Sabtu, 05 Juli 2025
Menu

Simalakama! K3 MPR Nilai Putusan MK soal Pemisahan Pemilu Problematik

Redaksi
Ketua Komisi Kajian Ketatanegaraan (K3) MPR RI sekaligus Politisi Partai NasDem, Taufik Basari (Tobas), usai Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) dengan Komisi III DPR RI di Kompleks Parlemen, Senayan, Jumat, 4/7/2025 | Novia Suhari/Forum Keadilan
Ketua Komisi Kajian Ketatanegaraan (K3) MPR RI sekaligus Politisi Partai NasDem, Taufik Basari (Tobas), usai Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) dengan Komisi III DPR RI di Kompleks Parlemen, Senayan, Jumat, 4/7/2025 | Novia Suhari/Forum Keadilan
Bagikan:

FORUM KEADILAN – Ketua Komisi Kajian Ketatanegaraan (K3) MPR RI sekaligus Politisi Partai NasDem, Taufik Basari (Tobas) menilai putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang memisahkan pemilu nasional dan daerah sebagai keputusan problematis yang berpotensi memicu krisis konstitusional hingga deadlock.

“Keputusan MK sejatinya harus dilaksanakan. Tetapi jika dilaksanakan, justru berpotensi melanggar konstitusi. Sebaliknya, jika tidak dilaksanakan, juga melanggar konstitusi,” katanya usai Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) dengan Komisi III DPR RI di Kompleks Parlemen, Senayan, Jumat, 4/7/2025.

Ia menjelaskan, keputusan MK memisahkan pemilu nasional dan pemilu daerah, dan akan membuat pemilihan anggota DPRD dan kepala daerah akan dilakukan dua hingga dua setengah tahun setelah pelantikan anggota DPR, DPD, atau presiden/wakil presiden itu jelas-jelas bertentangan dengan Pasal 22E ayat 1 UUD 1945 yang memerintahkan pemilu dilaksanakan satu kali dalam lima tahun.

“Dengan pemisahan ini, bentang waktu dua sampai dua setengah tahun membuat masa tugas anggota DPRD setelah lima tahun selesai tidak diikuti dengan pemilu sebagaimana diperintahkan konstitusi. Ini jelas pelanggaran konstitusi,” tegasnya.

Tobas menambahkan, jika keputusan MK tidak dilaksanakan, itu juga melanggar Pasal 24C yang menyebutkan putusan MK bersifat final dan mengikat.

Selain itu juga, ada persoalan terkait keanggotaan DPRD selama masa perpanjangan ini. Menurut Tobas, jika pemilu untuk DPRD ditunda, maka ada dua opsi yang sama-sama bermasalah. Pertama memperpanjang masa jabatan anggota DPRD atau kedua membiarkan DPRD kosong.

“Kalau anggota DPRD diperpanjang, maka mereka tidak memiliki legitimasi demokratis karena tidak melalui proses pemilu, padahal Pasal 18 ayat 3 menegaskan anggota DPRD harus dipilih melalui pemilu. Tidak ada jalur lain,” jelasnya.

Sementara jika DPRD dikosongkan selama dua tahun hingga dua setengah tahun, kata Tobas, hal itu juga melanggar Pasal 18 ayat 3 yang mewajibkan keberadaan DPRD sebagai unsur pemerintah daerah.

“Kalau hanya kepala daerah tanpa DPRD, itu juga melanggar konstitusi,” sambungnya.

Oleh karena itu, Tobas menyarankan perlunya dialog, konsultasi, dan diskusi lintas pihak untuk mencari solusi atas polemik ini.

“Patokan kita adalah bagaimana melaksanakan konstitusi dengan benar. Itu yang utama,” pungkasnya.*

Laporan oleh: Novia Suhari