KontraS Soroti Sederet Pelanggaran Polri di HUT Bhayangkara ke-79

FORUM KEADILAN – Komisi untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (KontraS) mencatat sederet pelanggaran oleh Polri sepanjang Juli 2024 hingga Juni 2025 bertepatan dengan HUT Bhayangkara ke-79. Di antaranya, 44 kasus salah tangkap, 89 pelanggaran kebebasan sipil, serta 42 pembubaran paksa aksi unjuk rasa di berbagai wilayah Indonesia.
Hal itu tertuang dalam laporan kertas kebijakan yang baru diluncurkan KontraS bertajuk ‘Hari Bhayangkara 2025: Kekerasan yang Menjulang di Tengah Penegakan Hukum yang Timpang’.
Wakil Koordinator Bidang Eksternal KontraS Andrie Yunus menyampaikan bahwa dalam periode satu tahun terakhir, institusi Polri masih kerap melakukan pelanggaran HAM.
“Pada periode Juli 2024-Juni 2025, KontraS juga mencatat 44 peristiwa salah tangkap yang menyebabkan 35 orang terluka dan 8 orang meninggal dunia,” katanya saat peluncuran kertas kebijakan di Kantor KontraS, Jakarta, Senin, 30/6/2025.
Sedangkan dalam hal kebebasan silil, kata dia, KontraS mencatat 89 pelanggaran berupa 42 kasus pembubaran paksa aksi unjuk rasa. Aksi-aksi tersebut terjadi di berbagai daerah dan melibatkan total 1.020 orang sebagai korban.
Adapun para korban mayoritas adalah mahasiswa, jurnalis, petani, siswa, paramedis, masyarakat sipil, hingga aktivis.
“Tak hanya itu, pembela HAM juga mengalami kerentanan serupa. Ada 62 peristiwa penangkapan terhadap aktivis, bahkan 5 di antaranya mengalami luka-luka,” ujar Andrie.
KontraS juga menyoroti praktik penegakan hukum yang timpang, seperti penundaan penanganan kasus secara berlarut (undue delay) dan kriminalisasi terhadap partisipasi publik. Kekerasan dinilai masih rentan terjadi di berbagai lini, sementara upaya penegakan hukum sering kali terlihat abai.
KontraS mendesak agar Polri melakukan evaluasi mendalam atas rangkaian peristiwa yang terjadi selama setahun terakhir .
“Berbagai peristiwa tersebut menunjukkan bahwa sudah saatnya Polri berbenah dan melakukan evaluasi. Penegakan hukum, keamanan dan ketertiban seharusnya tidak dilakukan dengan melanggar hak warga negara,” katanya.
Evaluasi itu, kata dia, harus mencakup pengetatan mekanisme pengawasan serta pemberian sanksi baik etik maupun pidana terhadap anggota Polri yang terbukti melakukan kekerasan secara eksesif dan pelanggaran HAM.
Selain itu, KontraS juga menilai bahwa arah perumusan kebijakan dan regulasi di sektor hukum pidana juga harus memperhitungkan fakta-fakta tersebut.
“Pemerintah harus dengan serius mengkaji berbagai wewenang Kepolisian yang menjadi faktor terjadinya tindak kekerasan eksesif serta pelanggaran HAM,” katanya.*
Laporan oleh: Syahrul Baihaqi