FORUM KEADILAN – Pengamat hukum tata negara sekaligus pendiri Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK), Bivitri Susanti menyebut seorang prajurit militer aktif yang menjabat di institusi sipil hakikatnya tidak kompatibel dalam mengemban tugas tersebut.
Menurutnya, TNI yang memasuki jabatan sipil akan merusak sistem kepegawaian. Meskipun dalam kerangka hukum yang ada memang diperbolehkan.
“Kalau sekarang menurut kerangka hukum yang ada memang boleh. Tapi, jadinya dia tidak kompatibel dengan jabatannya di sipil. Dampaknya, pasti merusak sistem kepegawaian. Karena jadinya banyak jabatan sipil yang harus di duduki militer,” katanya saat dihubungi Forum Keadilan, Rabu 2/8/2023
Kata Bivitri, TNI idealnya tetap menduduki jabatan kemiliteran. Hal tersebut bukan karena pembagian tugasnya namun dilihat dari segi kultur organisasi.
“Kalau di militer itu kan memang dididik (keras) dan memang harusnya begitu. Dia tidak demokratis, masa orang mau nyerang negara kita mereka pungut suara dulu kan itu nggak mungkin. Tapi jadinya dia tidak kompatibel dengan jabatannya di sipil. Makanya di banyak negara dan Indonesia sudah mulai merapikan itu sejak reformasi. TNI nggak boleh duduk di jabatan sipil. Kecuali sudah mundur, jadi yang masih aktif itu tidak boleh (menjabat) di negara demokratis,” ungkapnya.
“Tapi, kan di Indonesia punya beban sejarah yang panjang yang kita nggak boleh naif melepaskan konteks itu. Kita dulu punya ABRI yang kuat sekali sehingga ketika ’98 ada reformasi sektor keamanan sebenarnya itu belum tuntas. Makanya di UU TNI masih diperbolehkan untuk jabatan tertentu. Tapi idealnya memang nggak perlu, jadi nanti organisasi TNI juga dibereskan,” sambungnya.
Kata dia, organisasi TNI belum dirapikan secara jelas sehingga ada penumpukan jenderal yang jabatannya tinggi kemudian disebar ke jabatan institusi sipil. Bivitri berpendapat, jika seorang prajurit aktif militer masuk ke jabatan sipil secara signifikan akan meruntuhkan sistem demokrasi yang sudah ada.
“Yang paling signifikan jadinya nanti bangunan demokrasi kita nggak terbangun, karena mereka nggak kompatibel pada institusi demokratis. Jadi mereka akan pakai sistem komando. Kelihatan, misal di Kementerian Agraria, pakai seragam militer pakai tongkat komando hubungannya apa sama militer. Ini kan hanya memberikan sertifikat tanah. Jadi memang kultur militer komando dan tidak demokratis dibawa ke institusi sipil dan secara signifikan akan menghalangi proses demokrasi,” jelasnya.
Ia pun ikut mengomentari soal kasus korupsi di Basarnas beberapa waktu lalu. Bivitri berpendapat, idealnya kasus tersebut digelar di pengadilan umum. Karena ia menjabat di institusi sipil yang kemudian proses penyelidikannya dilakukan secara koneksitas.
“Karena di UU TNI Pasal 65 itu jelas sekali kalau yang dilihat itu tindak pidana nya. Apakah dia masuk hukum wilayah militer atau bukan. Sekali lagi ini pejabat penyelenggara sipil harusnya masuknya di pengadilan sipil, cuma level kedua ada koneksitas yang diatur dalam hukum acara pidana. Tapi intinya tetap di peradilan sipil bukan militer,” tutupnya.*
Laporan Merinda Faradianti