FORUM KEADILAN – Wakil Ketua Bidang Penguatan dan Pengembangan Kewilayahan Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) Djoko Setijowarno mengatakan, kehadiran insfrastruktur utama dan pendukung Buy the Service (BTS) di daerah masih belum memadai, sepert akses trotoar dan halte.
Djoko menyebut, desain halte belum memberikan kemudahan untuk akses, serta rambu bus stop atau penanda pemberhentian bus tidak terlihat dan tidak terpasang.
Program BTS dilakukan dengan membeli layanan dari operator (mensubsidi 100 persen biaya operasional kendaraan) dengan standar pelayanan minimal yang ditetapkan.
“Pemerintah memberikan lisensi pelaksanaan pelayanan kepada operator yang memenuhi standar pelayanan minimal. Sejak tahun 2022 ada 11 kota yang sudah menerima bantuan penyelenggaraan transportasi umum perkotaan,” katanya, Minggu, 11/6/2023.
Katanya, alokasi anggaran subsidi untuk program ini melalui Dirjenhubdat dimulai tahun 2020 untuk 5 kota, seperti Medan, Palembang, Yogyakarta, Surakarta dan Denpasar sebesar Rp56,9 miliar, tahun 2021 untuk 10 kota sebesar Rp292,7 miliar, tahun 2022 sebesar Rp550 miliar dan tahun 2023 Rp625,7 miliar.
Djoko menyebut, jumlah penumpang Program Teman Bus di 10 kota dengan skema BTS mengalami tren peningkatan. Adanya modal shifting dari pengguna kendaraan pribadi untuk berpindah menggunakan BTS.
“Ada potensi peningkatan okupansi dan perbaikan kualitas layanan BTS. Sebanyak 62 persen penumpangnya beralih dari sepeda motor ke Bus BTS. Namun, rute yang dipilih masih belum sesuai demand. Masih ada trayek BTS Teman Bus berhimpitan dengan trayek angkutan umum eksisting dan konflik dengan operator eksisting di beberapa kota/provinsi yang dilayani BTS masih terjadi,” sambungnya.
Di sisi lain, Djoko juga melihat dukungan pemerintah daerah terhadap pelaksanaan upaya push and pull dalam mendukung layanan Teman Bus belum optimal.
“Di beberapa kota/provinsi masih belum memiliki lembaga pengelola angkutan umum. Di beberapa daerah, operator eksisting sebagian besar masih berupa individu (pemilik dan pengemudi), sehingga sulit untuk membentuk konsorsium operator dan diajak bergabung dalam sistem,” ujarnya.
“Transfer pengelolaan dan pengoperasian BTS dari pemerintah pusat ke pemda juga belum ada kejelasan. Pemberian subsidi pembelian layanan/BTS ini telah memberikan manfaat bagi masyarakat yang menjadi pengguna layanan. Belum ada kejelasan terkait keberlanjutan program, jangka waktu pendanaan oleh pemerintah daerah di masa depan. Belum ada komitmen anggaran dari pemerintah daerah dan DPRD,” jelasnya.
Djoko melihat evaluasi dari kekurangan tersebut ialah pemilihan trayek harus didasarkan pada jumlah penumpang (demand) dan kesiapan operator eksisting yang akan diikutsertakan. Program BTS harus sejalan dengan master plan perencanaan dan pengembangan angkutan umum di daerah.
“Kolaborasi dan sinergitas dengan operator lokal juga perlu karena mereka bukan pesaing, namun sebagai mitra. Lalu, koordinasi antar pemangku kepentingan di daerah, seperti DPRD, Bappeda, Dinas PU, Disdik, Kepolisian, Organda, operator eksisting, swasta dan media untuk memastikan keberlangsungan program BTS khususnya dalam penerapan kebijakan push and pull dan penyediaan infrastruktur pendukung BTS,” tutupnya.*
Laporan Merinda Faradianti