Kamis, 02 Oktober 2025
Menu

Aria Bima Kritik Wartawan: Jangan Bangun Kemunafikan, Bahas Demokrasi Harus Pakai Data

Redaksi
Wakil Ketua Komisi II DPR RI Fraksi PDI Perjuangan Aria Bima, di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis, 2/10/2025 | Novia Suhari/Forum Keadilan
Wakil Ketua Komisi II DPR RI Fraksi PDI Perjuangan Aria Bima, di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis, 2/10/2025 | Novia Suhari/Forum Keadilan
Bagikan:

FORUM KEADILAN – Wakil Ketua Komisi II DPR RI Fraksi PDI Perjuangan Aria Bima menyampaikan kritik keras terhadap wartawan yang dinilainya sering membangun opini miring mengenai DPR tanpa data yang jelas. Ia menilai, pemberitaan yang hanya menyoroti sisi negatif anggota dewan justru melahirkan kemunafikan yang dilembagakan.

“Nah wartawan, munafik-kan? Karena wartawan hanya pengen dapat berita jelek DPR sebagai trending-nya. Kemunafikan-kemunafikan ini juga dilembagakan di dalam wartawan-wartawan,” katanya, di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis, 2/10/2025.

Menurutnya, pertanyaan seputar biaya atau anggaran yang dilontarkan wartawan sering kali tidak didasarkan pada analisis kritis maupun data yang akurat, melainkan sekadar memanaskan suasana.

“Bukan kritis. Kritis boleh. Tetapi kritis harus punya data. Saya kritis, konstruktif, argumentatif. Argumentatif dengan data. Biaya DPR berapa, biaya demokrasi berapa. Kalau enggak tau, tanya Perludem,” tegasnya.

Aria juga menyoroti beban pengeluaran yang harus ditanggung anggota DPR baru, termasuk soal kebutuhan rumah dinas. Ia menilai, kurangnya transparansi menyeluruh dari hulu ke hilir justru menimbulkan kesan sepotong-sepotong dan merugikan.

“Kasihan anggota DPR yang baru-baru. Buat sewa rumah dua tahun sampai 400 juta, sekarang ditutup. Kalau saya punya rumah. Yang dari Papua itu lama-lama tidak punya rumah. Jadi, saya setuju ada kritik terhadap transparansi, tapi harus benar-benar transparan, jangan sepotong-sepotong,” ungkapnya.

Lebih lanjut, ia menegaskan bahwa masalah pembiayaan demokrasi di Indonesia perlu dilihat secara utuh. Menurutnya, publik sering hanya menyoroti pemasukan anggota DPR, tanpa melihat besarnya pengeluaran dalam menjalankan tugas politik.

“Akhirnya partai politik dicacimaki, DPR dicacimaki, gubernur, bupati dibakar. Padahal itu dibiayai pengusaha, penambang.  Ini yang saya maksud, kalau kesulitan ya difotokopi aja demokrasi di Amerika, di Eropa. Di sana anggota parlemen nggak pegang duit, tapi aspirasi masyarakat tetap ditanggung,” katanya.

Aria juga mengkritisi sistem pemilu di Indonesia yang masih sarat dengan politik uang. Menurutnya, mekanisme coblos nama justru membuat banyak pengusaha yang lebih berpeluang lolos ke parlemen dibanding aktivis atau kader politik murni.

“Mana ada seorang aktivis jadi DPR? Ini pengusaha semua. Pada 2004, saya jadi anggota DPR pertama bersaing dengan yang punya (uang), enggak jadi,” pungkasnya.*

Laporan oleh: Novia Suhari