Kemana Larinya Uang Rp20 Miliar dari Rp60 Miliar Suap dalam Kasus Vonis Lepas Migor?

FORUM KEADILAN – Suasana sidang perkara vonis lepas kasus ekspor crude palm oil (CPO) alias minyak goreng (migor) memanas ketika ada perdebatan soal adanya selisih uang suap Rp20 miliar dari total Rp60 miliar yang awalnya diperuntukkan untuk menyuap hakim dalam memberikan vonis lepas (ontslag) di perkara tersebut.
Dalam persidangan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Ariyanto Bakri yang hadir sebagai saksi sekaligus tersangka serta kuasa hukum dari tiga perusahaan terdakwa kasus minyak goreng, menegaskan bahwa dirinya menyerahkan uang sebesar Rp60 miliar, bukan Rp40 miliar, kepada Panitera Muda Perdata Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Utara Wahyu Gunawan dan mantan Ketua PN Jakarta Selatan Muhammad Arif Nuryanta.
Namun, fakta dalam dakwaan dan pengakuan terdakwa menyebut mereka hanya menerima Rp40 miliar untuk memastikan vonis lepas terhadap perkara ekspor CPO tersebut.
Padahal, penyidikan Kejaksaan Agung (Kejagung) sejak awal mengungkap adanya suap Rp60 miliar dalam kasus ekspor CPO yang juga diakui oleh Ariyanto Bakri sebagai pemberi. Adapun pemberian uang tersebut terbagi dalam dua tahap, yakni pada tahap pertama sebesar US$500.000 atau sebesar Rp8 miliar yang diperuntukkan untuk ‘membaca berkas’.
Pada tahap pertama, eks Ketua PN Jakarta Pusat Muhammad Arif Nuryanta menerima sebanyak Rp3,3 miliar, sedangkan Wahyu Gunawan sebagai perantara mendapat Rp800 juta, Djuyamto selaku ketua majelis mendapat Rp1,7 miliar. Sedangkan dua hakim anggota lain yakni Agam Syarief Baharudin dan Ali Muhtarom menerima Rp1,1 miliar.
Sedangkan pada tahap kedua, mereka menerima sebanyak Rp32 miliar atau US$2 juta yang diperuntukkan untuk memberikan vonis lepas kepada tiga terdakwa Korporasi. Di tahap ini, Arif menerima Rp12,4 miliar dan Wahyu menerima Rp1,6 miliar. Sedangkan Djuyamto memperoleh sebanyak Rp7,8 miliar dan dua hakim anggota lain mendapat Rp5,1 miliar.
Adapun total yang didapatkan para terdakwa melalui suap vonis lepas ini ialah, Arif menerima sebanyak Rp15,7 miliar; Wahyu mendapat Rp2,4 miliar; Djuyamto mendapat Rp9,5 miliar; dan dua hakim anggota lain masing-masing mendapat total Rp6,2 miliar.
Selama persidangan yang dipimpin oleh Ketua Majelis Effendi dan ditemani dua anggota hakim lain yaitu Adek Nurhadi dan Andi Saputra, Ariyanto yang dihadirkan sebagai saksi menegaskan bahwa dirinya telah memberikan uang Rp60 miliar kepada Wahyu untuk memuluskan perkara minyak goreng agar dapat diputus ontslag. Hal itu juga sesuai dengan Berita Acara Pemeriksaan (BAP) yang dibacakan oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU).
Meskipun demikian, pernyataan Ari belum membuktikan bahwa Rp60 miliar tersebut benar-benar diserahkan secara penuh. Dalam dakwaan maupun keterangan Wahyu, disebutkan bahwa uang yang diterima hanya Rp40 miliar. Bahkan, Wahyu menilai, Ariyanto melakukan ‘wanprestasi’ karena tidak menyalurkan seluruh dana itu sebagaimana dikatakan Arif.
“Oh itu (keterangan) Wahyu, bukan saya. Itu hak dia untuk mengatakan hanya Rp40 (miliar) hanya Rp30 miliar, hanya Rp5 miliar, itu hak dia. Tapi kalau dari saya pemberian murni Rp60 miliar sesuai dengan yang pertama dia minta dan saya kabulkan, kalau enggak kita polin (penuhi),” katanya dalam ruang sidang di Pengadilan Tipikor Jakarta, Rabu, 27/8/2025.
