Saut Situmorang: Gelagat Firli Sudah Terbaca Sejak Debut Awal di KPK

Ketua KPK Firli Bahuri | Ist
Ketua KPK, Firli Bahuri | Ist

FORUM KEADILAN – Gelagat Firli Bahuri yang diduga kerap membocorkan informasi ke luar, sudah terbaca sejak debut awal dirinya di Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Hal itu diungkap oleh mantan atasan Firli yakni Saut Sitomorang.

Saut kala itu menjabat sebagai Wakil Ketua KPK, dan Firli menjabat Deputi Penindakan KPK. Menurut Saut, sejak Firli menjadi bagian dari KPK, terindikasi adanya kebocoran-kebocoran informasi ke luar, terkait langkah penindakan tim.

Bacaan Lainnya

“Beberapa bulan dia menjabat, anak-anak (tim KPK) mulai merasakan ada kebocoran-kebocoran informasi,” kata Saut saat dihubungi tim Forum Keadilan, Rabu, 21/6/2023.

Saut menjelaskan, KPK memiliki komitmen yang tinggi terkait penerapan Standar Operational Prosedur (SOP). Sehingga, apabila ada tim yang menerapkan standar rendah, maka akan sangat kentara.

“Jika seseorang sudah memegang suatu standar yang tinggi, kemudian melihat orang lain standar nya rendah, padahal di tempat yang sama, tentu akan sangat eye catching,” tutur Saut.

Contoh standar nya, kata Saut, yakni ketika akan melakukan ekspos kasus, maka telepon genggam atau handphone harus disimpan, atau tidak dibawa. Kalaupun dibawa, maka tidak boleh memotret apa pun. Sebab, jika mengambil gambar, dikhawatirkan suatu saat handphone itu hilang, maka data bisa bocor.

“Maka saya selama empat tahun di KPK, saya tidak pernah membawa HP ke ruangan. Itu standar saya tinggi sekali. Jadi artinya kita mencegah jangan sampai ada kebocoran lewat HP saya,” ungkapnya.

Ketika ada orang baru masuk ke KPK, termasuk Firli Bahuri, maka gerak-geriknya tak lepas dari pengamatan Saut. Terlebih, Saut menyadari, dan bukan rahasia umum lagi, ihwal adanya beberapa pimpinan KPK yang di-remote dari luar. Termasuk juga staf-stafnya.

“Saya mengamati satu persatu. Potensi setiap (orang) yang di-remote dari luar itu kan bisa terlihat dari omongannya, kebijakannya dan tanggapannya atas kasus-kasus yang kita yakini cukup bukti untuk dinaikkan penyidikan, dan seterusnya,” ungkap Saut.

Oleh sebab itu, lanjut Saut, ketika ada orang yang perilakunya menyimpang, termasuk memotret berkas atau mengambil kebijakan-kebijakan yang akhirnya itu terkonfirmasi juga dengan adanya kebocoran-kebocoran informasi, maka dapat dipastikan orang tersebut di-remote dari luar.

“Bahwa memang karakter dan integritas seseorang itu bisa kita lihat,” kata dia.

Setelah mendapati sejumlah fakta penyimpangan SOP yang dilakukan Firli, ditambah akumulasi dari berbagai laporan-laporan yang masuk dari tim ihwal kebocoran informasi, Saut sempat menumpahkan kemarahannya kepada Firli.

Namun saat itu, kemarahan Saut hanya sebatas disampaikan di dalam forum internal. “Kalau yang di forum kita anggap sudah cukup dengan menegur, tidak perlu ditindaklanjuti, kami berharap semoga dia berubah,” ungkap Saut.

Namun rupanya, pelanggaran yang dilakukan Firli tak cukup sampai di situ. Firli kemudian dinyatakan melakukan pelanggaran etik berat karena bertemu dengan mantan Gubernur Nusa Tenggara Barat (NTB) M Zainul Majdi atau yang akrab disapa Tuan Guru Bajang (TGB), tepatnya pada 12-13 Mei 2018 lalu.

Saat itu disimpulkan Firli melakukan pelanggaran etik berat karena ada bukti lengkap. Firli mestinya tidak bertemu TGB lantaran KPK sedang menyelidiki dugaan korupsi kepemilikan saham PT Newmont yang melibatkan Pemerintah Provinsi NTB.

Saat itu Firli mendapatkan sanksi dikembalikan ke institusi Polri. Lantas, Firli menjabat sebagai Kepala Kepolisian Daerah (Kapolda) Sumatera Selatan.

Namun, saat itu sanksi pidana tidak dikenakan kepada Firli. Padahal, kata Saut, pelanggaran yang dilakukan Firli bisa dipidana dengan hukuman 5 tahun penjara.

