Minggu, 06 Juli 2025
Menu

DPR Dinilai Lalai Buat Aturan Teknis Partisipasi Publik

Redaksi
Ilustrasi Gedung DPR/MPR RI | Ist
Ilustrasi Gedung DPR/MPR RI | Ist
Bagikan:

FORUM KEADILAN – Pakar Hukum Tata Negara (HTN) Universitas Gadjah Mada (UGM) Yance Arizona menilai bahwa DPR telah lalai dalam membuat aturan teknis meaningful participation atau partisipasi publik.

Hal itu ia sampaikan menanggapi pernyataan Ketua Komisi III DPR RI Habiburokhman yang menyebut Mahkamah Konstitusi (MK) memiliki tiga ‘senjata’ untuk membatalkan undang-undang yang dibuat DPR.

Menurut Yance, prinsip meaningful participation atau partisipasi bermakna yang kerap dijadikan alasan MK membatalkan undang-undang sebenarnya sudah diakomodasi dalam kerangka hukum yang disusun DPR sendiri melalui perubahan Undang-Undang (UU) Nomor 12 Tahun 2011 menjadi UU Nomor 13 Tahun 2022 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU P3).

“Prinsip meaningful participation atau partisipasi bermakna itu pun juga sudah diakomodasi oleh DPR sendiri melalui UU P3,” katanya saat dihubungi Forum Keadilan, Kamis, 19/6/2025.

Namun, Yance menilai, DPR dan pemerintah masih lemah dalam implementasi aturan tersebut. Pasal 96 ayat 9 UU 13/2022 mengatur bahwa ketentuan teknis mengenai partisipasi publik harus dituangkan dalam peraturan DPR, peraturan DPD, dan Peraturan Presiden.

“Persoalannya, sampai sekarang, sudah hampir tiga tahun sejak undang-undang itu diundangkan, DPR belum membuat peraturan teknisnya. DPD juga sama. Peraturan Presiden juga belum ada,” jelasnya.

Ketiadaan aturan pelaksana ini, kata dia, membuat proses legislasi tidak pernah benar-benar berubah meski sudah ada putusan MK yang menggarisbawahi pentingnya partisipasi publik.

“Harusnya DPR membuat prosedur menginstitusionalisasi itu lewat tatib (tata tertib) tentang bagaimana meaningful participation itu bisa dilakukan,” katanya.

Yance mencontohkan proses penyusunan UU Tentara Nasional Indonesia (TNI) yang ditolak secara masif oleh masyarakat.

Tanpa adanya aturan turunan, kata dia, maka wajar bagi Mahkamah jika menilai proses legislasi yang ada belum mencerminkan proses partisipasi bermakna yang dikehendaki oleh MK dan aturan undang-undang.

“Jadi saya pikir sebaiknya justru DPR yang berbenah diri buat tatib tentang partisipasi masyarakat dalam proses legislasi dan membuka keran,” ujarnya.

Yance menambahkan, masyarakat pun belum tahu ke mana harus menyampaikan aspirasi jika ingin terlibat dalam pembahasan undang-undang, karena mekanisme resmi belum tersedia.

“Kalau partisipasi publik baik, tidak ada kekhawatiran mestinnya bagi DPR kalau undang-undang itu akan dibatalkan oleh MK. Ketiadaan proses partisipasi itulah yang kemudian membuat DPR menjadi khawatir MK melakukan koreksi atas kelalaian yang dilakukan oleh DPR,” katanya.

Sebelumnya, Ketua Komisi III DPR Habiburokhman, menyoroti MK yang dinilai sering membatalkan undang-undang dengan dalih tidak terpenuhinya prinsip meaningful participation atau partisipasi publik yang bermakna.

“Di DPR ini kadang-kadang kami sudah capek bikin undang-undang, dengan gampangnya dipatahkan oleh Mahkamah Konstitusi,” ucap Habiburokhman di ruang rapat Komisi III DPR, Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, pada Selasa, 17/6.

Ia menjelaskan bahwa MK memiliki tiga landasan untuk membatalkan sebuah undang-undang, yakni meaningful participation, the right to be heard (hak untuk didengar), the right to be considered (hak agar pendapatnya dipertimbangkan), dan the right to be explained (hak untuk mendapat penjelasan).*

Laporan oleh: Syahrul Baihaqi