FORUM KEADILAN – Polda Metro Jaya menaikkan status dugaan kebocoran dokumen Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terkait perkara melibatkan Kementerian ESDM ke tingkat penyidikan. Gebrakan Polda dalam pengusutan kasus ini disebut-sebut berpotensi membuka tabir bobroknya integritas KPK di bawah kepemimpinan Firli Bahuri.
Pasca peningkatan status tersebut, Kapolda Metro Jaya Irjen Karyoto tak menampik Firli Bahuri akan dipanggil untuk dimintai keterangan terkait kasus yang dilaporkan oleh mantan Direktur Penyelidikan KPK Brigjen Endar Priantoro itu.
Tak haya Endar, pelaporan atas kebocoran dokumen KPK juga dilakukan oleh sejumlah pihak lain. Total 16 laporan diterima Polda Metro Jaya, salah satunya dari Lembaga Pengawasan dan Pengawalan Penegakan Hukum Indonesia (LP3HI), Namun karena memiliki dasar pelaporan yang sama, penyidik kemudian menjadikannya satu berkas.
”Nanti kita lihat ke depan,” kata Karyoto kepada wartawan di Mapolda Metro Jaya, Selasa (20/6/2023).
Pernyataan Karyoto ini seolah membantahkan idiom KPK sebagai dewa yang tak dapat disentuh lembaga lain. Seperti diketahui Ombudsman beberapa waktu lalu berupaya melakukan klarifikasi terhadap Firli Bahuri atas dugaan maladministrasi penyelenggaraan pelayanan publik terkait pencopotan Brigjen Endar Priantoro. Pemanggilan Ombudsman tersebut ditolak KPK. Sekretaris Jenderal KPK Cahya H. Harefa berdalih urusan kepegawaian bukan ranah pelayanan publik yang menjadi kewenangan Ombudsman.
Kembali ke penanganan kasus ditangani Polda Metro Jaya, Irjen Karyoto mengakui saat ini jajarannya belum menetapkan satupun tersangka. Meski demikian ia menjamin penyidik telah mengonfirmasi adanya pidana dalam kebocoran dokumen perkara ESDM yang tengah ditangani KPK.
Karyoto membenarkan informasi perihal pihak-pihak ditargetkan dalam penyelidikan KPK telah memegang dokumen terkait kasus melibatkan ESDM yang ditangani lembaga antirasuah tersebut.
“Artinya, barang yang tadinya rahasia menjadi tidak rahasia ketika sudah dipegang oleh pihak pihak yang menjadi objek penyelidikan. Jelas?” jelas Mantan Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK ini.
Lolos Etik
Sejak bergabung di KPK sebagai Deputi Penindakan hingga akhirnya terpilih sebagai Ketua KPK, sosok Firli kerap memunculkan polemik. Bahkan, Di tahun 2019, pegawai KPK ramai-ramai membuat petisi atas kebocoran informasi saat penyelidikan. Ketika itu Firli Bahuri menjadi Deputi Penindakan KPK periode 2018-2019.
Kepada Forum Keadilan, mantan Wakil ketua KPK Saut Situmorang bahkan mengaku pernah memarahi Firli yang mengambil gambar saat rapat tertutup digelar.
“Beberapa kali saya marah dan sampai di satu kesempatan pakai kata ‘Anda’ yang biasanya menggunakan kata bapak,” ucap Saut menggambarkan kemarahannya ketika itu.
Saut mengisahkan, bahkan pegawai KPK yang bertugas di lapangan terpaksa menggunakan uang pribadi terlebih dahulu dalam operasi untuk mendapatkan bukti target disasar. Hal itu lantaran bila meminta dana terlebih dahulu, operasi rentan akan diketahui pihak lain.