“Sebenarnya bicara pelanggaran kode etik dan pelanggaran Undang-Undang itu sebenarnya bukan delik aduan. Jadi sebenarnya dia sudah bisa dipidana. Dia bertemu langsung dengan orang berperkara,” kata Saut.

“Beberapa institusi, (ketika ada pelanggaran) itu dipidananya jalan, tapi kode etiknya tetap jalan, atau kode etiknya dulu baru pidananya. Itu kan sama saja, yang penting memastikan bahwa dia sudah melakukan pelanggaran terhadap kode etik, dan kita sudah memutuskan bahwa dia telah melakukan pelanggaran kode etik,” lanjutnya.

Saat itu, KPK tidak membawa kasus pelanggaran itu ke ranah pidana dan memilih fokus pada penanganan perkara yang sedang bergulir. Terlebih saat itu tim merasa lebih aman dari kebocoran informasi setelah Firli hengkang dari KPK.

Rasa aman itu kembali berubah menjadi ancaman tatkala Firli mengikuti seleksi calon Ketua KPK. Kendati KPK telah bersurat ke Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) ihwal riwayat pelanggaran etik yang dilakukan Firli, namun nyatanya DPR tutup mata dan tetap meloloskan Firli menjadi Ketua KPK.

“Kata DPR-nya kita (KPK) dibilang memberi surat hoax. Dianggapnya berita sampah. Ada tuh oknum DPR yang mengatakan itu. Ngaco itu,” kata Saut.

Atas semua yang terjadi saat ini, saut menyesalkan KPK pernah menerima Firli. Menurutnya, saat perekrutan Firli ada kelalaian terutama terkait hasil tes psikotesnya.

“Mungkin kesalahan kami juga kenapa menerima dia,” katanya.

“Saat itu, Firli memang direkrut khusus untuk deputi penindakan, untuk menggantikan Heru yang pindah jabatan sebagai kepada BNN,” ungkapnya.

Dengan jabatannya di Deputi Penindakan itu, Firli malah diduga menyalahgunakan segala informasi yang dia dapat.

Kini, Firli berada di jabatan yang lebih mentereng sebagai Ketua KPK, sehingga bisa melakukan apa pun yang dia kehendaki.

Untuk itu, Saut mengatakan Dewan Pengawas (Dewas) mestinya tidak berat mengumpulkan bukti penyelewengan Firli. Sebab, sejauh ini sudah banyak pelanggaran yang dilakukan Firli.

Masak tidak bisa menyimpulkan integritasnya seperti apa. Mulai dari soal helikopter, kebocoran-kebocoran informasi, serta pemecatan 57 orang itu,” kata Saut.

Firli memang dinyatakan melanggar kode etik karena bergaya hidup mewah pada September 2020 lalu. Dia menyewa helikopter milik perusahaan swasta untuk perjalanan pribadi dari Palembang ke Baturaja, Sumatera Selatan.

Kemudian, lanjut Saut, Firli juga memecat 57 orang yang berintegritas. Mereka ditendang dari KPK dengan alasan tidak lulus tes wawasan kebangsaan.

“Apakah dia (Firli) berintegritas, apakah dia bersinergi? Sama Polri saja ribut, Brigjen Endar Priantoro bilangnya mau diperpanjang malah dipecat,” kata dia.

“Apa itu kepemimpinan yang benar, apa itu yang namanya keadilan? Apa itu yang namanya profesional? Bagi saya itu sudah cukup bukti. Dewas tak perlu mengumpulkan bukti satu gudang untuk menentukan kebijakan,” tandasnya.

Kekinian, Firli juga diduga terlibat pembocoran dokumen menyerupai hasil penyelidikan dugaan korupsi tunjangan kinerja (tukin) di Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM).

Dokumen itu bersifat rahasia dan disebut membuat kerja-kerja KPK mengusut korupsi di ESDM menjadi sia-sia setelah informasinya bocor.

“Integritas yang bersangkutan (Firli) itu bermasalah. Karakter nya itu bermasalah. Itu terbukti, saya mengalami sendiri, bukan dari media, Saya mengalami sendiri,” pungkas Saut.

Sebelumnya, Dewas KPK menyimpulkan tidak cukup bukti atas laporan dugaan pelanggaran kode etik, Ketua KPK Firli Bahuri terkait kebocoran dokumen KPK di Kementerian ESDM. Karena itu, laporan tersebut tidak dapat dilanjutkan ke sidang etik.

Sementara itu, Polda Metro Jaya telah menaikkan status pengusutan dugaan kebocoran dokumen penyelidikan KPK di Kementerian ESDM ke tahap penyidikan.*