Anak Disabilitas Mental Ditahan di Ruang Arsip Polres Jaksel Tanpa Perawatan, LBH Masyarakat Ajukan Praperadilan

FORUM KEADILAN – Seorang anak laki-laki berusia 15 tahun dengan disabilitas mental ditahan selama hampir lima bulan di ruang arsip kantor Polres Metro Jakarta Selatan. Tanpa pendampingan psikologis, tanpa perawatan medis, dan tanpa kepastian hukum, anak berinisial MAS itu kini tengah diperjuangkan nasibnya oleh tim kuasa hukum dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Masyarakat.
MAS merupakan anak berhadapan dengan hukum (ABH) yang dituduh melakukan kekerasan terhadap keluarganya dalam peristiwa yang terjadi di Lebak Bulus, Jakarta Selatan (Jaksel), pada 30 November 2024. Ia dituding menyebabkan kematian ayah dan neneknya serta menganiaya ibunya.
Namun, hasil pemeriksaan forensik menunjukkan fakta yang sangat penting, yaitu MAS mengalami gangguan mental serius. Pemeriksaan psikologi forensik dari Asosiasi Psikologi Forensik Indonesia (APSIFOR) serta visum et repertum psikiatrikum (VeRP) dari RS Polri dan tim psikiatri forensik dari RS Cipto Mangunkusumo (RSCM) menyimpulkan bahwa kondisi mentalnya mempengaruhi kemampuannya memahami dan menilai perbuatannya.
Sayangnya, meskipun telah ada rekomendasi dari para ahli untuk memberikan perawatan psikiatris dan penanganan medis, negara justru membiarkan MAS dikurung dalam sebuah ruang penyimpanan berkas. Tak ada dokter, psikolog, apalagi akses terhadap pendidikan atau lingkungan sosial yang layak bagi anak seusianya.
“Anak ini telah ditelantarkan oleh negara. Ia seharusnya dirawat, bukan dikurung dalam ruang arsip yang bahkan tidak layak untuk manusia tinggal,” kata Maruf Bajammal, pengacara publik dari LBH Masyarakat yang menjadi kuasa hukum MAS, Senin, 19/5/2025.
Menurut Maruf, hingga kini tidak ada kejelasan dari pihak kepolisian mengenai status hukum MAS, apakah akan diproses lebih lanjut atau dihentikan. Padahal, masa tahanan ABH tersebut secara hukum sudah berakhir sejak Desember 2024.
“Kami melihat pelanggaran hukum yang sangat jelas. Bukan hanya soal masa penahanan yang telah habis, tapi juga penelantaran hak-hak anak, terlebih anak dengan disabilitas,” tegasnya.
LBH Masyarakat menilai, negara telah gagal menjalankan prinsip kepentingan terbaik bagi anak dalam penanganan perkara ini. Negara seolah lupa bahwa anak dalam situasi seperti MAS bukan hanya perlu perlindungan hukum, tetapi juga pemulihan kesehatan mental dan sosialnya.
Atas dasar itu, LBH Masyarakat pada hari ini, Senin, 19/5 mengajukan permohonan praperadilan ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN Jaksel). Permohonan ini diajukan sebagai bentuk upaya hukum untuk menuntut agar penahanan MAS dinyatakan tidak sah secara hukum.
Dalam permohonannya, LBH Masyarakat meminta hakim memerintahkan agar MAS segera dipindahkan ke institusi rehabilitasi kesehatan jiwa yang memiliki fasilitas memadai, seperti RSCM dan seluruh biaya pemindahan serta perawatan ditanggung oleh negara.
Selain itu, LBH Masyarakat juga meminta agar lembaga-lembaga pengawasan seperti Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) dan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) segera melakukan penyelidikan atas dugaan pelanggaran dalam kasus ini.
“Kami tak hanya menuntut keadilan bagi satu anak, tapi juga mendorong adanya pembenahan sistemik. Kasus ini harus jadi peringatan bahwa negara belum siap menangani anak dengan disabilitas yang berhadapan dengan hukum,” katanya.
LBH Masyarakat mencatat, sedikitnya ada lima pelanggaran berat yang dilakukan oleh negara. Mulai dari penahanan yang melebihi waktu hukum, tidak adanya akses terhadap layanan kesehatan mental, hingga ketidakjelasan status hukum anak yang akhirnya berdampak pada nasib dan masa depannya.
Selain itu, MAS juga tidak diberikan hak atas pendidikan, aktivitas sosial, ataupun lingkungan bermain yang layak sebagaimana diatur dalam hukum perlindungan anak. Kondisinya terisolasi, tanpa teman sebaya maupun aktivitas yang sesuai dengan tumbuh kembang anak.
LBH Masyarakat menyebut kondisi ini sebagai bentuk pelanggaran serius terhadap Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak (UU SPPA) dan Konvensi Hak Anak yang telah diratifikasi oleh Indonesia.
“ABH bukan hanya pelaku, mereka juga korban. Apalagi jika memiliki disabilitas mental,” ucapnya.
Menurut Maruf, MAS seharusnya mendapatkan rehabilitasi dan perlindungan penuh dari negara. Bukan hanya untuk pemulihan kondisi mental dan fisiknya, tetapi juga demi menjamin bahwa anak ini masih memiliki masa depan yang layak dan harapan untuk tumbuh sebagai warga negara yang utuh.
“Praperadilan ini bukan sekadar gugatan hukum. Ini adalah upaya menyelamatkan satu jiwa anak. Negara tidak boleh membiarkan satu anak pun tersesat dalam sistem yang seharusnya melindungi mereka,” tutupnya.*
Laporan Ari Kurniansyah