Tingginya angka kebocoran di bidang penindakan juga terungkap dalam rapat para pegawai Deputi Penindakan yang dihadiri lima pimpinan KPK periode IV, delapan kasatgas penyelidikan dan lima kasatgas penyidikan di tanggal 16 April 2019 lalu. Dokumen notulensi pegawai Deputi Penindakan KPK setebal 12 halaman membeberkan sebanyak 26 OTT (operasi tangkap tangan) bocor semasa Firli memimpin Deputi Penindakan.
Tak hanya isu kebocoran data, Firli juga berulang kali disebut melanggar etika pimpinan KPK, antara lain terkait penggunaan helikopter mewah dan pertemuan dengan sejumlah pihak, salah satunya mantan Gubernur Nusa Tenggara Barat M Zainul Majdi atau yang akrab disapa Tuan Guru Bajang (TGB). Padahal sepatutnya Firli tak menemui TGB lantaran KPK tengah menyelidiki dugaan korupsi kepemilikan saham PT Newmont yang melibatkan Pemerintah Provinsi NTB. Firli juga diketahui pernah menjemput Wakil Ketua BPK Bahrullah yang menjadi saksi kasus dugaan korupsi.
Dinyatakan melanggar kode etik, Firli mendapat angin segar dengan mutasi kembali ke Polri. Sempat menjabat Kapolda Sumsel, Firli kembali ke KPK untuk mengikuti seleksi calon pimpinan KPK. Suara bulat Komisi III DPR RI mengantar Firli menjadi orang nomor satu di KPK sejak 20 Desember 2019.
Seolah menempel dengannya, berbagai polemik muncul di kepemimpinan FIrli. Menghentikan 36 penyelidikan periode 20 Desember 2019 – 20 Februari 2020, Firli Cs juga menonaktifkan 75 pegawainya, termasuk penyidik senior Novel Baswedan. Gagal dalam Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) menjadi dasar pemberhentian puluhan pegawai KPK itu.
Rendahnya kredibilitas Firli sebagai pemimpin dikemukakan mantan pegawai KPK Yudi Purnomo yang menilai banyak pelanggaran terjadi di ranah KPK sejak kepemimpinan Firli cs.
“Dulu kan KPK ada tiga aspek yang paling penting ya, istilahnya itu bagunannya KPK. Pertama wujud KPK-nya di dalam Undang-Undang kan sudah direvisi, kemudian pemimpin sebagai teladan tapi sekarang keteladannya berkurang, yang ketiga pegawainya (tapi) sekarang kita lihat misalnya si Robin penyidik KPK yang terlibat kasus korupsi, sekarang yang terakhir dugaan keterlibatan pungli pegawai KPK yang bertugas di rutan,” bebernya kepada Forum Keadilan.
Yudi menyebut pungli mencapai Rp4 miliar di Rutan KPK memperlihatkan bobroknya kondisi KPK saat ini. Hal itu tegasnya tak lepas dari tidak adanya sosok kepemimpinan di profil Firli Bahuri
“Menurut saya permasalahan yang terjadi di bawah (pegawai) terjadi karena mereka melihat pemimpinnya. Jadi sudah nggak ada keteladanan bagi pegawai KPK, sehingga di rutan diduga banyak yang terlibat itu wajar saja,” katanya.
Diakui Yudi, pungli pernah terjadi di era kepemimpinan sebelumnya. Selain angka yang terbilang kecil dengan nilai Rp300.000, oknum pelaku juga langsung dipecat.
Meski banyak menerima laporan, Dewan Pengawas (Dewas) KPK hingga kini menyatakan belum menemukan bukti cukup atas pelanggaran etik dilakukan Firli Bahuri,
Pernyataan tersebut dibantah Saut Situmorang yang menyebut kesimpulan Dewas sebagai suatu keanehan,
“Kita tak mesti mengumpulkan bukti satu gudang untuk menyimpulkan seperti apa (pelanggaran etika FIrli). Masak Dewas tidak bisa menyimpulkan integritasnya seperti apa,” geram Saut seraya menuturkan proses pidana bisa dilakukan tanpa harus menunggu sidang etik.*