FORUM KEADILAN – Presiden Joko Widodo (Jokowi) tengah menjadi perbincangan publik usai kedua putra hingga menantunya terjun ke dunia politik. Jokowi dipandang sedang membangun dinasti politiknya sendiri.
Yang menarik dari dinasti Jokowi adalah jejak politik para anak dan menantu benar-benar duplikat dari sang presiden, yakni dimulai dari pemilihan kepala daerah tingkat pemerintahan kota atau walikota.
Persis mengikuti jejak Jokowi yang memulai kiprah politiknya menjadi Walikota Solo, Gibran Rakabuming dan Bobby Nasution juga sama. Keduanya saat ini menjabat sebagai Walikota Solo dan Walikota Medan. Begitu pula si bungsu Kaesang Pangarep yang akan maju di Pilkada Kota Depok pada 2024 mendatang.
Politik dinasti sebenarnya bukanlah hal baru dalam perpolitikan tanah air. Yang menjadi sorotan dalam konteks dinasti politik Jokowi adalah eksistensi anak dan menantunya sebagai kepala daerah pada saat Jokowi masih berkuasa.
Dugaan conflict of interest dalam melanggengkan kekuasaan menjadi sorotan yang tak terhindarkan. Sulit mengabaikan praktik nepotisme telah menjadi bagian dalam kiprah politik Gibran, Bobby dan Kaesang menjadi kepala daerah.
Memang benar, tidak ada aturan yang melarang terbentuknya sebuah dinasti politik dalam proses demokrasi kita. Namun kita juga perlu mencermati untuk rugi eksistensi dinasti politik bagi keberlangsungan hidup berbangsa dan bernegara.
Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan sebagai partai pengusung Jokowi di capres 2014 dan 2019 hingga pengusung Gibran di Pilwalkot Solo 2019, dengan tegas membantah adanya politik dinasti dari sang kepala negara.
Anggota DPR RI Fraksi PDI Perjuangan Djarot Saiful Hidayat menyebut hal ini berbahaya dan PDIP tidak memperbolehkan hal tersebut.
“Ini berbahaya, di PDI Perjuangan tidak boleh. Dalam satu keluarga itu, selalu satu partai, dinasti politik itu apabila ada seseorang, satu di partai A, satu di partai B, lalu saudaranya di partai C, membentuk satu dinasti, PDI Perjuangan tidak,” kata Djarot.
Menurut Djarot, ia tak melihat adanya politik dinasti dalam keluarga Jokowi. Sebab, jabatan yang didapatkan anak mantu presiden ini justru didapatkan melalui proses.
“Melalui proses, proses pendidikan politik, proses kaderisasi siapa pun juga, karena kita tahu bahwa sumber pertama kader partai itu dari keluarga, baru dari lingkungan masyarakat, baru dari hubungan historis. Jadi, saya tidak melihat itu (dinasti politik). Mas Bobby, Mas Gibran, itu melalui proses, tidak ujug-ujug kan gitu. Sama seperti Mba Puan, yang sejak SMP itu sudah ikut, apa tidak boleh? Ya boleh dong,” ujarnya.
Menyoal politik dinasti, Direktur Lingkar Madani, Ray Rangkuti menyebut tak ada larangan bahkan sudah menjadi tradisi.
“Ini mulai jadi tradisi nih, jadi budaya dalam praktik politik kita,” kata Ray Rangkuti kepada Forum Keadilan melalui sambungan telepon, Selasa, 4/7/2023.
Ray juga memaparkan adanya politik dinasti lantaran para politikus tak peka terhadap etika politik.
“Kalau aturannya sih memang tidak melarang, tapi secara etik yang tidak etis. Cuma kan politisi kita itu tidak memandang etik, mereka hanya mandang aturan, kalau aturannya membolehkan ya sudah gitu. Bagi mereka etika itu yang kedua, padahal mestinya ya nomor satu, etik yang didahulukan daripada aturan,” ujar alumnus UIN Syarif Hidayatullah Jakarta itu.
Senada dengan Ray Rangkuti, Ekonom Universitas Bung Karno, Gede Sandra juga menyebut tak aturan yang jelas terkait dengan politik dinasti. Bahkan ia menyebut dinasti politik adalah nepotisme.
“Politik dinasti itu kan bagian dari nepotisme. Nepotisme itu kan satu dari 3 aspek yang ditentang oleh reformasi, yaitu korupsi, kolusi dan nepotisme. Jelas tertuang di undang-undang pemberantasan korupsi, hanya korupsinya saja. Nepotisme ini tidak ada undang-undang yang jelas, tidak ada undang-undang anti nepotisme,” ungkapnya kepada Forum Keadilan pada Selasa, 4/7/2023.
Di samping itu, Gede Sandra menyebut politik dinasti ini sebagai perdagangan kekuasaan. Ia bahkan memberikan contoh nyata dari pembantu presiden yang mulai menggunakan kekuasaan mereka dalam beberapa kebijakan.
“Contohnya soal kendaraan listrik, itu kan ada beberapa menteri yang juga sebagai owner. Itu kan ada subsidi negara, tapi satu sisi perusahaan kendaraan listrik itu adalah geng keluarga Pak Luhut, Pak Moeldoko. Jadi ada menteri. Itu aspek paling brutal dari perdagangan kekuasaan,” lanjut Gede Sandra.
Ia juga melanjutkan, hal ini seperti para menteri melakukan apa yang dicontohkan oleh pimpinannya.
Sebagai ekonom, Gede Sandra membeberkan bahayanya politik dinasti bagi sektor ekonomi. Ia menyebut nepotisme yang terjadi dalam politik dinasti dikhawatirkan akan meningkatkan indeks korupsi. Indeks korupsi yang tinggi inilah yang akan menurunkan tingkat kepercayaan para investor terhadap Indonesia.
“Bahayanya bagi ekonomi, indeks korupsi menjadi titik berat dari investasi luar negeri. Selain lingkungan, investor luar negeri ini juga melihat indeks korupsi suatu negara. Kalau misalkan presiden seperti itu, menteri seperti itu, bisa dibayangkan kelakuan para pejabat di level bawah yang mengurus perizinan investasi. Itu akhirnya ekonomi yang berbasis investasi jadi tidak efisien, jadi kurang diminati,” pungkasnya.*(Tim Forum Keadilan)