FORUM KEADILAN – Seniman Ratna Sarumpaet bersama kelompok teater Satu Merah Panggung menggelar aksi teatrikal ‘Seruan Terakhir’ di Gedung Bhakti Budaya Taman Ismail Marzuki (TIM), Jakarta Pusat, Kamis, 24/8/2023.
Pertunjukan yang syarat akan kritik terhadap pemerintahan itu digelar dalam rangka merayakan ulang tahun Ratna ke-75.
Acara dimulai pukul 20.00 WIB. Lampu teater mulai redup, Ratna dan empat pemuda menampakan diri di panggung.
“Pasca-revolusi, Burhanudin mengajak kawan-kawannya bergerilya di hutan. Dia itu pejuang. Dia urus semua, atur strategi, siapkan senjata, cari makan. Nahas Burhanudin dan kawan-kawan disergap Belanda,” begitulah teater ini dibuka.
Perjuangan Burhanudin Mohammad Diah begitu dramatis digambarkan di awal pertunjukan. Setelahnya, baru Ratna mulai menyampaikan keresahnnya kepada empat pemuda yang duduk di panggung bersamanya.
“Kalian tahu apa yang saya sesalkan? Ada jutaan generasi muda seperti kalian sedang berpesta. Dipakaikan jaket, dikasih atribut, dipakaikan topi, dijadikan penggembira dan buzzer. Memuja-muji calon presiden yang bahkan tidak pernah mereka kenal,” curhat Ratna diatas panggung.
Kata dia, cara mudah untuk menghancurkan ialah dengan melumpuhkan generasi mudanya. Untuk itu ia meminta, empat pemuda di sampingnya membaca UUD 1945 yang asli dan membandingkannya dengan UUD yang telah diamandemen.
“Penyelenggaran negara, esekutif, yudikatif dan legislatif, beramai-ramai dengan lembaga swadaya masyarakat (LSM) dan ahli-ahli, kompak merusak UUD 1945,” kata Ratna.
Nilai-nilai Pancasila yang seharusnya ada di batang tubuh UUD 1945 dibuang. Diganti dengan neo-liberalisme, kapitalisme, individualisme, dan lainya.
“Perbuatan durhaka itu terjadi di Senayan, di rumah rakyat. Itu kan tahun 2002. Sampai hari ini, setelah 20 sekian tahun, tidak satu orang pun dari yang merusak UUD itu punya nyali untuk mengakui dan minta maaf kepada rakyat,” lanjutnya.
Ratna menilai, amandemen UUD merupakan bagian rencana dari rezim internasional.
“Indonesia menetapkan, kebangsaan, nasionalisme, dan kemanusian sebagai dasar kemerdekaannya. Ketika mereka suap bangsa-bangsa di dunia dengan janji-janji kesejahteraan, Indonesia menegaskan keadilan sosial sebagai pondasi negara,” tegas pemuda yang duduk di samping Ratna.
Ratna beranggapan, rezim internasional punya banyak akal untuk menutupi buruknya amanden UUD. Mulai dari Kerusuhan Poso di 1998, Kerusuhan Ambon 1999, dan Bom Natal di tahun baru 2000.
Amandemen UUD tersebut, kata Ratna, berdampak pada korupsi yang terjadi selama ini. Buruknya sistem ekonomi, sistem pendidikan, dan banyaknya kasus agraria merupakan buah dari amandemen itu. Karena itu Ratna meminta, UUD dikembalikan pada bentuk aslinya.
Dalam pertunjukan ini, ketiga calon presiden (capres), yaitu Ganjar Pranowo, Prabowo Subianto, dan Anis Baswedan tak luput dari kritik Ratna.
“Negara sudah hancur begini, masih jadi capres,” sindirnya.
Ratna mengaku, dirinya ingin masyarakat tahu bahwa Indonesia dalam bahaya. Negara barat maupun Cina berkuasa di Indonesia.
“Ini persoalan kita. Kalau tidak segera kembali ke UUD 1945, kita akan habis,” tandasnya.
Setelah semua wejangannya tersampaikan, Ratna menutup pertunjukkan. Sebelum meninggalkan gedung, ratusan penonton memadati panggung untuk berfoto bersamanya.*
LaporanĀ Charlie Adolf Lumban Tobing