNI yang jadi penyebab arogansi para oknum ini?
Kepala Pusat Penerangan (Kapuspen) Mabes TNI Laksamana Muda (Laksda) Julius Widjojono mengatakan tidak.
Ia menjelaskan, dalam formulasi rumus statistik hukum sosial, dikenal adanya dalam kurva normal adanya penyimpangan itu 5 sampai dengan 10 persen. Apabila merujuk pada rumus itu, maka pasti ada satu atau dua anak yang menyimpang di dalam keluarga punya banyak anak.
“Apalagi tentara dengan jumlah 400 ribu orang. Pasti ada satu dua yang menyimpang,” ujar Julius kepada Forum Keadilan, Senin, 28/8/2023.
Teori Formulasi Kurt Leuwin juga mengatakan bahwa perilaku seseorang dihasilkan dari interaksi personal dan lingkungan. Begitu pun dengan prajurit TNI. Kata Julius, individu-individu yang hidup di lingkungan mereka, berpengaruh kuat terhadap perilakunya.
Untuk itu Julius berpendapat, kurang tepat kalau berbicara soal salah atau tidaknya kurikulum pendidikan militer.
Para prajurit baru masuk militer ketika berusia di atas 18 tahun. Oleh karena itu, perlu juga dilihat pola asuh di rumah dan pendidikan mereka.
“Karakter kejam, sadis dan brutal, bukan lagi dominasi latar belakang pekerjaan, tetapi sudah menjadi masalah bangsa. Lihat saja maraknya pembunuhan sadis yang banyak diviralkan oleh media,” ungkapnya.
Julius pun menyarankan semua pihak agar duduk bersama untuk menyelesaikan hilangnya jati diri bangsa yang ramah, santun, dan bergotong royong.
Sedangkan soal kurikulum pendidikan militer, menurutnya masih baik sampai saat ini dan belum perlu diubah atau direvisi. Begitu juga dengan proses rekrutmen TNI.
“Rekrutmen sudah sangat kompleks dan ketat. Mulai dari kesehatan fisik, jasmani, psikologi, kesehatan jiwa, juga akademis, dan ditambah profiling calon oleh badan siber,” pungkasnya*
Laporan Charlie Adolf Lumban Tobing