Salah satu majelis hakim, Andi Saputra, juga mempertanyakan jumlah valuta asing yang terdapat dalam koper kecil dan koper besar yang diserahkan Ari kepada Wahyu. Namun, Ari mengaku tidak mengetahui secara pasti nominalnya.
Kendati demikian, ia mengatakan 100 persen yakin bahwa kliennya tidak mungkin membohongi dirinya. Apalagi, kliennya yang berada di Singapura juga telah memberikan sinyal hijau atas pemberian uang suap Rp60 miliar.
“Mungkin bagi saya (uang) itu besar, tapi bagi klien saya itu uang kecil. Jadi tidak mungkin uang itu meleset dari Rp60 miliar. Karena dalam perjalanan kurun waktu, apa yang mereka ucapkan dengan kalimat ontslag, itu terbukti ontslag,” tegasnya.
Ia melanjutkan, jika ada permintaan yang belum dipenuhi, Arif sebagai Wakil Ketua PN bisa saja menghentikan atau mengarahkan agar pembacaan dakwaan ditunda. Ia mencontohkan, Wahyu bisa saja menyampaikan kepada atasannya bahwa masih ada kewajiban yang belum diselesaikan sehingga putusan dapat berbeda.
Namun, Ariyanto menegaskan, dirinya telah melunasi seluruh kewajiban sebagaimana diminta Wahyu, yakni dengan pola pembayaran ‘20 (miliar)x3’. Ia juga menyatakan tidak pernah mendapat keluhan hingga putusan perkara tersebut dibacakan.
Di sisi lain, Wahyu yang menerima uang tersebut merasa keberatan dengan kesaksian dari Ariyanto. Pasalnya, uang yang diterimanya dan ia hitung tidak mencapai Rp60 miliar, melainkan hanya US$2.000.000.
Selain itu, ia juga membongkar di mana Ariyanto pernah memintanya untuk menyamakan keterangan di persidangan terkait uang yang diterima dirinya sebesar Rp60 miliar.
“Apa motivasi saudara saksi? apa maksud dan tujuan saudara saksi menyampaikan seperti itu?” tanya Wahyu kepada Ariyanto.
Mendengar adanya fakta baru, Ketua Majelis Hakim Effendi lantas memastikan fakta tersebut yang dibenarkan oleh Ariyanto.
Suami Marcella Santoso itu menjelaskan bahwa terdapat bisikan kepada dirinya dari para hakim yang berada dalam satu sel yang sama di sel 7A Korps Adhyaksa.
Adapun hakim-hakim yang dimaksud ialah Djuyamto, Ali Muhtarom dan Agam Syarief Baharudin yang saat itu menjadi majelis hakim terhadap tiga terdakwa Korporasi minyak goreng, yakni Wilmar Group, Permata Hijau Group, dan Musim Mas Group.
Ariyanto menjelaskan bahwa terdapat obrolan di mana dirinya harus bertarung di pengadilan dengan Wahyu. Ia lantas menanyakan alasannya, padahal selama ini dirinya telah mengklaim baik kepada Wahyu, namun Wahyu hanya mengakui dirinya mendapat Rp40 miliar saja.
“Dia tidak mengakui kalau menerima Rp60 miliar, melainkan hanya Rp40 miliar, dan uang itu sudah dibagi-bagi. MAN sekian, saya sekian, Ali sekian, Agam sekian, Djuyamto sekian. Saya sangat kaget kalau dia bisa mengatakan uang itu hanya Rp40 miliar. Saya punya seribu bukti bahwa dia menerima Rp60 miliar, bukan Rp40 miliar,” tegasnya.
Temuan Rp 16M di Brankas Kantor Ariyanto
Selain menghadirkan Ariyanto Bakri, JPU juga menghadirkan tiga orang saksi dari kantor firma hukum dari Ariyanto Arnaldo Law Firm (AALF), yakni Indah Kusumawati selaku Bussines Support AALF, Titin Indah Lestari (Staf Keuangan AALF), dan Wiwit Nur Maftucho selaku Admin Finance AALF.
Dalam persidangan, jaksa memperlihatkan foto tumpukan uang pecahan dolar yang tersimpan dalam sebuah brankas di kantor AALF, yang disebut mencapai lebih dari Rp16 miliar kepada Indah Kusumawati. Foto itu diambil oleh salah satu staf bernama Wiwit pada 5 Agustus 2024.
