Kamis, 21 Agustus 2025
Menu

Sahroni Sebut Tunjangan Rumah Rp50 Juta Lebih Hemat daripada Rumah Dinas

Redaksi
Wakil Ketua Komisi III DPR RI dari Fraksi Partai NasDem Ahmad Sahroni, di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu, 20/8/2025 | Novia Suhari/Forum Keadilan
Wakil Ketua Komisi III DPR RI dari Fraksi Partai NasDem Ahmad Sahroni, di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu, 20/8/2025 | Novia Suhari/Forum Keadilan
Bagikan:

FORUM KEADILAN – Wakil Ketua Komisi III DPR RI dari Fraksi Partai NasDem Ahmad Sahroni angkat bicara soal polemik tunjangan rumah bagi anggota DPR yang disebut-sebut mencapai Rp50 juta. Ia menegaskan bahwa tunjangan tersebut justru lebih efisien dibandingkan memberikan fasilitas rumah dinas kepada kurang lebih 580 anggota dewan.

Menurut Sahroni, biaya perawatan rumah jabatan jauh lebih besar dibandingkan tunjangan tunai. Mulai dari perbaikan engsel, AC, hingga perlengkapan rumah tangga lainnya, semua memerlukan biaya tambahan yang tak sedikit setiap tahunnya.

“Kalau rumah, biayanya bisa sepuluh kali lipat dari tunjangan. Karena biaya perawatan itu tak terhingga. Makanya lebih baik tunai, agar tidak membebani negara,” katanya, di Komplek Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu, 20/8/2025.

Ia mencontohkan, selama menjadi legislator, dirinya tidak pernah menempati rumah jabatan DPR.

“Kalau tiap tahun ada kerusakan dan harus diperbaiki negara, anggarannya bisa bengkak. Jadi lebih ringan kalau dikasih tunjangan tunai,” ujarnya.

Lebih lanjut, ia menjelaskan bahwa seluruh rumah dinas anggota DPR sudah dikembalikan ke negara. Dengan adanya tunjangan Rp50 juta, para anggota dewan bisa memilih menyewa atau mengatur tempat tinggal sesuai kebutuhan pribadi.

“Itu bagian dari fasilitas, bukan semata-mata gaya hidup,” sambung Sahroni.

Menanggapi kritik publik yang menilai tunjangan tersebut tidak menunjukkan empati di tengah kondisi ekonomi sulit, Sahroni menegaskan bahwa persepsi itu tidak sepenuhnya benar. Menurutnya, banyak anggota DPR yang tetap menjalankan fungsi sosial dengan membantu masyarakat di daerah pemilihan masing-masing.

“Kalau dibilang gak ada empati, itu salah. Hampir semua anggota DPR punya kepedulian, hanya saja tidak semuanya diumbar ke publik. Misalnya saya, tiap hari, tiap bulan ada saja kegiatan membantu warga di dapil. Tapi kan gak perlu semua dipamerkan,” tegasnya.

Sahroni menilai, publik kerap salah kaprah melihat besaran tunjangan DPR. Menurutnya yang dilihat hanyalah angka besar tanpa memahami konteks kebutuhan fasilitas jabatan publik.

“Publik kita ini sering senang melihat orang susah, tapi tidak senang melihat orang senang. Padahal uang yang diterima anggota DPR itu juga kembali lagi ke masyarakat melalui kegiatan sosial,” tegasnya.

Ia menambahkan, sebagai pejabat publik, anggota DPR tidak bisa dilepaskan dari tugas dan tanggung jawab terhadap masyarakat. Oleh karena itu, kata Sahroni, jangan semata-mata menilai dari angka tunjangan yang fantastis.

“Intinya, tangan kanan memberi, tangan kiri disembunyikan. Kita semua, 580 anggota DPR, punya caranya masing-masing untuk menunjukkan empati,” tutupnya.*

Laporan oleh: Novia Suhari