Kontradiksi Jokowi

Jokowi angkat suara soal dugaan korupsi DJKA
Presiden Joko Widodo.

FORUM KEADILAN – Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengajak rakyat Indonesia menolak politisasi identitas. Jokowi mendorong rakyat menyambut Pemilu 2024 dengan kedewasaan dan suka cita.

“Saudara-saudara sebangsa, se-Tanah Air. Toleransi, persatuan dan gotong royong adalah kunci membangun bangsa yang kokoh. Oleh sebab itu, saya mengajak kita semuanya untuk menolak ekstremisme, menolak politisasi identitas, menolak politisasi agama,” kata Jokowi pada pidato peringatan Hari Lahir Pancasila, 1/6/2023 di Monumen Nasional (Monas), Jakarta kemarin.

Bacaan Lainnya

Ajakan Jokowi tersebut memantik reaksi yang menganggap mantan Walikota Solo itu tak konsisten dan kontradiktif dengan sepak terjangnya sendiri dalam konteks kedewasaan berpolitik dan membangun persatuan bangsa.

Manuver Jokowi yang oleh banyak pihak dianggap terlalu cawe-cawe berpolitik praktis terkait pemilihan presiden 2024, dinilai bertolak dengan pidato ajakan kepada masyarakat untuk menghindari politik identitas pada pilpres mendatang.

Cawe-cawe Jokowi sesungguhnya dijustifikasi oleh dua pembantunya di kabinet, Zulkifli Hasan dan Airlangga Hartarto, yang notabene adalah Ketua Umum Partai Amanat Nasional dan Golkar.

Batasan ketatanegaraan antara presiden dan pembantunya yang kebetulan menjabat sebagai ketua umum partai, dengan politik praktis di luar kabinet tampak begitu bias.

Pengamat Politik dari Universitas Al Azhar Indonesia, Ujang Komarudin menyebut manuver Jokowi sebagai sesuatu yang sangat berbahaya.

“Kalau dia sebagai warga negara, dia berhak mendukung siapapun. Tetapi dalam konteks dia sebagai presiden, ini yang dikhawatirkan. Alasannya, dia sebagai presiden ini punya kekuatan, punya power untuk mempengaruhi hasil pemilu dan bisa mengondisikan persoalan pemenangan,” ungkap Ujang ketika dihubungi oleh Forum Keadilan pada Jumat, 2/6/2023.

Ujang menyoroti sikap presiden yang bisa menggunakan struktur maupun infrastruktur negara untuk kepentingan politiknya.

“Nah, kalau itu yang dilakukan, itu kan bagian abuse of power atau penyalahgunaan wewenang. Itu yang tidak diharapkan,” tambahnya.

Selain politik identitas yang selama ini digaungkan oleh Jokowi, Ujang juga menyoroti cawe-cawe yang kerap dilakukan oleh pimpinan negara tersebut.

Ujang memaparkan jika cawe-cawe ala Jokowi bisa menjadi persoalan jika menggunakan perangkat negara.

Efek jangka panjang yang bisa terjadi jika hal ini tetap dilakukan adalah bisa melukai hati pihak yang kalah di pemilu bahkan juga membuka kemungkinan adanya tudingan kecurangan dalam pesta demokrasi tersebut.

“Dia akan melukai hati yang kalah (pemilu) karena yang kalah nanti bisa menduga dicurangi, dikadali oleh cawe-cawe yang dilakukan oleh presiden. Sebaiknya Jokowi menjadi seorang yang negarawan,” tutup Direktur Eksekutif Indonesia Political Review tersebut.

Juru Bicara Partai Demokrat, Herzaky Mahendra Putra memandang isu politik identitas yang dikumandangkan Jokowi ibarat tak bercermin dengan masa lalu.

“Lebih baik Jokowi fokus untuk menyejahterakan masyarakat,” kata Herzaki kepada Forum Keadilan.

“Kalau Pak Jokowi menyatakan dewasa tanpa politik identitas itu belajar dari pengalamannya sebelumnya,” ungkapnya.

Herzaky menyinggung pengalaman pemilu 2019 lalu saat ada dua kelompok yang melabeli ekstrim kanan dan kelompok yang ingin mendirikan negara Islam. Herzaky menilai apa yang disampaikan oleh Jokowi seakan ingin memberi tahu agar jangan mengulangi kesalahannya di masa lalu.

“Mungkin dia berkaca dari pengalamannya dulu. Jangan tiru-tiru pendukung saya yang lama. Mungkin begitu,” sindir Herzaky.*(Tim Forum Keadilan)