FORUM KEADILAN – Perkara sengketa hak waris keluarga antara Kakak Soerjani Sutanto dan Adik Haryanti Sutanto sudah pada putusan akhir.
Pihak penggugat, dalam hal ini Haryanti Sutanto, melalui kuasa hukumnya Amstrong Sembiring dan rekan, salah satunya Ratna Herlina Suryana mengaku tidak puas dengan hasil putusan akhir Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN) Jaksel dengan nomor sidang perkara No 701/pdt/G/2022/PN Jakarta Selatan.
Menurut Amstrong, putusan akhir dari majelis hakim sidang perkara tersebut tidak konsisten dan cenderung mengada-ngada.
Amstrong menjelaskan, berdasarkan dari hasil putusan alasan majelis hakim gugatan tidak diterima adalah bahwa dalam petitum angka 2 tersebut Penggugat tidak memasukkan Tergugat I, yaitu Soerjani Sutanto sebagai ahli waris dari Soeprapti. Padahal penyebutan ahli waris dalam petitum haruskah disebutkan secara lengkap karena petitum adalah dasar dalam pembuatan amar putusan dan majelis hakim tidak menambah seseorang sebagai ahli waris dalam amar putusan karena akan masuk kualifikasi ultra petita.
“Bahwa Judex Factie telah salah menerapkan hukum karena putusan ultra petita dalam perkara perdata juga secara normatif diperbolehkan untuk sejumlah kasus. Putusan ini tentu dengan mempertimbangkan fakta-fakta hukum yang terungkap dalam persidangan, seperti halnya fakta-fakta hukum dalam keterangan saksi ahli perdata dan bukti-bukti lainnya yang diajukan di dalam persidangan,” kata Amstrong usai memberikan berkas Banding, di PN Jaksel, Selasa, 25/7/2023.
Amstrong meminta kepada majelis hakim agar tidak tersandera oleh kepentingan prosedural semata dan petitum yang diajukan.
“Hal ini dikarenakan di sini pengadilan memiliki tanggung jawab dan peran besar untuk melindungi hak warga negara yang sekiranya terlanggar karena diberlakukannya suatu Undang-Undang,” ujar Amstrong.
Lebih lanjut, Amstrong menjelaskan, pada tanggal 11 April PN Jaksel menolak eksepsi kompetensi yang disoalkan oleh kuasa hukum tergugat 1 pengacara Taripar Simanjuntak cs dan turut tergugat Kementerian ATR/BPN Cq Kanwil BPN DKI Jakarta Cq Kantor Pertanahan Jaksel yang berisi putusan menolak eksepsi kompetensi absolut dari pihak tergugat.
“Untuk tergugat 1 dia hanya menyoalkan Kompetensi absolut dalam eksepsinya, sedangkan turut tergugat ada 2 poin yang disoalkan gugatan nebis in idem (ada gugatan yang sudah diputus tapi digugat kembali), dan gugatan Kabur. Untuk dua putusan gugatan nebis in idem dan gugatan kabur yang disoalkan oleh turut tergugat itu sudah ditolak pada putusan akhir, yang berisi bahwa hakim menolak eksepsi dari pihak turut tergugat, berarti pikiran majelis hakim sepaham dengan penggugat,” kata Amstrong dalam keterangan tertulis, Jumat, 14/7 mempertanyakan hasil putusan akhir.
Dengan demikian, kata Amstrong, sudah jelas poin tergugat 1 hakim sepemikiran dengan penggugat, dan poin Turut tergugat dengan poin 1 dan 2 hakim juga sepemikiran dengan penggugat.
Namun, yang membuat aneh dalam putusan akhir ini, menurut Amstrong, apa yang membuat hakim bisa mengatakan penggugat cacat formil.
“Dari bantahan siapa? Karena jika dianalisis dari putusan tersebut kontradiktif 1 dengan putusan yang lainnya. Pada satu sisi hakim menolak eksepsi semua para tergugat 1 dan turut tergugat, di sisi lain majelis hakim tersebut mengatakan penggugat cacat formil, ini kan aneh bin ajaib, mohon maaf ini bisa dinamakan putusan halu,” ujar Amstrong.
“Kalau misalnya dasar gugatan tidak dapat diterima oleh majelis hakim, pertanyaannya majelis hakim berdasarkan eksepsi siapa?,” ujar Amstrong menambahkan.
Sementara itu, Amstrong juga merasa ada kejanggalan dalam penetapan waktu putusan akhir. Pada mulanya, putusan akhir dijadwalkan di E-Court pada 4 Juli 2023 pukul 10.00 WIB. Tiba-tiba ditunda menjadi tanggal 13 Juli pukul 10.00 WIB, tapi kenyataannya ditunda lagi ke pukul 12.00 WIB siang.
“Hal ini yang mengganjal dalam perkara ini, di dalam perdata itu hakim bersifat pasif, jadi artinya hakim hanya merespons yang disoalkan oleh para pihak. Dalam kinerja, hakim dibatasi oleh UU hakim tidak boleh melewati kewenangannya dalam menangani perkara, berarti hakim offside. Kalau begitu,” ucap Amstrong.
Amstrong mencontohkan, menurutnya hukum perdata berbeda dengan hukum pidana di mana hakim bisa menggali perkara lebih jauh, dalam hukum pidana hakim bersifat aktif.
“Kalau itu terjadi siapa pun pencari keadilan dalam perkara perdata seperti yang disebutkan tadi, pasti terpuruk bahkan orang yang piawai di bidang hukum akan tersungkur jika berhadapan dengan model majelis hakim seperti itu, yang kebablasan,” tutur Amstrong menyuarakan kekecewaannya.
Perlu diketahui, dalam sidang perkara ini, tergugat 1 dengan turut tergugat itu yang hadir. Sedangkan turut tergugat 2 dari sejak pemanggilan hingga sidang putusan akhir tidak pernah hadir di persidangan.*