Menanggapi hal tersebut, Indah mengaku bahwa dirinya tidak mengetahui soal kronologi tersebut, namun ia memastikan bahwa uang Rp16 miliar yang berada dalam brankas kantor AALF tersebut milik Ariyanto Bakri.
“Saat penyidikan saya memberikan jawaban bahwa uang tersebut adalah uang Pak Ariyanto yang dititipkan di kantor, kemudian saya antar ke rumah beliau lagi uangnya,” katanya.
Dirinya mengaku tidak mengetahui secara pasti berapa lama uang tersebut disimpan di brankas. Namun, berdasarkan keterangan penyidik, uang itu hanya sempat ada sore hari, lalu keesokan paginya sudah tidak ditemukan lagi. Ia mengatakan, brankas sendiri berada dalam penguasaan staf keuangan, yakni Titin dan Wiwit.
Ketika jaksa menanyakan asal-usul uang, Indah menjawab bahwa Ariyanto yang membawa uang tersebut, lalu dititipkan ke tim finance. Pada malam harinya, dia mengantarkan uang tersebut ke rumah Ari.
Jaksa juga menanyakan apakah Indah pernah mendengar adanya penerimaan uang Rp60 miliar dari klien Ariyanto di Singapura pada Agustus 2024. Namun, ia menegaskan tidak pernah mengetahui hal tersebut.
Indah memastikan bahwa uang Rp16 miliar yang sempat disimpan di brankas itu bukan uang operasional perusahaan.
“Betul, itu tidak ada kaitannya dengan operasional kantor,” katanya.
Pernyataan Indah berbeda dengan kesaksian Ariyanto yang diperiksa secara terpisah dari tiga saksi lainnya. Ia membantah dan tidak tahu menahu akan uang yang berada dalam brankas tersebut.
“Saya tidak pernah tahu uang itu, Pak. Setahu saya, kalau di brankas atau foto itu Pak, mungkin lebih atau kurang itu sudah terjadi sejak pertama kali saya mendirikan firma ini, klien membayar itu biasa,” dalihnya.
Jaksa lantas memastikan uang apa yang berada dalam brankas tersebut ke Ariyanto. Namun, dirinya mengklaim bahwa uang tersebut merupakan uang operasional kantor ataupun success fee kantor firma hukumnya.
Respons Kejagung
Dihubungi terpisah, Direktur Penuntutan Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Kejagung Sutikno tidak ambil pusing atas adanya perbedaan pengakuan antara Ariyanto Bakri dengan Wahyu Gunawan dan Arif Nuryanta. Menurutnya, hal tersebut bukan menjadi masalah, karena yang terpenting para pihak telah mengakui adanya uang suap tersebut.
“Enggak jadi masalah, yang penting dia betul terima duit, duit itu diserahkan kepada Arif, digunakan untuk meng- ontslagkan perkara kan, dibagi kepada hakim-hakimnya, yang penting kan itu,” katanya saat dihubungi Forum Keadilan, Rabu, 27/8, malam.
Ia juga tidak terlalu mempermasalahkan adanya selisih uang Rp20 miliar yang tidak tahu saat ini berada di tangan siapa.
“Betul uang itu diserahkan kepada Arif. Betul oleh Arif dibagi, apakah Arif yang bohong, dia sembunyikan kepada hakim-hakim, dia enggak ngaku kalau diberikan Rp60 miliar, ataukah Ariyanto yang terima dari sana, Rp60 miliar dia ngakunya, dipotong duitnya, tapi dia enggak ngaku, kondisinya kan seperti itu,” tambahnya.
Saat ditanyai adanya bukti uang Rp16 miliar dalam brankas milik kantor hukum Ariyanto, ia menduga kalau uang tersebut merupakan sisa dari Rp20 miliar yang belum diketahui berada di siapa.
Oleh karena itu, Kejagung menyita uang yang berada dalam brankas kantor Ariyanto sebagai barang bukti.
“Berarti sebenarnya kan mengamankan duit itu tujuannya adalah untuk membuktikan (Ariyanto) itu harus buktikan ini duit apa,” katanya.
Ia pun menambahkan bahwa selama rekonstruksi perkara di Kejagung, para pihak menaruh rasa curiga soal adanya selisih dana.
“Mereka saling pelototan (soal) duit pada enggak percaya. Yang makan duit siapa sisanya? Sudah ditangkap pun masih ribut masalah jumlahnya,” katanya.*
Laporan oleh: Syahrul Baihaqi