Rabu, 17 September 2025
Menu

IPW Nilai Penetapan Tersangka Jurnalis JAK TV Tindakan Sewenang-wenang

Redaksi
Ketua IPW Sugeng Teguh Santoso dalam Podcast Bias Kasus Forum Keadilan | YouTube Forum Keadilan TV
Ketua IPW Sugeng Teguh Santoso dalam Podcast Bias Kasus Forum Keadilan | YouTube Forum Keadilan TV
Bagikan:

FORUM KEADILAN – Indonesia Police Watch (IPW) mengecam langkah Kejaksaan Agung (Kejagung) yang menetapkan Direktur Pemberitaan JAK TV Tian Bahtiar sebagai tersangka dalam kasus dugaan perintangan penyidikan (obstruction of justice) terkait perkara korupsi tata niaga timah dan importasi gula.

IPW menilai, tindakan ini tidak hanya bentuk penyalahgunaan kewenangan, tetapi juga menjadi preseden buruk yang mengancam kebebasan pers dan iklim demokrasi di Indonesia.

Ketua IPW Sugeng Teguh Santoso menyebut, penetapan tersangka terhadap Tian Bahtiar bersama dua advokat berinisial MS dan JS, sebagai bentuk kriminalisasi terhadap upaya penyampaian pendapat dan pelaksanaan tugas jurnalistik yang dijamin konstitusi.

“IPW melihat, penetapan tersangka terhadap jurnalis JAK TV TB (Tian Bahtiar) adalah tindakan sewenang-wenang, bertentangan dengan hukum yang berlaku, serta menciptakan iklim ketakutan dan pembungkaman terhadap kebebasan berekspresi,” kata Sugeng dalam keterangan tertulis, Rabu, 23/4/2025.

Menurut keterangan Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung Harli Siregar, ketiganya diduga melakukan permufakatan jahat untuk mencegah atau menggagalkan proses penyidikan tindak pidana korupsi, baik secara langsung maupun tidak langsung.

Dugaan ini mencakup pembuatan konten berita yang dianggap menyudutkan Kejaksaan, menyuarakan narasi positif bagi tim advokat, hingga menyelenggarakan seminar, podcast, dan talk show yang dipublikasikan melalui berbagai media, termasuk media sosial.

Namun, IPW memandang bahwa tindakan-tindakan tersebut merupakan bagian dari kebebasan berpendapat dan kebebasan pers yang dilindungi oleh berbagai peraturan perundang-undangan nasional, termasuk Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, Undang-Undang (UU) Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, serta UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (HAM).

Sugeng menegaskan bahwa kemerdekaan pers merupakan salah satu pilar utama dalam sistem demokrasi. Pasal 4 ayat 1 UU Pers menyatakan bahwa kemerdekaan pers dijamin sebagai hak asasi warga negara. Sementara, Pasal 6 menegaskan peran penting pers dalam memenuhi hak masyarakat atas informasi, menegakkan nilai-nilai demokrasi dan supremasi hukum, serta menjalankan fungsi kontrol sosial.

“Pers Indonesia menganut prinsip bebas dan bertanggung jawab. Oleh karena itu, setiap jurnalis yang menjalankan profesinya sesuai UU Pers, Kode Etik Jurnalistik, dan peraturan Dewan Pers, diberikan perlindungan dari tuntutan pidana. Hal ini termaktub dalam Pasal 4 ayat 3 UU Pers,” ujarnya.

Sugeng menegaskan, jika ada pihak yang merasa dirugikan oleh sebuah produk jurnalistik, maka mekanisme penyelesaiannya adalah melalui Dewan Pers, bukan melalui proses pidana. Hal ini sesuai dengan Peraturan Dewan Pers Nomor: 01/Peraturan-DP/VII/2017 tentang Prosedur Pengaduan ke Dewan Pers.

“Menjadikan karya jurnalistik sebagai dasar pidana, tanpa melalui proses verifikasi dan mediasi oleh Dewan Pers, adalah pelanggaran serius terhadap prinsip due process of law dalam sistem hukum Indonesia,” lanjutnya.

Lebih jauh, Sugeng menilai bahwa menyampaikan kritik terhadap institusi penegak hukum, termasuk Kejagung, tidak dapat dikategorikan sebagai kejahatan.

“Membuat narasi yang berbeda, mengkritisi kebijakan atau langkah-langkah penegakan hukum, apalagi yang disampaikan dalam forum diskusi ilmiah, seminar, atau media publik, adalah bagian dari kebebasan akademik dan kebebasan berekspresi yang dijamin oleh Pasal 28 dan 28E ayat 3 UUD 1945,” tuturnya.

Ia menekankan bahwa narasi-narasi yang dianggap negatif oleh Kejaksaan seharusnya dinilai sebagai bentuk kontrol publik, bukan sebagai bentuk perbuatan melawan hukum.

“Pendapat tertulis atau lisan berdasarkan ukuran-ukuran akademik yang  disampaikan dalam forum diskusi, seminar, podcast dan dipublikasikan melalui media mainstream maupun media sosial tidak boleh dinilai sebagai delik apalagi dinilai sebagai menghalangi penyidikan karena menyampaikan pendapat keilmuan yang berbeda adalah kewajiban keilmuan dan sebagai hak yang dilindungi oleh hukum,” kata Sugeng.

“Narasi-narasi negatif harus dinilai kritik atas kinerja Kejaksaan Agung karena Indonesia adalah negara demokrasi yang membuka lebar perbedaan pendapat,” tandasnya.*

Laporan Ari Kurniansyah