Eks Ketua PN Jaksel Cs, Didakwa Terima Uang Rp40 M di Kasus Vonis Lepas Migor

Jaksa Penuntut Umum pada Kejaksaan Agung (JPU Kejagung) menyebut bahwa Arif bersama dengan tiga majelis hakim yang mengadili perkara tersebut yakni Djuyamto, Agam Syarief Baharudin dan Ali Muhtarom beserta dengan Panitera Muda Perdata PN Jakarta Utara, Wahyu Gunawan telah menerima gratifikasi berupa uang tunai dalam bentuk USD sebanyak USD 2,500,000 atau Rp40 miliar.
“Yang menerima hadiah atau janji, berupa uang tunai dalam bentuk mata uang Dollar Amerika sejumlah USD2,500,000 atau senilai Rp40 miliar,” kata Jaksa di Pengadilan Tipikor Jakarta, Rabu, 20/8/2025.
Adapun uang tersebut diberikan secara dua tahap, yakni pada tahap pertama sebesar USD500,000 atau sebesar Rp8 miliar yang diperuntukkan untuk “membaca berkas” di mana Arif menerima sebanyak Rp3,3 miliar.
Sedangkan Wahyu sebagai perantara mendapat Rp800 juta, Djuyamto selaku ketua Majelis mendapat Rp1,7 miliar. Sedangkan dua hakim anggota lain yakni Agam dan Ali Muhtarom menerima Rp1,1 miliar.
Sedangkan pada tahap kedua, mereka menerima sebanyak Rp32 miliar atau USD2 juta yang diperuntukkan untuk memberikan vonis lepas kepada 3 terdakwa Korporasi. Di tahap ini, Arif menerima Rp12,4 miliar dan Wahyu menerima Rp1,6 miliar. Sedangkan Djuyamto memperoleh sebanyak Rp7,8 miliar dan 2 hakim anggota lain mendapat Rp5,1 miliar.
Adapun total yang didapatkan para terdakwa melalui suap vonis lepas ini ialah, Arief menerima sebanyak Rp15,7 miliar; Wahyu mendapat Rp2,4 miliar; Djuyamto mendapat Rp9,5 miliar; dan dua hakim anggota lain masing-masing mendapat total Rp6,2 miliar.
Jaksa menyebut bahwa uang sebanyak Rp40 miliar tersebut diterima dari kuasa hukum terdakwa Korporasi, yakni Ariyanto, Marcella Santoso, Junaedi Sabih dan M Syafe’i yang mewakili kepentingan Wilmar Group, Permata Hijau Group dan Musim Mas Group.
“Padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan untuk mempengaruhi putusan perkara yang diserahkan kepadanya untuk diadili,” kata Jaksa.
Untuk diketahui, tiga korporasi besar yakni PT Wilmar Group, PT Permata Hijau Group, dan PT Musim Mas Group pernah dituntut membayar uang pengganti sebesar Rp17.708.848.928.104 (Rp17,7 triliun) di kasus persetujuan ekspor CPO atau minyak goreng.
Ketiga terdakwa korporasi dituntut membayar denda dan uang pengganti yang berbeda-beda. PT Wilmar Group dituntut membayar uang pengganti sebesar Rp11.880.351.802.619 atau (Rp11,8 triliun), Permata Hijau Group dituntut membayar uang pengganti Rp937.558.181.691,26 atau (Rp937,5 miliar), dan Musim Mas Group dituntut membayar uang pengganti Rp4.890.938.943.794,1 atau (Rp4,8 triliun).
Namun, dalam putusannya, Majelis Hakim Pengadilan Tipikor yang mengadili perkara tersebut menjatuhkan putusan lepas atau onslaught.
Lebih lanjut, Jaksa membeberkan bahwa Ariyanto selaku kuasa hukum berulang kali menghubungi dan menemui Wahyu untuk menanyakan perihal komposisi majelis hakim pada perkara ekspor minyak goreng. Wahyu selanjutnya menyebut bahwa Arif selaku Eks Wakil Ketua PN Jakpus telah menentukan tiga komposisi hakim tersebut.
Setelahnya, Ariyanto kembali menemui Wahyu agar dipertemukan dengan Eks Ketua PN Jaksel. Wahyu lantas mengiyakan dan menghubungi Arief soal rencana pertemuan dengan Ariyanto di Restoran Layar Kelapa Gading, Jakarta Timur pada Bulan Mei 2024.
