Ratunnisa, Suara Pilu Melawan Sistem Zonasi

Ratunnisa lakukan aksi di samping sekolah dasar
Ratunnisa lakukan aksi di samping sekolah dasar | dok. Ratunnisa

FORUM KEADILAN – Sistem pelaksanaan penerimaan peserta didik baru (PPDB) 2023 lewat jalur zonasi menjadi keluhan para orang tua murid.

Sistem yang sejatinya dibuat untuk pemerataan pendidikan, justru menjadi bibit masalah terjadinya kecurangan dalam sistem pendidikan kita.

Bacaan Lainnya

Kebijakan yang pertama kali diterapkan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) pada tahun 2017, bahkan kini meminimalisir peluang anak bangsa mengecap Pendidikan, khususnya di sekolah negeri.

“Sistem zonasi ini merupakan puncak dari rangkaian kebijakan di sektor pendidikan yang kita terapkan dua tahun terakhir ini. Tujuannya untuk mengurangi, kalau perlu menghilangkan ketimpangan kualitas pendidikan, terutama di sistem persekolahan,” kata Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Muhadjir Effendy kala itu.

Singkat cerita, sistem zonasi diyakini Muhadjir akan mengurai ketimpangan antara sekolah yang sering distigmatisasi sebagai sekolah favorit dan sekolah tidak favorit.

Eksperimen itu menuai luka. Nyatanya masyarakat, khususnya anak didik dan orang tua menjadi korban. Alih-alih pemerataan pendidikan, hilangnya kesempatan mengecap Pendidikan justru menjadi fakta yang tak kuasa ditolak masyarakat.

Hal inilah yang menimpa MF, siswi SD di Kelurahan Kedaung, Cengkareng, Jakarta Barat. Ibunda MF, Ratunnisa mengisahkan pengalaman pahit putrinya yang tersingkir dari seleksi sistem zonasi lantaran lantaran usia anaknya kalah bersaing dengan calon siswa lain sebagaimana disyaratkan dalam sistem zonasi tersebut.

Saat mendaftar, usia MF 7 tahun 5 bulan, sedangkan mayoritas usia yang diterima di sekolah dasar dekat tempat tinggalnya adalah 9 tahun. Padahal, jarak dari sekolah sampai rumah tidak sampai 40 meter.

“Jaraknya tidak sampai 40 meter,” Ratunnisa bersuara lirih mengungkap kepiluan hatinya kepada Forum Keadilan pada Selasa, 18/7/2023.

Dalam pengakuannya, Ratunnisa menyebut sekolah dasar tersebut memiliki kuota 70 orang melalui jalur zonasi. Yang membuatnya geleng kepala, dari 70 orang tersebut, ternyata hanya 10 orang yang berasal dari Kedaung Kaliangke, itu pun usianya rata-rata diatas 9 tahun.

“Sisanya sebanyak 60 kuota berasal dari Kelurahan Kapuk,” ungkitnya.

Ratunnisa tak kuasa menahan amarah akibat ketidakadilan yang ia saksikan di depan matanya. Demi buah cintanya, Ia mengabaikan rasa malu, melakukan protes atau aksi demo di samping tembok sekolah pada, tepatnya pada Rabu, 12/7 lalu.

Aksi tersebut ternyata mendapat reaksi sehingga dipertemukan dengan perwakilan dari Suku Dinas Pendidikan bernama Sunardi, Kepala Satuan Pelaksana (Kasatlak) Pendidikan Kecamatan Cengkareng bernama Mali, bahkan Kepala Sekolah tersebut.

Sebuah pertemuan yang antiklimaks. Solusi yang ditawarkan kepada Ratunnisa justru mendorongnya untuk mendaftarkan putrinya ke sekolah lain, yaitu di SD 013 Kapuk.

Ratunnisa tegas menolak. Ia memandang pertemuan itu hanyalah bentuk pengalihan agar dirinya tak meneruskan upaya mengkritisi sistem zonasi.

Komisioner Sub Monitoring Evaluasi Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Aris Adi Leksono dalam kesempatan terpisah dengan Forum Keadilan mengatakan pihaknya sudah mendatangi sekolah tersebut. Pihak sekolah juga sudah dimintai konfirmasi.

“Salah satu yang saya dapatkan, sebenarnya zonasi SD itu apa patokannya? Apakah basis kelurahan kah? Ini tidak tersampaikan dengan baik ke masyarakat. Sosialisasi sebatas formalitas,” ungkapnya.

Aris menambahkan Suku Dinas terkait tak pernah menyosialisasikan program tersebut hingga masyarakat pun berasumsi rumah yang dekat dengan sekolah pasti diterima. Padahal, masih ada satu hal lagi yang jadi pertimbangan, yakni memperhitungkan usia.

Menanggapi hal tersebut, Wakil Ketua Komisi X DPR RI dari Fraksi Partai Demokrat, Dede Yusuf pun angkat suara. Ia secara blak-blakan menyebut sistem zonasi ini gagal.

“Itu namanya bentuk kegagalan sebuah sistem yang menyebabkan siswa-siswa terlalu memilih ke satu dua sekolah, sementara yang lainnya menjadi kosong artinya gagal sistem zonasi itu sebenarnya direncanakan untuk pemerataan namun pada kenyataannya malah menjadi gagal,” katanya, kepada Forum Keadilan, Selasa 18/7/2023.

Sebagai mitra kerja dari Kemendikbudristek, Dede mengaku komisi X DPR RI telah memberikan saran untuk dilakukan perbaikan pada sistem pendaftaran zonasi.

“Kemarin itu kita sudah memberikan saran, kita memberikan waktu sampai bulan Oktober ini, agar dibuat sebuah temuan-temuan, yang bekerjasama dengan ombudsman. Jadi intinya, adalah kalau setiap tahun permasalahan ini terjadi dan beberapa kepala daerah juga sudah menemukan bukti-bukti, laporan-laporan, media juga susah menulis (berita) bahkan ada kecenderungan kuota tinggi tapi sekolah malah banyak yang tidak mendapatkan (siswa) artinya ada sistem yang salah,”ujarnya.

Dede juga mengatakan pihaknya memberikan batas waktu kepada Kemendikbud, yakni sampai Oktober untuk membuktikan tidak perlu adanya perubahan sistem. Sedangkan, jika ada perubahan sistem, DPR RI akan mengajukan pengembalian sistem pendaftaran sekolah seperti sebelumnya, yakni melalui tes.*

Pos terkait