Pada pertemuan tersebut, Ariyanto meminta Arif untuk “menitipkan” perkara korporasi migor agar bisa dibantu secara maksimal. Namun, saat itu Arief belum mengiyakan.
“Saya belum bisa memberikan kabar apapun sebelum Majelis hakim bermusyawarah,” kata Arif.
Tiga hari kemudian, Ariyanto mendatangi kediaman Wahyu untuk memberikan uang tunai pecahan 100USD sebanyak USD500,000 atau setara Rp8 miliar dalam tas berwarna hitam.
“Sampaikan kepada Muhammad Arif Nuryanta terkait perkara korporasi Migor ini uang untuk dibantu terkait perkara korporasi migor,” kata Ariyanto.
Setelah mendapat uang tersebut, Wahyu lantas menyerahkannya kepada Arif di Apartemen Mediterania Kemayoran. Ia memasukkan tas berisi uang Rp8 miliar ke dalam mobil milik Arif sembari mengatakan bahwa uang tersebut merupakan titipan dari Ariyanto untuk mengawal perkara korporasi migor. Di keesokan harinya, Wahyu diberikan uang atas jasanya sebesar Rp800 juta.
Jaksa lantas melanjutkan bahwa saat persidangan korporasi migor berjalan, Arif memanggil Djuyamto dan Agam Syarief ke ruang kerja Wakil Ketua PN Jakpus. Di situ, ia memberikan goodie bag berisi uang untuk membaca berkas perkara tersebut.
“Sudah bawa saja, uang ini untuk Majelis Hakim yang menangani perkara korporasi minyak goreng,” kata Arif.
Setelah uang “baca berkas perkara” diberikan kepada 3 majelis hakim, Djuyamto selaku ketua Majelis meminta kedua anggotanya untuk mempelajari dan menjadikan Putusan Tata Usaha Negara mengenai pembatalan Surat Keputusan Dirjen Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan, perkara perdata mengenai gugatan Korporasi ke Kementerian Perdagangan dan Rekomendasi Ombudsman mengenai Surat Keputusan Dirjen Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan yang disebut maladministrasi sebagai pertimbangan dalam putusan.
Pada 18 Juli 2024, kata Jaksa, Arif dan Wahyu kembali bertemu dengan Ariyanto pada Restoran yang sama di kawasan Kelapa Gading. Awalnya, Ariyanto mengatakan akan memberikan Rp20 miliar untuk satu paket perkara. Namun, Arief menolaknya.
“Gimana mungkin saya membagi dengan Majelis, kalau 3 juta dollar (USD) saya oke,” kata Arief.
Pada akhirnya, ketua pengacara yang menjadi tersangka tersebut menyiapkan uang sebesar Rp60 miliar atau sebesar USD 2 juta kepada Wahyu. Setelahnya, ia memberikan koper berisi uang tersebut kepada supir dari Arif, yakni Emanuel Indradi.
Setelahnya Arif dan Wahyu bertemu di perkiraan Kedai Kopi di kawasan Sunter untuk memastikan apakah uang tersebut sudah diterima. Arief mengiyakan, namun ia menyebut bahwa rekannya (Ariyanto) “wanprestasi” Karena tidak memberikan uang USD 3 juta sebagaimana kesepakatan.
Arif setelahnya memanggil tiga majelis hakim yang mengadili perkara tersebut dan mengatakan bahwa uang titipan dari tim hukum korporasi telah ia pegang. Usai agenda pembuktian, Arif menanyakan proses perkembangan kasus tersebut, dan Djuyamto mengatakan bahwa Majelis sepakat untuk memutus perkara minyak goreng dengan putusan onslag (vonis lepas) sebagaimana diminta oleh terdakwa Korporasi.
“Saat itu terdakwa Muhammad Arif Nuryanta menanyakan perkembangan proses pembuktian lalu Djuyamto menyampaikan Majelis Hakim telah sepakat untuk memutus perkara tindak pidana korupsi korporasi minyak goreng akan diputus onslag,” kata Jaksa.
Atas perbuatannya, Arif dijerat dengan Pasal 12 huruf c subsider Pasal 6 ayat 2 atau Pasal 12 huruf a subsider Pasal 12 huruf b atau Pasal 5 ayat 2 subsider Pasal 11 atau Pasal 12 huruf B juncto Pasal 18 UU Tipikor juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.*
Laporan oleh: Syahrul Baihaqi